Apa rekomendasi kurikulum jalur rempah? Mendesain warga negara unggul. Apa itu? Adalah warga negara berbudaya-berpendidikan yang mengakar kuat pada kebangsaannya, ideologinya, dan kebijaksanaan lokal sambil terus mencipta budaya-budaya dan pendidikan baru yang kreatif, adaptif, dan Indonesianis.
Karenanya, pembangunan kita bukan hanya memerlukan wujud fisik (infrastruktur), tapi juga pembangunan kebudayaan dan kependidikan agar tujuan-tujuan besar Indonesia dapat tercapai dengan baik.
Kita tahu apa yang kita lihat, rasakan, dan hasilkan sekarang adalah output dari sebuah kebudayaan dan pendidikan yang hidup di masyarakat.
Ketika seseorang lahir di dunia jadilah dia sebagai seorang penduduk sesuai dengan etnis, agama, ras, atau sukunya. Melalui kebudayaan dan pendidikanlah dia akan dibentuk menjadi warga negara Indonesia unggul.
Warga negara Indonesia yang unggul pastilah memiliki keterikatan dan keterlibatan dibanding penduduk biasa. Maka, sebagai warga negara dia wajib mempertahankan tanah airnya, baik tanah air fisik (bumi tempat tinggal), tanah air formal (negara tempat dia memiliki identitas kebangsaannya) dan tanah air mental (tempat dia mengembangkan mindset).
Sayangnya, kini kita sedang merasakan darurat kebangsaan utamanya pada tanah air mental. Misalnya, saat dia dihadapkan pada pilihan apakah melakukan kebijakan impor hasil pertanian demi menekan harga ataukah melindungi petani sendiri dengan cara membeli dengan harga mahal dan menjual pada rakyatnya dengan harga murah, maka seseorang yang membela tanah air mental sudah pasti melakukannya demi negara-bangsanya dengan melupakan keuntungan pasar.
Contoh lain adalah soal Pancasila. Karena ia adalah satu-satunya ideologi negara yang diakui di Indonesia, maka aneh jika Pancasila dan agama dipertentangkan. Bagi kita yang paham dan nasionalis, itu senyawa yang tinggal direalisasikan.
Sementara soal darurat tanah air fisik adalah hilangnya pengetahuan keindonesiaan dan kemaritiman dari pelajaran-pelajaran di kurikulum sekolah. Sedang darurat tanah air formal adalah banyaknya UU yang tidak sejalan dengan Pancasila (dan ini diakui berbagai pihak).
Tentu pertanyaannya, “Bagaimana mengajarkan UU jika ternyata yang diajarkan keterkaitan dengan kepancasilaannya masih harus diluruskan?”
Di luar itu, kita juga mengalami darurat tata kelola. Ini juga rumit karena terjadi kesemrawutan pengelolaan antara pusat dan daerah juga lintas kementerian. Tentu, semua itu mengganggu jalannya roda kebudayaan dan pendidikan: baik dalam kurikulum, guru, pelatihan-pelatihan, advokasi, anggaran, dan sebagainya.
Kesemrawutan ini berbahaya karena kebudayaan dan pendidikan adalah satu-satunya kegiatan manusia yang paling banyak berurusan dengan masa depan. Dengan kesemrawutan ini, jalan pembangunan kebudayaan dan pendidikan sangat terganggu.
Akibatnya, kita mempertaruhkan masa depan anak-anak: masa depan bangsa. Tentu ini membahayakan masa depan kita semua. Sebab pembangunan kebudayaan dan pendidikanlah yang menyiapkan generasi penerus untuk bisa survive di masa depan, tempat setiap makhluk akan menjalani sisa hidupnya.
Jika Kemenag yang sama-sama mengelola sekolah diizinkan sentralistik, maka mengapa Kemendikbud tidak? Ini juga pertanyaan penting mengingat pembangunan kebudayaan dan pendidikan itu perintah konstitusi.
Maka buat langkah, segera terbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) beberapa kementerian untuk mengurai kesemrawutan ini dan buat solusi konkretnya. Jika perlu, terbitkan Perpu karena darurat situasinya.
Tentu saja, pembenahan tata kelola menjadi salah satu kuncinya dalam perbaikan pembangunan kebudayaan dan pendidikan nasional.
