Skip to main content

Endang Setyaningsih atau akrab disapa Setya, mulai belajar menari sejak usia Taman Kanak-Kanak (TK). Ketekunannya semakin terasah saat bersekolah di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saat itulah ia mulai mantap bercita-cita menjadi penari profesional. Keinginannya semakin kuat ketika ia memilih jurusan Seni Tari di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Yogyakarta, yang kini dikenal sebagai SMK Negeri 1 Kasihan, Kabupaten Bantul. 

Dalam perjalanan menarinya, Setya terinspirasi oleh RM Kristiadi, seorang seniman dan sutradara di TVRI Yogyakarta. Dedikasi serta keahlian RM Kristiadi dalam menari dan memproduksi seni pertunjukan semakin memotivasi Setya untuk mengembangkan talentanya di dunia seni, khususnya seni tari. Setelah lulus dari SMK, Setya pun melanjutkan kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Fakultas Seni Pertunjukan, Jurusan Seni Tari. Perempuan kelahiran Klaten, 25 Oktober 1993 ini juga sempat mengikuti residensi program Seniman Pasca Terampil di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja yang berlokasi di Bantul, tempat ia memperdalam ilmu tari yang tidak didapatkan dari bangku kuliah. Kini, Setya aktif mengajar tari di beberapa sekolah tingkat TK dan SD di wilayah Klaten dan Yogyakarta dan mendirikan Sanggar Rumah Seni Soekatari di wilayah Prambanan.

Cinta pada Tari Tradisional

Selain menguasai tari modern, Setya sangat terikat dengan tari tradisional Indonesia. Baginya, tarian tradisional memiliki nilai lebih yang mampu mendewasakan tubuh, mengedukasi diri, dan membentuk cara berpikir yang lebih dalam. “Belajar menarikan tari tradisional Indonesia mampu mendewasakan tubuh kita, karena ketika menari kita seperti dipaksa untuk mensinkronkan antara gerak pendengaran dan penjiwaan. Berdasar proses itu, kita baru akan bisa merasakan energi sebuah tarian ketika kita ikhlas melakukannya dan sejenak melupakan keriuhan aktivitas yang sebelumnya kita kerjakan,” tutur Setya.

Namun, Setya menyadari bahwa saat ini masih banyak anak muda yang berpikir tari tradisional Indonesia dianggap kuno dibandingkan dengan tari-tari dari luar negeri seperti K-POP atau bahkan konten-konten tari yang viral di TikTok. “Ada hal yang hilang dan tidak diterima oleh tubuh, saat belajar tari secara cepat dan singkat hanya demi konten.”

Selama bertahun-tahun belajar tari, salah satu pengalaman paling berkesan bagi Setya terjadi saat menyelesaikan tugas akhir kuliahnya. Ia mengkomposisikan ulang Tari Serimpi, tarian klasik gaya Surakarta, dengan menceritakan kembali kisah Drupadi dari Mahabharata. Demi mendapatkan nilai A, Setya berusaha menari dengan sempurna, namun dalam prosesnya, ia justru melupakan esensi dari tarian itu sendiri.

Saat pementasan tari berjudul Kasetyan, ada satu gerak tari dengan menggunakan teknik lemparan yang gagal dilakukan. Benda yang seharusnya  saling dilempar dan ditangkap oleh penari tidak terlaksana sesuai rencana Setya. “Seketika itu saya pasrah dengan hasil dan tetap melanjutkan menari dengan hati tanpa memikirkan tujuan saya menari ini adalah ujian. Akhirnya saya tersadar bahwa kesombongan saya sebagai penari yang sempurna telah membutakan hati saya untuk menari dengan sepenuh hati,” ungkapnya.

Menjadi Pengajar Kursus Tari di Sanggar Seni Pusaka Yogyakarta

Kader Pusaka Yogyakarta sedang berlatih tari

Sudah hampir satu tahun Setya mengajar tari tradisional di Sanggar Seni Pusaka Yogyakarta. Setya merasa senang bisa berbagi pengalaman menari dengan teman-teman Pusaka Yogyakarta, terlebih ini adalah pengalaman baru baginya yang kerap mengajar tari dengan peserta yang memiliki rentang usia sama, dan biasanya merupakan pelajar usia dini hingga mahasiswa. Di Pusaka, Setya harus mengajar peserta dari berbagai usia. Setya mengakui, pengalaman ini menjadi tantangan baru baginya karena ia harus mampu menyamakan ritme dan antusiasme belajar menari dari teman-teman dan dirinya sendiri. Di bawah bimbingan Setya, para kader Pusaka Yogyakarta telah mempelajari Tari Nawung Sekar dan Tari Soyong

Setya berharap seni tari Indonesia bisa terus berkembang dengan mengedepankan esensi dari kebudayaan lokal Indonesia. Menurutnya seni tari di Indonesia sudah mengalami banyak pertumbuhan dan perkembangan baik itu ke arah yang baik atau sebagian sedikit berbeda dari kaidah seni pertunjukan. “Seni selalu bersifat temporer dan berkembang. Justru seorang seniman harus merasa resah jika tidak memberikan perubahan apa pun pada kesenian,” pungkasnya. 

 

Wening Fikriyati
Kader Pusaka Indonesia Wilayah DIY

Sumber foto: Foto pribadi Endang Setyaningsih