Pendidikan merupakan salah satu pilar penting dalam pembangunan peradaban. Hal itu tercermin dalam Pancasila sila ke-2, yang berbunyi: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Namun, jika memang benar demikian, mengapa di Indonesia meskipun ada banyak orang bergelar pendidikan tinggi akan tetapi miskin etika dan moral, bahkan tidak beradab? Banyak yang setuju bahwa hal tersebut terjadi karena pendidikan di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pendidikan moral dan budi pekerti dihapus, sehingga menyebabkan kekosongan pendidikan karakter manusia Nusantara.
Akhirnya, dicarilah negara lain yang bisa menjadi contoh. Keluarlah Finlandia sebagai juara sistem pendidikan terbaik di dunia. Namun sesungguhnya, kita tidak perlu jauh-jauh menjadikannya sebagai standar terbaik, kita hanya perlu menengok ke belakang, bahwa dulu pernah ada kerajaan-kerajaan di Nusantara yang berjaya. Dulu mereka memiliki sistem pendidikan dan kaderisasi yang bagus. Oleh karena itu, melalui diskusi hangat pada kelas penutup Nusantara Studies: Jalur Pendidikan Nusantara, Direktur Eksekutif Nusantara Centre Prof. Yudhie Haryono dan Ketua Umum Pusaka Indonesia Setyo Hajar Dewantoro (SHD) mengajak kita untuk mengetahui bagaimana sebetulnya sistem pendidikan saat itu dan apa pengaruhnya terhadap kejayaan Nusantara masa silam.
Sebagai pengantar dalam kursus Nusantara Studies, Prof. Yudhie Haryono mengungkapkan bahwa pendidikan itu penting untuk mewujudkan cita-cita proklamasi. Fakta yang terjadi saat ini, meskipun pemerintah telah mengalokasikan APBN sebesar 20% untuk pendidikan, namun kepuasan masyarakat kepada negara belum tinggi. Tingkat penyerapan tenaga kerja belum maksimal, gelar tinggi tetapi tidak berdampak pada peradaban publik. Pendidikan di Indonesia juga belum bersifat non-blok, artinya pendidikan disiapkan untuk ketergantungan terhadap negara-negara lain.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Umum Pusaka Indonesia yang sering disapa Guru SHD, host yang sekaligus guru spiritual murni di Persaudaraan Matahari. Beliau membenarkan tentang rendahnya tingkat independensi Indonesia. Penilaian realitas tingkat independensi meliputi tiga hal, yaitu: budaya, oligarki, serta tidak dikuasai oleh negara lain. Lebih lanjut, beliau mencontohkan negara-negara yang tingkat independensinya tinggi, antara lain Rusia, Korea Utara, Kuba, dan Iran. Meskipun Iran masih belum independen dalam hal budaya karena masih terpengaruh oleh Arabisme, akan tetapi nilai independensinya lebih tinggi jika dibandingkan dengan Indonesia yang masih lemah dalam ketiga aspek tersebut.
Era Emas Nusantara dan Sistem Pendidikan Saat Itu
Berdasarkan catatan sejarah dan dari pengakuan beberapa negara tetangga, Majapahit adalah salah satu kerajaan yang membuat Nusantara mengalami era keemasan. Terbukti dari banyak negara tetangga yang sempat belajar doktrin Gajah Mada, yang disebut tradisi Sondang Majapahit, yaitu ilmu telik sandi yang luar biasa hebat, di dalamnya terdapat ilmu bela diri yang tak terbaca orang lain. Namun, jauh sebelum era Majapahit, ada kerajaan Sriwijaya, seperti yang ditulis oleh I-Tsing pada abad 5-6 M. Pendidikan Sriwijaya menjadi besar melebihi yang lain karena ada proses pengkaderan lewat sekolah dan ditunjang oleh tokoh publik berwibawa.
Pendidikan ala Sriwijaya mengutamakan Tuhan yang ada dalam diri dan Jiwa, yang hal itu tidak dimiliki sistem pendidikan kita sekarang, yang selalu menganggap orang luar lebih hebat, sehingga tidak membangun jati diri bangsa. Pendidikan di era Sriwijaya tersebut bertumpu pada teori Mandala, yakni manusia dicetak untuk berpikir pada kesetimbangan harmoni. Realisasinya adalah :
- Pendalaman (sentripetal), merujuk ke yang paling dalam atau telenging manah atau Tuhan yang bertahta di relung hati.
