Skip to main content

Apakah Indonesia sebagai sebuah negara dan bangsa perlu diperbaiki? Tentu jawabannya tergantung penilaian kita terhadap keadaannya. Jika Anda menilai Indonesia baik-baik saja, semua sudah berjalan sesuai harapan, tentu tak perlu repot-repot melakukan upaya perbaikan. Tapi jika Anda menilai keadaan Indonesia sekarang masih berjarak dengan idealitas yang dirumuskan di dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu “menjadi negara yang sejahtera, adil dan makmur”, tentu upaya perbaikan adalah hal yang diperlukan.

Jika Anda bertanya pada saya, jawaban saya lugas: Indonesia baru merealisasikan 3% dari cita-cita kemerdekaannya. Deviasinya terlalu besar dari garis menuju idealitas Indonesia sebagai mercusuar dunia yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja. Jika parameternya adalah Trisakti yang dirumuskan Bung Karno, maka jelas Indonesia BELUM berbudaya sesuai jatidiri; BELUM berdikari secara ekonomi, BELUM berdaulat secara politik. Jika melihat dari perspektif konstitusi, jelas bahwa ada pergeseran fundamental dengan disahkannya UUD Amandemen 2002 yang berbeda sekali dengan UUD 1945. Di sektor lingkungan jelas negara ini mengalami degradasi lingkungan yang parah: hutan tropis berkurang drastis, jumlah mata air berkurang, kita kehilangan banyak sungai yang jernih bebas limbah dan polusi, udara di banyak tempat juga tidak lagi segar seperti jaman dulu. Di sektor pangan negara kita masih jauh dari swasembada pangan; alih-alih menjadi negara agraris yang mengekspor berbagai komoditas untuk kebutuhan dunia, negara kita malah jadi importir beras, gula, gandum, kedelai, dan lain sebagainya. Negara kita memang mengekspor sawit dan karet, tapi harus ditebus dengan kerusakan lingkungan yang masif akibat deforestasi/konversi lahan. Kualitas persawahan juga menurun akibat hantaman pupuk kimia sintetik yang masif, di samping jumlah sawah berkurang karena dikonversi jadi pemukiman atau kawasan industri.

Indonesia adalah negeri yang kaya dengan mineral atau material tambang, juga minyak dan gas. Tapi masih terlalu banyak penduduk miskin dan berpendidikan rendah; ini menunjukkan ada mismanajemen yang akut terhadap kekayaan negara. Ketimpangan antara yang kaya dan miskin di negara ini tentu saja termasuk lebar; termasuk ketimpangan infrastruktur antara daerah tertinggal dengan kota-kota besar.

Sungguh kita tertegun melihat kenyataan terkini tak seindah yang dicita-citakan para founding fathers. Jelas Indonesia belum berhasil mengulang kejayaan Majapahit, Sriwijaya, Singasari, Kahuripan – sebagai representasi Nusantara kuna, yang bisa kita saksikan jejak keagungannya hingga masa kini dari berbagai artefak kebudayaan yang tersisa. Belum lagi jika kita bicara tentang kekuatan militer kita dan peran dalam politik global: negara kita bukan pemain utama. Kita bukan lagi negeri adidaya seperti di masa Majapahit dan Sriwijaya. Bahkan Indonesia di 2024 tidak fenomenal seperti di tahun 1955 saat menggelar dan memimpin Konferensi Asia Afrika.

Jadi dengan melihat kenyataan itu, upaya perbaikan Indonesia adalah keharusan. Sudah sewajarnya ada perbaikan di semua aspek: ipoleksosbudhankam, agar Indonesia menjadi mercusuar dunia, menjadi negeri yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja.

Pertanyaannya, memang siapa kita mau memperbaiki negara? Memang punya modal apa untuk memperbaiki negara? Jelas pada saat ini, saya dan mayoritas pembaca tulisan ini adalah bagian dari rakyat jelata. Tapi kita sadar ada panggilan dari Ibu Pertiwi untuk berbuat sesuatu yang luhur. Perjuangan memperbaiki negeri tak hanya bisa dilakukan oleh pejabat dan politisi, kita sebagai bagian dari rakyat juga punya hak sekaligus kewajiban untuk melakukannya. Saya pribadi membayar pajak, itu legitimasi yang cukup untuk merasa memiliki negeri ini, di luar fakta saya lahir dan hidup di negeri ini. Anda semua yang punya KTP Indonesia adalah juga pemilik negeri ini, apalagi sedikit banyak Anda juga ikut membiayai negara ini dengan pajak dan retribusi yang Anda bayar, entah PBB, pajak kendaraan bermotor, dan lainnya. Harus ditegaskan bahwa pemilik negara ini bukan hanya Bu Megawati dan keluarganya, bukan hanya Pak Jokowi dan keluarganya, bukan hanya Pak SBY dan keluarganya. Pemiliknya adalah kita semua warga Indonesia, itulah esensi dari keberadaan sebuah Republik.

