Tanggal 25 Oktober 2023 menandai berakhirnya masa pendaftaran calon presiden dan wakil presiden Pemilu 2024. Maka dimulailah hingar-bingar persaingan antara ketiga calon tersebut mewarnai media. Kontestasi antara ketiga pasangan calon ini berpotensi memunculkan kembali bibit-bibit perpecahan di berbagai lini masyarakat yang mendukung para calonnya masing-masing. Lalu timbul pertanyaan, bila Pemilu langsung yang sudah berjalan sejak tahun 2004 semakin memicu perpecahan di antara anak bangsa, apakah sistem ini masih cocok digunakan sebagai implementasi demokrasi?
Implikasi Amandemen UUD 1945
Mari kita menilik kembali awal dan dasar dimulainya Pemilu langsung ini. Sistem ketatanegaraan dan sistem Pemilu langsung diberlakukan setelah terjadi perubahan UUD 1945 yang dilakukan beberapa kali:
1) Perubahan Pertama UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 19 Oktober tahun 1999, berhasil diamandemen sebanyak 9 pasal.
2) Perubahan Kedua UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000 telah diamandemen sebanyak 25 pasal.
3) Perubahan Ketiga UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November tahun 1999 berhasil diamandemen sebanyak 23 pasal.
4) Perubahan Keempat UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002 ini telah berhasil diamandemen 13 pasal serta 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Jadi total pasal UUD 1945 hasil perubahan pertama sampai keempat itu adalah 75 pasal, namun jumlah nomor pasalnya tetap sama yaitu 37 (tidak termasuk Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan). Beberapa pokok perubahan substantif terkait sistem ketatanegaraan kita, antara lain:
- Dicabutnya kekuasaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang mempunyai kewenangan meminta pertanggungjawaban Presiden dan penyusunan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
- Kekuasaan pembuatan undang-undang tidak lagi dipegang Presiden, melainkan dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
- Munculnya lembaga-lembaga baru, seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara Pemilu langsung dan juga perubahan terhadap Bank Sentral.
Setelah amandemen UUD 1945 yang terakhir di tahun 2002, bangsa Indonesia mulai melaksanakan hak memilih pemimpin baik di daerah maupun di pusat secara langsung. Fenomena perpecahan yang terjadi semakin tajam. Belum hilang dalam ingatan kita Pemilu Presiden tahun 2014 dan 2019 yang benar-benar memecah-belah bangsa Indonesia menjadi dua kubu yang berseberangan. Belum lagi Pilkada di tiap daerah. Akankah kita terus mempertahankan sistem demokrasi yang pada akhirnya hanya akan memecah persatuan dan kesatuan bangsa?
Tanggal 28 Oktober kita peringati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Ada baiknya kita kembali menyelami semangat persatuan dan kesatuan di Kongres Sumpah Pemuda tahun 1928. Kongres yang dengan semangat patriotisme membuat keputusan untuk persatuan atas tumpah darah yang satu, yaitu Tanah Indonesia, berbangsa yang satu yaitu bangsa Indonesia, dan bahasa yang satu yaitu bahasa Indonesia. Inilah semangat patriotisme kebangsaan yang ingin Pusaka Indonesia dan Nusantara Centre kembalikan dan nyalakan di sanubari kita masyarakat Indonesia.
Pemikiran Para Pendiri Bangsa
Dalam konstelasi politik devide et impera yang terjadi karena kita semakin jauh dari UUD 1945 yang asli ini, Pusaka Indonesia ingin mengajak siapa pun yang tergerak untuk menyelami kembali pemikiran para founding fathers kita dalam merumuskan kemerdekaan Indonesia yang seutuhnya berdaulat, seperti yang dicita-citakan dalam Trisakti Pancasila, yaitu berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berbudaya sesuai jati diri Indonesia.
Pusaka Indonesia berkolaborasi dengan Nusantara Centre akan kembali menyelenggarakan 5 sesi kelas Pikiran Jenius Pendiri Bangsa. Para tokoh seperti Ki Hajar Dewantara, Mohammad Natsir, Sultan Hamengkubuwono IX, Ki Ageng Suryomentaram adalah beberapa nama yang akan dibahas oleh Direktur Nusantara Centre, Prof. Yudhie Haryono, dan Setyo Hajar Dewantoro, Ketua Umum Pusaka Indonesia. Rencananya, akan ada pula sesi penutupan yang berlangsung secara luring dengan membahas pemikiran dari HOS Cokroaminoto, Ahmad Dahlan, dan Hasyim Asy’ari.
Dari diskusi-diskusi tersebut diharapkan publik tergelitik untuk merenungkan sistem ketatanegaraan yang cocok diimplementasikan di Indonesia, sesuai dengan pemikiran para founding fathers kita saat merumuskan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, agar harapan persatuan dan kesatuan yang dicanangkan sejak tahun 1928 itu benar-benar dapat diwujudkan.
Virine Tresna Sundari
Wakil Ketua Bidang Riset dan Kajian Pusaka Indonesia
sumber ilustrasi: icmimuda.id