Skip to main content

Sosok gagah dan tegap itu tengah berjalan gontai. Kedua kakinya tengah lemah dan penuh luka. Tak jarang, ada yang memukul kakinya hingga ia berjalan semakin lambat.

Sosok itu bernama Nusantara. Kedua kakinya adalah maritim dan agraris. Kaki yang pernah membawanya melintasi samudra raya berabad-abad yang silam. Bukan sekadar dua tiga pulau saja yang terlampaui, menurut Laksda (Purn) Untung Suropati, Purnawirawan Perwira Tinggi TNI AL, Nusantara pernah menjelajah ke penjuru dunia; ke arah timur hingga sebelah timur Pulau Paskah, dan ke barat hingga Madagaskar. Bukan perjalanan ecek-ecek. Nusantara bukan ‘sosok’ sembarangan. 

Bagaimana mungkin sosok biasa-biasa saja mau dan bisa mengarungi samudra raya? Ketangguhan, kecerdasan, daya juang pernah dimiliki Nusantara. 

Melalui perbincangan hangat yang dipandu oleh Ketua Umum Pusaka Indonesia, Setyo Hajar Dewantoro, dengan narasumber Prof. Yudhie Haryono dan Laksda (Purn.) Untung Suropati, kita diingatkan kembali pada PR besar untuk bersahabat kembali dengan laut Nusantara. Kita tak akan menjadi negara maju jika tidak mengubah pola pikir yang darat sentris menjadi maritim sentris, karena wilayah kita memiliki perairan yang lebih luas daripada daratan. Prof. Yudhie Haryono memiliki alasan kuat mengapa mengangkat topik ‘jalur maritim’. Ada hal yang perlu diperhatikan serius dalam mengelola dan menjaga kedaulatan negara di laut, dalam hal ini sektor militer dan niaga.

  1. Pulau terluar yang tak berpenghuni tak terurus, akibat sistem demokrasi saat ini yang mementingkan jumlah suara untuk kekuasaan.
  2. Para pelaut, petani, dan penambang yang tak terwakili di pemerintahan.

Kedaulatan dan kejayaan bahari sangat mungkin tercapai, mengingat dahulu Sriwijaya dan Majapahit mengalami kejayaan dengan menguatkan ‘kaki’ maritim. 

DNA Bangsa Besar

Sriwijaya dan Majapahit mungkin takkan jadi kerajaan besar jika abai terhadap kelautan. Jadi lagu ‘Nenek Moyangku’ ciptaan Ibu Sud menceritakan bahwa nenek moyang kita adalah para pelaut yang perkasa dan pemberani, bukanlah isapan jempol belaka. Saat saya masih kanak-kanak awalnya tak berpikir apa-apa tentang isi syair tersebut. Tapi seiring bertambah usia, muncul rasa janggal di hati dan pikiran: jika benar nenek moyang kita adalah pelaut, mengapa saya jarang menjumpai pelaut, atau orang-orang yang bekerja di sektor kelautan; mengapa sehari-hari hidup kita agraris sentris. Banyak dikenalkan dengan profesi dokter, petani, sales, guru, ASN, penjaga toko, pedagang, profesi-profesi yang tak menyentuh kekayaan laut. Saya belum pernah mengenal seseorang yang berprofesi sebagai produsen ikan laut yang diolah di kapalnya, atau penyelam arkeolog, atau ilmuwan kelautan. Saking jarangnya, sehingga belum berpeluang bertemu mereka. Kalaupun ketemu, biasanya nelayan kecil dan instruktur selam. Instruktur selam pun beberapa di antaranya hanya sampingan. Dan kini semakin jelas mengapa bangsa Nusantara sekarang tak mirip dengan nenek moyangnya.

Laksda (Purn) Untung Suropati mengatakan bahwa bangsa Indonesia pewaris dan penerus DNA bangsa yang besar. Sayangnya, kini bangsa Indonesia mengalami kerancuan identitas. Berpikir kedaratan. Dimulai dari runtuhnya Majapahit, kemunduran terjadi termasuk di sektor maritim. ‘Penyakit’ dari luar pun masuk, yaitu ‘penyakit fisik’ (penjajahan dengan perang dan kolonialisme) dan ‘penyakit non-fisik ‘ (penjajahan terselubung berupa tertanamnya dogma yang tidak membangun).

Tantangan Masa Kini

Indonesia tak mungkin mendapat tantangan jika tak memiliki potensi. Menurut Prof. Yudhie Haryono, industri maritim Indonesia di tingkat ASEAN saja tidak menggembirakan. Tidak sampai 30%. Padahal tahun 2022 kita memiliki potensi 22.000 triliun! Hanya 6000 triliun yang terealisasi dan hanya 78 triliun yang masuk ke kas negara. Bahkan ada negara tetangga yang memiliki data mengenai detail kekayaan laut Indonesia terkini, yang mana data tersebut bisa didapatkan dari anak bangsa ini. Sehebat-hebatnya pelaut, jika tanpa dukungan dari pemerintah, sektor maritim sulit untuk maju. Inilah akar masalah, karena tidak serius menjalankan revolusi mental dan karena gagal mengubah negara kolonial menjadi negara merdeka.

Poros Maritim Dunia (PMD) yang pernah digagas beberapa tahun lalu belum menunjukkan langkah besar yang nyata. Kini isu kemaritiman sudah redup. Ada lima pilar yang menopang PMD namun hanya satu yang diperhatikan, yakni konektivitas maritim. Tentu tidak cukup. Yang dipahami tim PMD belum menjawab masalah. 

Opsi Penyelamatan

  Prof. Yudhie Haryono memiliki pemikiran jenius untuk mengatasi masalah kemaritiman.

  1. Menegaskan modern maritime state civic nasionalisme
  2. Reformulasi dari darat ke laut dan dirgantara
  3. Revitalisasi fakultas-fakultas kelautan
  4. Mengkampanyekan buku induk kemaritiman. Ada big data tentang ikan, biota laut, dan pembangunan kelautan
  5. Mengkampanyekan populisme maritim

Laksda (Purn) Untung Suropati pun mendukung jika pulau-pulau terluar NKRI mendapat perhatian lebih dengan adanya pangkalan militer. Melalui salah satu buku yang pernah ditulisnya, Arungi Samudra Bersama Sang Naga, kita perlu memanfaatkan potensi laut. Yang kedua pada buku Indonesia Incorporated, mengenai pengelolaan politik, ekonomi, militer secara profesional. Dan di buku ketiga yang berjudul Menyongsong Badai Bersama El Condor Pasa, kita diajak menjadi dalang atau aktor dalam mengelola maritim. 

Apa yang Bisa Kita Berikan?

Bagaimana dengan para rakyat jelata jika ingin turut mengembalikan kejayaan maritim? Setyo Hajar Dewantoro, Ketua Umum Pusaka Indonesia dan pengasuh Persaudaraan Matahari, memiliki sikap optimis, yaitu Nusantara bisa terselamatkan saat kita hening dan beraksi hingga tiba momentum terjadinya penyelamatan. Masih ada celah untuk bersuara memberikan pemikiran jenius dan nama-nama sosok yang tulus dalam memberikan masukan, demikian yang disampaikan Prof. Yudhie. Jadi, masih ada harapan bagi Nusantara untuk memulihkan ‘kaki-kaki’ Nusantara agar kelak bangkit, berlayar, dan berjaya ke samudra yang luas. Selaras. 

 

Stella Manoppo 

Kader Pusaka Indonesia Wilayah DIY

sumber foto: Kemdikbud.go.id