Skip to main content

Saudara dan saudari yang saya kasihi,

Saya baru saja melakukan perjalanan panjang ke Papua lalu berlanjut ke Aceh. Di Papua saya berkunjung ke Jayapura: sempat menginap di Sentani maupun di Kota Jayapura. Saya juga sempat ke Merauke, berkunjung ke Kampung Wasur dimana Suku Marori bertempat tinggal. Sementara di Aceh saya menikmati semalam di Banda Aceh; saya sempat berjalan kaki beberapa kilometer dari hotel tempat saya menginap, Hermes Palace, melewati Kantor Gubernur Aceh dan melihat papan nama beberapa kantor yang berkaitan dengan Penegakan Syariat Islam.

Saya belum bisa banyak bicara tentang Aceh, ini kunjungan perdana saya. Tapi kunjungan ke Papua menumbuhkan kesadaran dan harapan baru. Saya tuliskan beberapa renungan dan harapan.

Saya pergi ke Papua hanya mengikuti dorongan dari relung hati. Di Papua, saya bisa merasakan luka batin yang cukup dalam dan belum tersembuhkan berkenaan dengan kebijakan Daerah Operasi Militer di masa lalu, plus kebijakan pembangunan di masa kini yang belum benar-benar secara adil dan merata mensejahterakan rakyat asli Papua, belum sepenuhnya memuliakan dan mengangkat harkat martabat mereka. Penetapan program pembangunan yang belum selaras dengan kebutuhan nyata rakyat, dana Otonomi Khusus yang belum tentu menjangkau rakyat kebanyakan, hingga keberadaan bisnis para elit politik di tanah Papua yang sebagiannya memicu konflik lahan, plus performa pejabat putra daerah Papua yang belum sesuai harapan, adalah beberapa issue penting yang gampang dikenali.

Di sisi lain, ada juga pihak-pihak yang berupaya membuat Papua seperti Timtim yang lepas dari Republik Indonesia melalui manuver di jalur hukum dan politik internasional. Papua memang permata Nusantara yang membuat banyak pihak ingin menguasai atau merebutnya. Saat yang sama, sebagian elit bicara NKRI Harga Mati hanya demi kepentingan mereka tanpa peduli apa sebenarnya yang dibutuhkan rakyat Papua.

Hal mendasar, memang tak mudah menemukan niat yang benar-benar tulus dari para elit politik di Papua. Yang terjadi pada umumnya adalah kerja pencitraan, belum upaya membangun yang benar-benar menggunakan kemurnian hati dan kejeniusan pikiran.

Satu ekses, mentalitas rakyat Papua asli juga menjadi terdistorsi. Sebagian jadi ikut oportunis, sebagian kehilangan mentalitas pejuang, mereka ingin perubahan nasib secara instan. Gelombang migrasi yang massif dengan segala alasannya dari Jawa, Sulawesi dan pulau lainnya, bagaimanapun memunculkan kekhawatiran tentang lahan kehidupan rakyat Papua asli di masa depan. Belum lagi issue perbedaan budaya antara masyarakat pegunungan dan pantai juga jadi tantangan tersendiri.

Lalu apa yang bisa kita perbuat? Seperti biasa, kita lakukan apa yang kita bisa dengan sumber daya yang ada, tidak mengada-ada dan mengkhayal hingga ujungnya tak berbuat apa-apa. Saya sudah melakukan perkenalan dan diskusi intensif dengan beberapa pemuda Papua yang telah merintis upaya pemberdayaan dan cukup punya pengaruh. Kita akan masuk dengan berbagi tentang Sigma Farming dan mempromosikan mentalitas perjuangan ala Pusaka Indonesia yang landasannya adalah kasih murni, pemuliaan sesama manusia, ketulusan dan bakti yang sungguh-sungguh pada Ibu Pertiwi.

Bulan Agustus 2023 kita bersama-sama ke Papua. Kita datang dengan hati yang murni, semangat bersaudara, dan kehendak luhur untuk berbagi apa yang kita punya sekaligus belajar dari kebijaksanaan di Tanah Papua. Yang hendak turut serta silakan bersiap-siap, menyiapkan bekal mental dan finansial.

Kita bersama-sama membangun kegemahripahan di Tanah Papua.

Setyo Hajar Dewantoro
Ketua Umum Pusaka Indonesia