Semula saya tak banyak mengenal pikiran-pikiran Mohammad Hatta yang populer dikenal sebagai Bung Hatta. Sungguh, meski ia adalah dwitunggal proklamator RI dan pernah menjadi Wakil Presiden RI, terlalu sedikit saya mengenalinya. Beruntung saya menjadi bagian dari penyelenggara Kursus Pikiran Jenius Para Pendiri Bangsa. Saya yang menjadi Fasilitator Pembelajaran bersama Prof. Yudhie Haryono justru jadi banyak belajar.
Ada momen di mana saya tak bisa berkata-kata saat acara berlangsung, saya terharu dan ingin menangis. Ada sesuatu yang menyentuh emosi terdalam. Betapa kita kini kehilangan sosok negarawan yang layak jadi teladan. Ya, sulit menemukan sosok seperti Hatta di kalangan politisi dan pejabat republik saat ini: Hatta adalah teladan dari kesatuan antara pikiran, kata dan perbuatan. Hatta terkenal dengan kebersahajaan dan kejujurannya. Ia hidup untuk belajar, membangun gagasan luhur, dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa yang sepenuhnya. Ia sama sekali tak tergoda untuk memperkaya diri dengan menyalahgunakan jabatannya.
Sungguh menarik, Hatta yang orang Minang, bisa “beyond religion”. Ia menyapa orang dengan Selamat Pagi, Selamat Siang, Selamat Sore atau Selamat Malam. Ia punya keteguhan hati untuk mempraktekkan semangat Sumpah Pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa. Bahasa Indonesia harus dipergunakan sebagai bahasa resmi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia tak takut berdosa karena tak menggunakan bahasa Arab dalam perkara ucapan pembuka. Ia sungguh-sungguh berani memilih menjadi Muslim esensial. Keberislaman ia tunjukkan lewat sikap yang lurus dan revolusioner bukan basa basi artifisial.
Dari Hatta kita belajar tentang kemestian kita punya gagasan original yang 180 derajat berbeda dengan gagasan kolonialis: dalam kebudayaan, politik, ekonomi. Ia sangat peduli dengan kebudayaan Indonesia, yang harus dimatangkan lewat dialog dan konsensus seluruh elemen bangsa melampaui issue mayoritas-minoritas. Ia memimpikan hasil cipta rasa dan karsa kita dalam rupa kebudayaan yang luhur – yang sepadan dengan gagasan Bung Karno tentang kebudayaan yang sesuai jatidiri.
Hatta punya gagasan keren tentang bagaimana ada kesetimbangan antara Negara, Agama, Pasar dan Civil Society agar Indonesia tak menjadi negara otoriter, fundamentalis, liberal maupun tribalis. Ia memimpikan negara yang bisa mengayomi dan melindungi rakyatnya dalam keadilan yang paripurna.
Gagasan Hatta yang juga keren adalah tentang trias economica, bahwa sokoguru perekonomian itu mestinya terdiri dari 3 institusi yang masing-masingnya kuat dan saling menguatkan: negara melalui BUMN, sektor swasta melalui korporasi dan koperasi yang berasas gotong royong. Hatta tidak percaya pada trickle down effect: baginya yang harus didahulukan adalah pemerataan ekonomi bukan pertumbuhan ekonomi. Sumber daya ekonomi harus disebar merata, kesejahteraan dibuat merata, lalu kita tumbuh bersama. Jelas Hatta benar, karena ekonomi kita sekarang hanya bertumbuh tanpa pemerataan dibuktikan dengan gini rasio yang makin tinggi. Yang kadung besar entah BUMN maupun korporasi menjadi lupa daratan karena diliputi keserakahan, cenderung menjadi buas dengan membunuh pelaku ekonomi yang lemah. Seringkali charity menjadi semacam kamuflase untuk keserakahan tak bertepi.
Hatta punya mimpi besar tentang Indonesia yang berdaulat dan sejahtera, dengan rakyat yang merdeka. Maka soal pajak ia punya gagasan: pemerintahan republik mestinya beda dengan pemerintahan kolonial yang suka memungut pajak dari rakyat. Banyak sumber pemasukan lain bagi APBN. Pajak hanya diberlakukan dalam situasi darurat seperi pasca bencana alam dan semacamnya. Jadi, tindakam menaikkan pajak dan pada saat yang sama mengurangi subsidi, bisa dinyatakan sebagai tindakan yang mengkhianati Hatta dengan segenap pikirannya untuk mensejahterakan rakyat bukan mensejahterakan segelintir orang yang sedang jadi pejabat.
Hatta memang revolusioner. Saya ingin terus belajar lebih dalam soal gagasan-gagasannya. Lebih dari itu, saya ingin menghibur Bung Hatta yang cukup bersedih di akhir hidupnya karena melihat republik ini berbelok dari yang ia cita-citakan, dengan perjuangan agung mengembalikan republik ini agar ada lagi di jalur semangat pencampaian cita-cita kemerdekaan tahun 1945. Bagaimana dengan Anda?
Penulis: Setyo Hajar Dewantoro
Ketua Umum Pusaka Indonesia