Saat berjalan dari dermaga memasuki Desa Lonthoir, wangi rempah segar menguar, menyusup ke hidung saya. Ada perpaduan aroma pala, kayu manis, serta cengkeh. Aroma segar itu sangat menenangkan, menghadirkan suasana seolah kita sedang berada entah di mana. Desa Lonthoir atau Pulau Lonthoir adalah pulau terbesar di Kepulauan Banda. Karenanya, pulau ini juga sering disebut Pulau Banda Besar. Selain Lonthoir, ada beberapa pulau besar lain. Di antaranya adalah Banda Neira, Gunung Api, Run, Ay, Hatta, dan Syahrir. Dua pulau terakhir ini, konon merupakan pulau favorit Bung Hatta dan Sutan Syahrir, ketika keduanya diasingkan ke Banda oleh Belanda pada 1936-1942.
Desa Lonthoir memiliki topografi yang tinggi. Maka, jalanan di sepanjang desa ini bukan jalan datar seperti umumnya, melainkan jalan menanjak dengan undakan-undakan anak tangga dari beton. Rumah-rumah penduduk saling berdekatan. Nyaris di setiap halaman rumah terhampar jemuran pala, fuli (bunga pala), cengkeh, kayu manis, atau buah kenari. Di sepanjang jalan adalah tanaman pala dan tanaman rempah lainnya. Maka tak heran jika aroma rempah langsung menyambut sejak dari dermaga.
Orang-orang Lonthoir menjual hasil panen kepada tengkulak (pedagang pengumpul) di Banda Neira. Banda Neira adalah pusat keramaian. Di sana ada pasar dan beberapa hotel kecil untuk pendatang. Tengkulak memegang kendali terhadap harga. Petani pala tinggal terima hasil penjualan, sementara pedagang dari luar juga sering datang membeli pala dari pedagang lokal. Seringnya dari Cina atau India. Jika ada perahu dari kejauhan yang membawa seorang penumpang berkulit cerah dan berpenampilan klimis, maka orang-orang Banda sudah tahu: “Oh, dorang pasti datang cari pala.” Pesona pala tidak pernah lekang oleh waktu, sejak ratusan tahun silam.
Karena penasaran, saya bertanya kepada seorang petani. “Kalau sudah ada pedagang pengumpul yang jadi langganan, bisa jual ke pedagang baru?” Jawabannya sederhana: Tidak ada prinsip kesetiaan dalam jual beli pala. Siapa yang tawar dengan harga paling tinggi, dia yang dapat.
Berjalan menapaki jalan berundak-undak di desa ini, saya seperti diajak menengok ke masa lalu. Masa-masa ketika Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan English East India Company (EIC) berebut kuasa dan monopoli atas perdagangan rempah di Banda. Menurut sejumlah catatan sejarah, Bangsa Portugis tiba pertama kali di Kepulauan Banda pada awal 1512. Mereka mengangkut pala dan cengkeh dari Banda untuk dijual di Lisbon dengan keuntungan berlipat-lipat. Pala dan cengkeh punya khasiat ajaib untuk pengawetan makanan hingga pengobatan. Setelah Portugis, VOC menyusul pada 1599, lalu EIC pada 1601. VOC menguasai hampir sebagian besar wilayah Kepulauan Banda, dan EIC menguasai Pulau Run dan Pulau Ay. VOC menguasai kendali perdagangan rempah di Banda hingga abad 18.
Kekayaan Pala
Pohon pala di Banda banyak yang sudah berusia ratusan tahun. Namun kini, banyak petani yang sudah mulai meremajakan tanaman. Terdapat sebuah hutan tua di Banda. Namanya Hutan Kele. Di Hutan Kele ini, kita bisa menemukan pohon-pohon pala dan kenari berusia kurang lebih 400 tahun, sudah ada sejak sebelum VOC datang dan hingga kini masih produktif.
Pesona dan eksotisme rempah-rempah dari bagian Timur Indonesia ini seolah tak lekang oleh waktu. VOC telah lama pergi. Adakah yang berubah? Apakah para petani jadi lebih sejahtera? Nyatanya tidak. Zaman berubah, situasi nyaris tetap sama. Persaingan kuasa perdagangan tetap ada. Yang menang adalah yang membeli dengan harga lebih tinggi, meskipun selisihnya hanya lima ratus atau seribu rupiah.
Selain Banda, Ternate, Tidore, dan Halmahera di Provinsi Maluku Utara juga merupakan sumber rempah. Hingga 2022, Maluku Utara masih tercatat sebagai penghasil pala terbesar di Indonesia. Berdasarkan data BPS, produksi pala nasional pada 2022 mencapai 40.500 ton. Dari total produksi tersebut, sebanyak 5.914 ton berasal dari Maluku dan 6.107 ton berasal dari Maluku Utara.
Sementara untuk ekspor, pada 2022 Indonesia mengekspor rempah sebanyak 279 ribu ton dengan nilai 607,86 miliar dolar AS. Namun data ini adalah data gabungan berbagai jenis rempah dari sejumlah daerah di Indonesia. Sulit sekali menemukan data yang konkret mengenai total nilai ekspor komoditas dan jenisnya dari masing-masing wilayah produsen. Bahkan belum ada data terpusat mengenai potensi komoditas dari masing-masing daerah. Persoalan data di Indonesia memang masih menjadi tantangan tersendiri.
Destinasi Wisata
Pada Agustus hingga Desember 2023 lalu, Kepulauan Banda ramai oleh turis-turis mancanegara. Paling banyak dari Eropa, terutama Belanda. Mereka datang untuk mengenang sejarah masa lalu dan mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Ada benteng-benteng peninggalan masa lampau, bangunan tua yang dulu ditempati VOC, serta rumah pengasingan Hatta dan Syahrir. Juga mengagumi pohon-pohon tua berusia ratusan tahun yang masih kokoh. Di Lonthoir terdapat sebuah hutan tua, tempat ratusan pohon pala dan pohon kenari raksasa. Pohon-pohon ini sudah ada sebelum VOC datang ke Kepulauan Banda. Pemandangan bawah laut di Banda juga cukup menakjubkan. Terumbu karang masih terjaga. Pada musim-musim tertentu, jika beruntung, kita bisa menyaksikan ikan hiu paus berloncatan di permukaan air laut. Maka tak heran jika tempat ini menjadi salah satu destinasi favorit para turis.
Nilai sejarah, budaya, dan keindahan alam adalah kombinasi yang membuat Banda jadi eksotis bagi pariwisata. Lalu, apakah masyarakat Kepulauan Banda mendapatkan manfaat dari pariwisata? Nyatanya tidak juga. Sistem pengelolaan belum terbangun. Turis datang dan pergi begitu saja. Kadang nyaris tak membawa cendera mata apa-apa selain foto-foto bangunan bersejarah dan keindahan alam.
Ini hanya sebuah catatan sederhana tentang Banda dan pala. Membahas Banda tidak akan pernah ada habisnya. Soal potensi perikanan dan kelautan adalah satu hal tersendiri yang bisa kita ulik di lain waktu.
Bagi Anda yang tertarik mempelajari topik “Jalur Rempah Nusantara”, Anda dapat mengikuti Kursus Online Nusantara Studies. Informasi dan registrasi dapat klik tautan berikut .
Aniswati Syahrir
Kader Pusaka Indonesia Wilayah DKI Jakarta – Banten