Skip to main content

Sudah delapan puluh tahun sejak Republik Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta. Dalam rentang waktu tersebut, muncul banyak harapan sekaligus pertanyaan: sejauh mana kita telah mencapai cita-cita kemerdekaan? Benarkah bangsa ini sudah merdeka seutuhnya?

Pendiri sekaligus Ketua Umum Pusaka Indonesia, Setyo Hajar Dewantoro atau yang biasa disapa Guru SHD, hadir dalam dialog Kilau Pancasila RRI Jakarta dengan tema ‘Masih Relevankah Pancasila’ pada 16 Agustus 2025. Guru SHD mengajak kita menengok kembali ke masa ketika proklamasi kemerdekaan dikumandangkan. 

“Negara ini didirikan untuk mencapai tujuan yang Agung, sehingga ada proklamasi kemerdekaan,” tutur Guru SHD. Tujuan Agung yang dimaksud tidak lain adalah terwujudnya negara yang adil, makmur, dan sejahtera. Atau dalam bahasa kuno disebut sebagai Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Kerta Raharja. 

Namun, untuk mencapai cita-cita luhur tersebut, tidak cukup hanya mengandalkan pemerintah. Diperlukan rakyat yang berjiwa patriot, rela berkorban, dan mau memberikan yang terbaik bagi bangsa. “Kerja keras dan kebersamaan, yang berlandaskan nilai-nilai luhur, itulah yang memastikan kemerdekaan tercapai,” tegasnya.

Antara Cita-cita dan Realita

Meski demikian, Guru SHD tidak menutup mata terhadap kondisi riil saat ini. Kesenjangan antara cita-cita kemerdekaan dengan kenyataan masih sangat lebar. Ia mencontohkan dinamika di media sosial yang dipenuhi keluhan, protes, bahkan cemooh terhadap bangsa sendiri.

“Jangan kaget jika banyak orang ber-KTP Indonesia berkata, ‘bubarin aja negara ini’. Ini mencederai semangat dari para proklamator kita yang ingin negara ini menjadi negara yang abadi,” tegasnya. 

Kemarahan masyarakat, lanjut Guru SHD, bukan tanpa alasan. Korupsi merajalela, pembangunan tidak merata, pejabat hidup bermewah-mewah, sementara masih ada anak yang harus menyeberangi sungai tanpa jembatan demi bersekolah. Fakta-fakta ini menegaskan perlunya perbaikan besar-besaran.

Menurut Guru SHD, jalan untuk memperbaiki semuanya adalah kembali ke Pancasila. “Tanpa kita kembali ke nilai-nilai Pancasila, kemerdekaan yang seutuhnya tidak akan mungkin kita capai,” ucapnya.

Mengaktualisasikan Nilai-nilai Pancasila

Lalu, bagaimana cara kembali ke Pancasila? Menurut Guru SHD, langkah pertama adalah membangun karakter patriotik.

Di Pusaka Indonesia, proses ini dilakukan melalui dua jalur: kognisi dan aksi.

  • Pada tataran kognisi, Pusaka Indonesia rutin menggelar Ngaji Pancasila dan sarasehan. Salah satunya akan kembali digelar di Wonogiri pada 24 Agustus mendatang dengan tema Membumikan Pancasila, Membangkitkan Nusantara.
  • Pada tataran aksi, para kader dibimbing untuk mempraktikkan Pancasila dalam kehidupan nyata. Mereka diajak melampaui kepentingan pribadi, bekerja untuk negeri tanpa pamrih, dan menjunjung tinggi semangat gotong royong.

Jika dahulu patriot bangsa berjuang dengan bambu runcing melawan penjajah, maka kini perjuangan dilakukan dengan cara yang berbeda. Misalnya, bagaimana para kader mau bekerja dengan sukarela tanpa harus dibayar. Dan, ini adalah komitmen yang dibangun di Pusaka Indonesia. Di samping itu, semua kegiatan dilakukan secara gotong royong. 

Aksi nyata juga diwujudkan di bidang lingkungan. Pusaka Indonesia mengembangkan sistem pertanian ramah lingkungan untuk memulihkan tanah rusak, membangun Hutan Surgawi dengan tanaman bambu di Malang Selatan, hingga menyelenggarakan pentas seni budaya dengan dana saweran. Semua dilakukan dengan sistem gotong royong. 

Guru SHD menegaskan bahwa Pusaka Indonesia hadir sebagai pergerakan untuk melanjutkan konsep Trisakti yang digagas Presiden Soekarno: Berbudaya Sesuai Jati Diri, Berdikari Secara Ekonomi, dan Berdaulat Secara Politik. Dalam konteks Berbudaya Sesuai Jati Diri, maknanya adalah kembali hidup sesuai Pancasila. Karena Pancasila ini pembentuk dari budaya bangsa,” pungkasnya. 

 

Baca juga: 

Esensi Sejarah Kejayaan Majapahit untuk Membangun Indonesia

 

Aniswati Syahrir

Kader Pusaka Indonesia – DKI Banten