Namanya tidak terlihat di buku pelajaran sekolah, juga tak pernah terdengar diabadikan sebagai alamat jalan di kota. Saya hanya pernah beberapa kali membaca nama Ki Ageng Suryomentaram (KAS) tanpa tahu lebih banyak tentang dirinya atau kiprahnya. Namun, di sesi Kursus Online Pemikiran Jenius Bangsa #2, Sesi 4, 7 Desember 2023, Prof. Yudhie Haryono dan Setyo Hajar Dewantoro (SHD) mengupas sosok ini.
Membuang Privilese
Ki Ageng Suryomentaram adalah putra ke-55 Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Ki Ageng Suryomentaram mempunyai nama bangsawan Bendoro Raden Mas (BRM) Kudiarmadji dan setelah umur 18 tahun diberi nama kebangsawanan Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Suryomentaram. Keputusannya meninggalkan istana berawal ketika melihat beratnya hidup petani di sawah. Ia pun mulai suka bersemadi di berbagai tempat. Di istana, ia gelisah dan tidak tenang. Ketika Sultan Hamengku Buwono VIII bertakhta, BPH Suryomentaram diizinkan meninggalkan Keraton Yogyakarta.
Arus Balik Melawan Kolonialisme
Prof. Yudhie memilih KAS untuk dijadikan panutan terutama dalam hal mentalitas yang diwariskannya. KAS telah berupaya membuat revolusi mental, yaitu mental merdeka untuk melawan mentalitas kolonial. Berikut adalah dasar dari pemikiran KAS dalam menyadari akar kolonialisme dan cara mengatasinya:
- Kolonialisme berakar dari pikiran yang serakah. Ini hanya bisa dilawan tanpa keserakahan pula, yaitu pada pendekatan rasa, hati, dan jiwa.
- Gagalnya perang dengan angkatan senjata, membuat beberapa tokoh bangsa, salah satunya KAS melawan dengan cara yang berbeda.
- Kolonialisme terbukti tidak menaikkan derajat pribumi.
- Pada konteks masa kini, masih banyak orang yang menjadi antek/agensi kolonialisme. Mereka menganggap bahwa semat (kekayaan), drajat (status), kramat (kekuasaan) adalah jalan kebahagiaan, padahal itu bentuk dari merasa kurang atau serakah. Ajaran KAS ini di masa modern tidak jauh beda dengan apa yang diajarkan di Persaudaraan Matahari, tentang pentingnya bersyukur, dengan begitu tidak lagi memiliki watak keserakahan.
Kawruh Begja, Kebahagiaan Ala Ki Ageng Suryomentaram
Kawruh Begja adalah ajaran KAS yang paling fenomenal. Kebahagiaan versi KAS menekankan pada “nrimo ing pandum”, yang artinya menerima apa yang menjadi jatah kita. Bicara jatah, ada dua hal yang harus dibedakan, yaitu kepemilikan, yang sifatnya abadi; dan kepunyaan, yang bersifat sementara. Seringkali manusia menempatkan sesuatu yang seharusnya kepemilikan dianggap kepunyaan, yang seharusnya kepunyaan dianggap sebagai kepemilikan. Inilah yang dapat menjadi akar duka.
Faktor-faktor penyebab derita lainnya adalah iri hati, sombong, kecewa, dan khawatir. Bahagia artinya juga bersikap nglaras, yaitu memperhatikan saat ini di sini. Selain itu ada satu hal yang tidak ditemui dalam filsafat dan psikologi Barat, yaitu “rasa”. KAS mengajarkan olah rasa. Rasa yang dimaksud di sini bukan suatu bentuk emosi, perasaan; bukan pula dugaan berdasarkan logika. Mas Guru SHD, Ketua Umum Pusaka Indonesia sekaligus pendiri Persaudaraan Matahari, menjelaskan bahwa “rasa” yang dimaksud KAS merujuk pada rasa sejati, ini adalah instrumen kecerdasan nonfisik, yang dapat menjangkau kenyataan yang berlapis-lapis.
Warisan Pemikiran KAS yang Tidak Tersampaikan
Ajaran Kawruh Jiwa atau Kawruh Begja merupakan warisan berharga untuk kebahagiaan manusia ternyata hanya dipahami secara kognitif oleh para pengikut KAS. Hal ini membuat ajaran KAS tidak berkembang. Tidak banyak orang yang memahami arti kebahagiaan sejati, apalagi mempraktikkannya. Prof. Yudhie mengutarakan penyebabnya, yakni:
- Para pengikut KAS meyakini bahwa untuk bisa mendapatkan divine sense seperti yang dialami dan diajarkan KAS hanyalah dimiliki orang-orang terpilih. Tidak bisa dipelajari bagaimana cara mendapatkannya.
- KAS tidak menyampaikan teknik untuk mencapainya.
Bangsa Indonesia kehabisan metodologi, atau bisa disebut juga kurikulum. Tak hanya warisan dari KAS, dalam segala aspek bangsa, kita tidak punya kurikulum ke-Indonesiaan. Misal, dalam bidang seni bela diri pencak silat saja, sudah begitu berkembang di mana-mana, namun tidak ada sistem baku yang terstruktur sehingga tidak berkembang luas dalam masyarakat, apalagi sampai ke luar negeri.
Prof. Yudhie menambahkan bahwa kata ‘kebahagiaan’ tidak pernah ada dalam kurikulum pendidikan. Dirunut lagi, hal ini karena konsep ‘kebahagiaan’ tidak ada cantolannya dalam konstitusi, di dalam UUD 1945 tidak ada kata ‘kebahagiaan’. Padahal, Prof. Yudhie menambahkan, sejatinya, kebahagiaan adalah cita-cita semua manusia. Keinginan terdalam jiwa manusia.
Namun masih ada harapan, apa yang telah diajarkan oleh Mas Guru SHD dalam Persaudaraan Matahari, di sini saya temukan kurikulum kebahagiaan, membuat saya tersadar apa itu kebahagiaan sejati dan melatih keheningan sebagai tekniknya.
Stella Manoppo,
Peserta Kursus Online Pemikiran Jenius Para Pendiri Bangsa #2
sumber foto: Yayasan Idayu