Dalam tata kelola ini, kurikulum inti hendaknya disederhanakan menjadi Trimatra Pendidikan Dasar dan Menengah (Kebangsaan-Etika-Logika). Realisasi Trimatra Pendidikan bukan sebatas tugas pemerintah, namun partisipasi aktif masyarakat juga harus dilibatkan secara terus menerus dan sistematis. Itulah tugas kita semua sebagai warga negara. Ini juga membuktikan bahwa kewarganegaraan perlu lebih ditonjolkan dibanding kewargaan.
Kita baca hasil uji Indonesia National Assessment Program (INAP) yang kemudian disebut Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) menguatkan kecemasan berbagai pihak, karena 78% siswa SD kelas 4 memiliki kompetensi Matematika, Sains, dan Membaca yang buruk. Hasil PISA tahunan yang dirilis semakin menguatkan kecemasan itu. Keterampilan membaca siswa Indonesia di usia 15 tahun kembali ke-18 tahun yang lalu dan keterampilan matematika pun menurun. Meski keterampilan sains sedikit naik, tetapi rerata total menurun dan tak satu pun yang mencapai target RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional).
Dengan kompetensi dasar nalar (matematika, sains, dan membaca) seperti itu, kita skeptis bahwa Indonesia akan mampu menjemput bonus demografi dan sangat sulit menggapai PDB peringkat 4 sedunia pada tahun 2050.
Dengan data ini, kemungkinan manusia Indonesia hanya akan menjadi buruh di negeri sendiri. Mengapa? Sebab, pada saat kondisi nalar (logic) buruk, ternyata tak bisa dipungkiri pula bahwa apresiasi bangsa Indonesia terhadap budaya dan kearifan lokal Nusantara semakin menurun dan cenderung abai.
Permainan, lagu, dan bahasa tradisi menghilang lebih cepat daripada upaya penyelamatan dan serbuan budaya dari luar. Selain itu, permusuhan budaya tradisi Nusantara yang dianggap tak cocok dengan budaya keyakinan agama juga mempercepat punahnya identitas keIndonesiaan kita.
Maka, selain upaya memperbaiki nalar membaca, matematika, dan sains, upaya mendorong apresiasi seni dan kriya harus pula diperhatikan, termasuk apresiasi terhadap etika umum.
Sungguh tepat anjuran Howard Gardner (Five Minds for The Future, 2011) agar warga sebuah bangsa wajib memiliki nalar agar menumbuhkembangkan “discipline mind” dan seterusnya akan berlanjut ke “creative dan synthetic mind” lalu menjadi “emphatic mind” yang akan menumbuhkan dasar-dasar karakter kemanusiaan (humanisme) sejak dini. Ketika keempat minds ini sudah mendarah daging di usia muda, maka “ethical mind” akan bertumbuh di jenjang SMA/MA/SMK dan Perguruan Tinggi.
Pada titik itulah kita harus mendorong Kemdikbud fokus bekerja di jenjang SD/MI dan mendorong Presiden untuk membuat Inpres SD/MI yang menginstruksikan semua jajaran agar “mengeroyok” jenjang SD/MI dengan acuan 8 (delapan) SNP (Standar Nasional Pendidikan) dan SKL (Standar Kompetensi Lulusan), SI (Standar Isi) dan SP (Standar Proses) serta SE (Standar Evaluasi) SD/MI dikoreksi agar menopang pencapaian tujuan Pembangunan Manusia Indonesia Tahun 2050.
Standar Mutu Guru SD/MI pun wajib dikoreksi, sejak “Pre Service” hingga “In Service.” Fokuskan “Pre Service” pada mutu Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dan “In Service” pada pelatihan yang tepat guna langsung bisa diterapkan di kelas. Dengan Inpres SD/MI ini semua pemangku kepentingan akan dihela bergotong-royong memperbaiki mutu kompetensi murid SD/MI.
Bertepatan dengan hadirnya tahun baru 2024, mari kita duduk bersama solusikan masalah pendidikan nasional dengan komprehensif berbasis Pancasila dan Konstitusi karena masa depan Indonesia bergantung di sektor ini. Singkatnya, jangan main-main dengan pendidikan kita.
Yudhie Haryono, CEO Nusantara Centre
sumber foto: jalurrempah.kemdikbud.go.id/