Jalur Pendidikan Nusantara menjadi tema yang dibahas pada sesi penutup rangkaian kelas Nusantara Studies pada Sabtu, 17 Februari 2024 lalu. Berlangsung secara hibrida di Museum Bahari Jakarta, acara diampu oleh Setyo Hajar Dewantoro (Mas Guru SHD), Ketua Umum Pusaka Indonesia dan Prof. Yudhie Haryono, Direktur Nusantara Centre. Tema yang mengusung sejarah kejayaan Nusantara selalu membuka wawasan berpikir yang lebih luas akan alternatif solusi menuju perbaikan tata pendidikan Nasional. Seyogyanya hal ini menjadi landasan perubahan tatanan masyarakat Indonesia menuju Generasi Emas 2045 yang akan segera kita sambut.
Mas Guru SHD di awal sesi tidak ingin membuka dengan fenomena carut marutnya sistem pendidikan dan kurikulum saat ini yang memang sudah begitu kompleks situasinya. Dalam pandangan Prof. Yudhie, sistem pendidikan kita saat ini terlalu ‘sentrifugal’, yaitu gaya pendidikan yang berfokus pada pencapaian di luar diri, bergerak keluar dari pusat inti lingkaran, padahal pusat inti itu merupakan kekuatan di dalam diri yang sesungguhnya menjadi inti kekuatan pembentukan karakter manusia. Dalam konteks ini, Mas Guru SHD mengajak kita untuk melihat sistem pendidikan yang diterapkan pada masa kejayaan Nusantara, seperti zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa itu, mereka mengalami masa keemasan yang dapat dijabarkan sebagai masa-masa gemah ripah loh jinawi, terdapat keharmonisan pada masyarakatnya dengan alam sekitar dan alam semesta.
Sebagai antitesis dari pendidikan sentrifugal yang diterapkan semenjak zaman penjajahan, menurut Prof Yudhie, di masa lalu sistem pendidikan utama yang diterapkan disebut Kurikulum Mandala. Sebuah sistem pendidikan yang mengacu ke dalam, seperti lingkaran mandala yang putarannya bergerak memutar ke dalam, menuju inti atau pusat energi dalam diri yang sesungguhnya, dari situlah semua kreativitas dan kemampuan gerak sentrifugal itu berasal.
Penerapan dalam Kurikulum Mandala ini lebih berfokus kepada pembentukan karakter pribadi masing-masing anak yang mengenyam pendidikan formal, sehingga sedari kecil setiap anak sudah memahami bahwa pusat kekuatan dirinya berasal dari dalam diri. Masing-masing anak akan dibimbing untuk bisa menggali potensi terbesar yang terpendam dalam diri dan dapat mengembangkannya sesuai perannya.
Mas Guru SHD juga mencontohkan tempat-tempat di Jawa yang di masa lalu menjadi sentra atau pusat pendidikan para ksatria yang merupakan mandala atau pusat energi alam, seperti yang pernah ditemuinya di Candi Ceto, berada yang terletak di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Dalam relasinya dengan penerapan Kurikulum Mandala yang berpusat pada pendidikan karakter untuk membangun harmoni antara diri pribadi dengan segala sesuatu di sekelilingnya, tentu kita berharap suatu saat akan ada terobosan-terobosan baru di sistem pendidikan kita saat ini yang terlalu bergerak menjauh dari pembangunan pondasi karakter diri yang kuat. Harapan dari kelas-kelas semacam ini adalah kita dapat membangun awareness yang semakin luas, terutama kepada stakeholder bangsa yang mempunyai kepentingan besar untuk membangun sistem pendidikan sehingga dapat tercapainya Generasi Emas 2045 yang harmoni.
Virine Tresna Sundari
Wakil Ketua Bidang Riset & Kajian Pusaka Indonesia
sumber foto: Ilustrasi Mandala-Pesantren Jaman Majapahit GNFI