Skip to main content

Semasa SMA saya pernah diberitahu bahwa pengkotak-kotakan jenis kelas IPA, IPS, dan Bahasa sebenarnya adalah warisan sistem penjajah. Oleh karena itu, saya sadar untuk terbuka mempelajari semua hal. Saya anak IPA yang pernah ikut olimpiade IPS, membuat karya tulis untuk mengatasi korupsi melalui merombak sistem pendidikan dengan ide menempatkan pendidikan spiritual sebagai pondasi kategori pendidikan/ pembangunan kecerdasan lainnya. Tapi tentu dulu saya belum paham benar arti spiritualitas murni yang sebenarnya.

Menyimak diskusi asyik dari Guru Setyo Hajar Dewantoro (SHD) bersama Prof. Yudhie Haryono tentang semangat Ki Hajar Dewantara, saya baru mengerti betapa para pendiri bangsa ini begitu tulus dalam berpikir dan mengabdikan seluruh kemampuannya untuk membangun bangsa.

Melalui pendidikan Ki Hajar Dewantara yang juga pendiri Taman Siswa, ingin membangun mental merdeka agar manusia Indonesia tidak lagi larut dalam mental feodal dan kolonial.

Sungguh upaya yang luhur dengan mencerdaskan generasi melalui pendidikan, maka diharapkan terbentuk generasi yang cerdas, bersamaan dengan itu punya rasa nasionalisme dan patriotisme.

Ini yang saya tangkap, tapi sayang hal ini tidak bisa saya temukan dalam pendidikan yang saya jalani ketika di bangku sekolah TK hingga di bangku kuliah. Jika pun ada, hanya di permukaan saja, tidak ada pendidikan yang betul-betul membangun jiwa.

Baru setelah belajar di Persaudaraan Matahari, bergabung di Pusaka Indonesia, belajar di Avalon dan yang terbaru mengikuti kelas Pemikiran Jenius Pendiri Bangsa ini saya mulai diajak untuk memahami betapa pentingnya membangun jiwa, bagaimana pentingnya menjadi manusia berhati murni. Ki Hajar Dewantara dinyatakan oleh Guru SHD adalah seorang yang berjiwa murni dengan level kesadaran 600.

Tentu jika kita ingin kembali menghidupkan semangat pendidikan seperti sosok seperti Ki Hajar Dewantara, maka dibutuhkan seorang yang berjiwa murni dan betul-betul memahami apa yang menjadi visi dan misi beliau, untuk membangun bangsa melalui pendidikan.

Bahwasanya pendidikan penting tidak hanya dilakukan di sekolah formal. Tapi dari tingkat keluarga, sekolah formal/informal bahkan pemerintah. Prinsip yang diteladankan oleh Ki Hajar Dewantara selayaknya harus bisa dipahami dan dijalankan oleh siapa pun.

Ing ngarso sung tuladha

Ing madya mangun karsa dan

Tut wuri handayani

Peran Ibu Sebagai Pendidik 

Saya pun jadi berefleksi apakah saya sebagai ibu sudah bisa menjalankan peran sebagai guru untuk anak saya? Ternyata masih jauh dari ideal.

Bagaimana saya masih memperlihatkan angkara murka pada anak saya jika mereka salah, bahkan ketika mereka sebenarnya tidak benar-benar salah.

Ketika saya dengan sadar atau tidak sadar memproyeksikan luka batin saya saat kecil ke anak saya, saya sudah gagal menjalankan prinsip Ing ngarsa sung tulada, sebagai pemimpin yang harus memberikan teladan.

Apalagi ketika masih ada kehendak egoistik kepada anak, bukan ketulusan memberi, tapi pamrih dengan menaruh berbagai harapan pada anak untuk kepentingan egois orang tua karena merasa memiliki. Tentu ini bertentangan dengan prinsip Ing madya mangun karsa  yang berarti berada di tengah-tengah memberi atau membangun semangat, niat, maupun kemauan. Begitu juga dengan prinsip Tut Wuri Handayani yang berarti berada di belakang memberikan semangat atau dorongan, ini tidak bisa dijalankan dengan ketulusan.

Maka memang benar apa yang disampaikan Guru SHD berulang-ulang kali bahwa berproses menjadi jiwa yang murni dengan membereskan semua watak angkara, luka batin, ilusi, jejak karma buruk dan jeratan darkforce (kuasa kegelapan) menjadi hal yang sangat penting untuk bisa mewujudkan tujuan dari Ki Hajar Dewantara dalam dunia pendidikan.

Proses berspiritual ternyata tidaklah bisa dipisahkan dari segala hal. Maka dunia pendidikan pun harus menempatkan pendidikan spiritual sebagai pondasi dari semua kategori pendidikan lainnya.

Betul-betul semua harus berbenah, dimulai dari mana? Jelas dari masing-masing diri kita sendiri. Agar terwujud manusia Indonesia yang berhati murni sekaligus jenius untuk membangun peradaban yang gemilang.

Sukma Prativa

Peserta Kursus Pikiran Jenius Para Pendiri Bangsa #2

Kader Pusaka Indonesia Wilayah Bali

sumber foto: sahabatliterasi.id