Skip to main content

Tepat di malam Pagelaran Indonesia Bahagia pada Hari Jum’at tanggal 14 Juni 2024, Pusaka Indonesia menggelar diskusi bertajuk “Diskursus Negara Bahagia: Arah Pembangunan yang Diamanatkan UUD 1945”. Diskusi ini dipandu oleh Setyo Hajar Dewantoro (Mas Guru SHD), Ketua Umum Pusaka Indonesia bersama Prof Yudhie Haryono, Direktur Nusantara Centre, serta Laksda Purn TNI Untung Suropati, Purnawirawan Perwira Tinggi TNI AL. Ketiganya membahas kesenjangan antara visi ideal tentang sebuah bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera dengan realitas pembangunan yang belum sepenuhnya menciptakan kebahagiaan bagi masyarakat. Apakah masyarakat kita sudah bahagia? 

Tentang bahagia dalam konteks bernegara, Prof Yudhie mengemukakan, konsep ini tidak tercantum secara tekstual dalam konstitusi. Akhirnya, hal-hal yang berkaitan dengan kebahagiaan tidak dianggap sebagai hal penting atau krusial. Pemahaman atau tradisi bangsa Indonesia menganggap “kebahagiaan” adalah “keberuntungan”, sehingga level mentalitasnya minimalis. “Contohnya, ungkapan, Sudah untung masih bisa sekolah walaupun mahal dibandingkan dengan yang nggak bisa sekolah sama sekali,” ujar Prof Yudhie. Beliau menambahkan, saat mengalami penjajahan, bangsa Indonesia tidak mempermasalahkan kondisi ketidakbahagiaannya. Yang menjadi perhatian saat terjajah adalah ketidakadilan, ketidakmanusiawian, ketidakgotongroyongan, ketidakbersatuan, serta ketidakspiritualan.

Laksda Purn TNI Untung Suropati membenarkan hal ini. Ia mengungkapkan, nilai-nilai seperti “untung”, sebenarnya mengandung makna menerima dengan tulus hasil dari usaha terbaik. Menerima segala ketetapan Gusti dengan rasa legowo dan penuh rasa syukur. Sayangnya pernyataan atau prinsip tentang “Untung”, “Untung” dan “Untung” ini disalahgunakan oleh masyarakat yang malas, hanya memberikan sikap perjuangan yang minimalis, serta tidak mempunyai mentalitas untuk membuat yang terbaik dalam perjuangan. Menurut Laksda Untung, perubahan total bangsa ini terjadi pasca runtuhnya Kerajaan Majapahit. 

Lebih jauh tentang fenomena ini sebenarnya juga dibahas dalam buku ‘Matahari Kesadaran: Dari Nusantara untuk Dunia’ yang ditulis Guru SHD. Dalam buku ini, Guru SHD membongkar dengan gamblang tentang budaya, mentalitas dan kesalahpahaman berpikir yang selama ini menyebar dan membentuk karakter masyarakat. Ia menguraikan karakter agung yang sebenarnya dari para leluhur Nusantara. Kejayaan Nusantara Kuno dengan armada perang yang kuat, serta bangunan-bangunan arsitek candi yang kokoh dan indah, tidaklah mungkin akan dapat diwujudkan oleh masyarakat dengan mentalitas yang tidak konstruktif seperti sekarang ini. Maka, Guru SHD mengajak kita meneladani mentalitas agung dari para leluhur Nusantara dalam menciptakan perpaduan antara sikap bersyukur dan semangat revolusioner untuk perubahan yang lebih baik. 

Diskusi juga menyoroti bahwa konsep kebahagiaan dan pencapaian kondisi “Sentosa” sebagai keberhasilan dalam dimensi materiel dan spiritual pada dasarnya dapat dibenahi lewat jalur pendidikan. Pendidikan memegang peran krusial dalam membentuk budaya baru yang lebih mandiri dan berdaya. Sayangnya, kurikulum pendidikan yang berlaku saat ini tidaklah mengarah untuk mencapai hal-hal yang mendasar tersebut. Hal ini menunjukkan perlunya perubahan paradigma dalam kurikulum pendidikan untuk mencapai tujuan yang lebih luas dan mendasar bagi kebahagiaan dan kemandirian bangsa.

Laksda Purn Untung  juga menyinggung sebuah buku berjudul “Architect of Deception”, yang ditulis oleh seorang wartawan dan penulis yang tinggal di Swedia, Juri Lina. Dalam buku tersebut, ia menuliskan bahwa untuk menghancurkan sebuah bangsa cukup dengan menghancurkan sejarahnya, menghancurkan situs-situs bukti artefak, serta memutus hubungan dengan keagungan leluhur. Kondisi inilah yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Generasi penerus dibuat merasa malu, tidak yakin, serta kehilangan kebanggaan terhadap keagungan leluhur Nusantara. Banyak cerita palsu yang tersebar luas dan dipercaya oleh masyarakat. 

Upaya Pelurusan Sejarah

Salah satu cerita palsu yang selama ini dipercayai masyarakat adalah kisah tentang raja Mataram yang pertama, Panembahan Senopati, yang diceritakan membunuh menantunya sendiri yaitu Ki Ageng Mangir secara keji dan licik. Padahal, fakta sesungguhnya adalah keduanya sangat dekat dan senantiasa berkolaborasi dalam membangun Mataram yang hendak meneruskan kejayaan Majapahit. Kisah ini pulalah yang diungkap di Pagelaran Indonesia Bahagia, sebagai sebuah upaya antitesis dari narasi yang ada. 

Di Pusaka Indonesia sendiri, upaya-upaya perbaikan telah dimulai lewat sejumlah kegiatan pembelajaran dan pendidikan non-formal. Guru SHD membenarkan bahwa untuk dapat berbudaya sesuai jati diri bangsa, membangun dan menumbuhkan karakter serta mendobrak mentalitas bangsa ini harus lewat jalur pendidikan. Sebab bila lewat jalur kebudayaan, budaya yang menjadi karakter masyarakat saat ini  adalah gabungan dari kebudayaan kolonialisme dengan mentalitas minimalis.  Guru SHD mengungkapkan bahwa Pusaka Indonesia fokus dalam aksi nyata membangun pemahaman di bidang ideologi, wawasan kepancasilaan, serta keberdikarian. Beliau mengajak semua pembelajar untuk mulai membuat antitesis lewat berbagai karya, baik seni maupun tulisan, agar masyarakat luas menjadi sadar akan jati diri leluhurnya yang agung, serta meneladani kejayaan Nusantara Kuno. 

“Merujuk pada budaya kuno Nusantara, leluhur bangsa kita merupakan bangsa yang revolusioner, transformatif, dan progresif,” ungkap Guru SHD. Maka jika mengacu pada pembangunan karakter dan kejayaan Nusantara kuno di era Majapahit, kita akan mengenal istilah Gemah Ripah Loh Jinawi yang berarti kemajuan dan kesejahteraan, serta Tata Tentrem Kertaraharja yang berbicara jiwa yang telah mengalami ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan sejati. 

 

Tim Editor Pusaka Indonesia