Cara Kita

Kita telah melakukan banyak hal. Pertama, dengan upaya sungguh-sungguh dalam hening memurnikan jiwa, dengan menaikkan Level of Consciousness diri pribadi kita, sesungguhnya kita berkontribusi terhadap peningkatan LoC Kolektif Indonesia yang pasti berdampak pada penyelarasan medan energi dan perubahan nasib Indonesia. Inilah misi yang secara konsisten dijalankan oleh Persaudaraan Matahari. Dengan menjadi manusia yang murni jiwanya, jelas kita mengurangi jumlah orang yang tega korupsi, tega merusak hutan, tega merusak sungai dan sawah, dan tega menyengsarakan rakyat banyak. Jelas kita mengurangi laju kerusakan di negeri ini. 

Kedua, kita beraksi di berbagai lini. Kita tak mengejar jabatan apa pun, karena sebagai rakyat pun kita bisa berkarya: melalui Pusaka Indonesia jelas kita telah melakukan berbagai langkah strategis menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya sesuai jati diri dengan agenda Ngaji Pancasila dan pengembangan kegiatan seni budaya Nusantara. Kita membangun keberdikarian ekonomi lewat Avalon, Social Entrepreneur Academy dan Pasar Gemah Ripah. Lalu kita juga berjuang untuk memulihkan tanah dan memastikan ada harapan swasembada pangan lewat Sigma Farming. Di samping kita bergerak menjernihkan sungai dengan eco enzyme dan menanam pepohonan yang bisa menkonservasi mata air sekaligus mengurangi polusi udara.

Ketiga, bagaimanapun kita telah berjuang mempengaruhi kebijakan negara dengan pendekatan intelektual maupun spiritual. Kajian-kajian kita, kampanye-kampanye kita, pasti menemukan momentum untuk memberi pengaruh konstruktif dan menginspirasi para pemegang kekuasaan untuk menyelaraskan arah dan praktik pembangunan di Indonesia. Kerja spiritual kita pasti juga memperbaiki kualitas kinerja bahkan patriotisme mereka yang ada di pusat pemerintahan dengan cara yang ajaib.

Keempat, karena nasib Indonesia tak terlepas dari dinamika pada tataran global, maka sungguh, dengan pendekatan spiritual, kita terus berupaya menata keselarasan energi global dan mendukung perubahan yang konstruktif melalui penciptaan kesetimbangan baru secara geopolitik internasional. Kita bekerja dalam hening agar tercipta keajaiban di banyak kawasan dan negara. Itulah makna dari kunjungan saya ke berbagai negara yang ekstensif sejak 2019 – sempat terhenti di 2020 sampai 2022, tapi mulai lagi di tahun 2022 hingga sekarang. Sejak Januari 2024 saja, selain berkunjung ke berbagai daerah di Indonesia: dari Merauke hingga Banda Aceh, dari Manado hingga Kupang – dan memberkati semua daerah itu, saya juga berkunjung dan memberkati Singapura, Filipina, Vietnam, Malaysia, Hong Kong, Jepang, dan akan berlanjut ke negara-negara lainnya.

Yang TIDAK kita lakukan adalah demonstrasi di jalanan, mengkritik pemerintah dengan pedas di sosial media, apalagi mengutuk semua hal yang tak kita sukai. Kita juga MENGHINDARI ngomong doang segala ide tanpa aksi yang nyata dalam keseharian.

Sekali lagi, cara kita memperbaiki negara ini adalah dengan Hening & Beraksi. Kita hayati dan terapkan ajaran spiritual murni yang progresif, transformatif dan revolusioner.

 

Setyo Hajar Dewantoro
Pendiri Persaudaraan Matahari
Ketua Umum Pusaka Indonesia