- Sentrifugal. Setelah membangun jati diri personal, barulah membangun ke luar.
Tuhan dan Kemandalaan
Guru SHD menjelaskan bahwa ada beberapa candi yang dahulu digunakan sebagai tempat pengkaderan, antara lain Candi Wukir di Jawa Tengah, dan Candi Penataran di Blitar, Jawa Timur. Apa yang ditemukan Guru SHD serupa dengan yang dikatakan Prof. Yudhie Haryono, yaitu konsep yang bermula dari kesadaran akan Diri Sejati atau Tuhan dalam relung hati. Bahwasanya pendidikan tidak hanya meliputi ranah materiil, tetapi juga esensial seperti Tuhan dan jiwa. Secara epistemologi, pendidikan di masa silam tidak hanya menggunakan otak, tetapi juga Rasa Sejati, intelektual, dan spiritual.
Di masa lalu, paradigma pendidikan bersifat konsentris (Kemandalaan), artinya proses pendidikan jati diri didahulukan, baru pendidikan jati luar yang kemudian dapat dihubungkan dengan peran-peran lainnya. Sebuah konsep yang tak lekang oleh zaman. Mandala bisa diartikan pula sebagai pusat energi. Untuk mendayagunakannya, dibangunlah candi yang mengikuti gambar Mandala. Konsep Mandala dapat ditemukan di Candi Borobudur, di Magelang dan Candi Cetho, dekat Gunung Lawu, Jawa Tengah. Dalam konteks pendidikan, lokasi dengan mandala bertujuan untuk membangun harmoni manusia dengan alam Semesta. Penjelasan detail tentang Mandala dan Yantra terdapat di buku Tantra Yoga, karya Guru SHD.
Kemerdekaan dalam Pendidikan
Nusantara sendiri mengalami kemunduran pendidikan akibat penjajahan. Sebelum dijajah, Sriwijaya dan Majapahit memiliki kemerdekaan dalam menyusun apa yang ingin dicapai melalui pendidikan. Saat dijajah bahkan setelah merdeka pun masih ada mentalitas sebagai negara bekas jajahan. Stovia, School tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera yang didirikan di Batavia oleh Belanda tahun 1902, adalah contoh bentuk sekolah yang ‘didedikasikan’ untuk kepentingan kolonialisme. Kurikulumnya tidak memihak negara sendiri, tetapi banyak yang menjadi agensi asing. Tidak ada kurikulum yang dibuat untuk berwirausaha atau membangun negeri ini.
Pada periode tahun 1920-1945, banyak tokoh yang memunculkan gagasan jenius, termasuk Ki Hajar Dewantara dan Ki Ageng Suryomentaram. Namun, konsep yang dikenal masyarakat baru bagian sentripetal saja, meskipun ada naskah tentang gerak sentrifugal, tetapi tidak diterbitkan. Kedua orang tersebut merupakan contoh tokoh yang menentang penjajahan dalam pendidikan. Namun, apa yang sudah digagas mereka berdua tidak diimplementasikan hingga saat ini. Sebagai negara agraris, kebutuhan akan sarjana pertanian sangat besar, namun kenyataannya sarjana pertanian jauh lebih sedikit dari kebutuhan, sedangkan sarjana komputer jauh lebih banyak.
Kembali ke masa lalu, kita perlu belajar pada sejarah. Para leluhur telah mewariskan harta sangat berharga kepada kita. Pendidikan yang pernah membuat Nusantara berdiri kokoh, bahkan saat dipimpin oleh wanita. Bukti bahwa zaman dulu, nenek moyang kita sudah selesai dengan masalah kesetaraan gender.
Sekarang bagaimana kita mau menggali lagi harta yang telah terpendam itu? Ada Gaya Nusantara yang dapat menjadi pedoman, yaitu: 1) Spiritualitas murni yang mengikuti gerak Semesta, 2) Karakter yang muncul dari kasih murni, 3) Cara bernalar kritis, dan 4) Penguasaan aspek-aspek dalam kehidupan.
Stella Manoppo, peserta Kursus Online Nusantara Studies
Sumber foto : borobudurpark.com