Skip to main content

Majapahit tercatat dalam sejarah pernah membawa Nusantara pada puncak kejayaannya. Namun, seberapa jauh kita benar-benar mengenal sejarah bangsa yang begitu mengakar ini? Sarasehan yang diselenggarakan Pusaka Indonesia bertajuk Kejayaan Majapahit: “Mitos atau Fakta?” pada 19 Oktober 2024 lalu membawa pada pengenalan yang lebih komprehensif terhadap Majapahit. Dengan narasumber utama, Setyo Hajar Dewantoro (SHD), Ketua Umum Pusaka Indonesia, Prof. Agus Aris Munandar, Guru Besar Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, dan Laksda Purn. Untung Suropati, purnawirawan TNI AL dan inisiator Gerakan Kembali Ke Nusantara (GKKN) berhasil memantik rasa keingintahuan mendalam tentang bagaimana Majapahit yang sebenarnya. 

Inilah rangkuman intisari yang menjawab bahwa Kegemilangan Kerajaan Majapahit adalah Fakta.  

Aspek Arkeologi 

Berdasarkan penelitian arkeologi, Majapahit termasuk dalam sejarah klasik Indonesia, yang berkembang setelah masa proto-sejarah dan sebelum datangnya Islam. Wilayah inti Majapahit ditemukan di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, yang dianggap sebagai bekas pusat kota Majapahit.

Peradaban Majapahit merupakan perpaduan dari kegiatan agraris, sistem kota (nagara), sistem pertapaan (mandala), dan aktivitas maritim. Dalam pemerintahannya, Raja didukung oleh sistem kepemimpinan kompleks dengan filosofi Hasta Brata. Pada masa Hayam Wuruk, ia memiliki tujuh penasihat atau disebut Pahom Narendra, dan diproteksi oleh pasukan Bhayangkara. Di bawahnya adalah Gajah Mada sebagai Patih Amangku Bhumi dan para pejabat tinggi seperti Wrddhamantri (menteri urusan dalam kerajaan), Mantri Amancanagara, dan Yuwamantri.

Konsep Triloka – Triangga, Pandangan Majapahit tentang Dunia

Majapahit memiliki pandangan yang luas tentang dunia, sebagaimana tertulis dalam kitab Kakawin Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca. Konsep Triloka – Triangga membagi dunia menjadi tiga lingkaran: lingkaran utama (Wilwatikta Pura), lingkaran Madya, yang mencakup wilayah Nusantara dan pulau-pulau di sekitarnya, serta lingkaran Mula yang mencakup negara-negara luar seperti India dan Cina. Wilwatikta Pura yang menempatkan Majapahit sebagai pusat, menjadi cikal bakal konsep Persatuan Indonesia dan inspirasi bagi sila ketiga Pancasila.

Wilayah Majapahit (Utama – Madya – Mula)

Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa 

Filosofi ini tercermin dalam bangunan candi-candi seperti Candi Jawi, Candi Jabung, dan Candi Jago. Mpu Prapanca menulis, candi dapat bersifat Siva di bagian bawahnya, sementara di puncaknya bersifat Buddha (karena berbentuk stupa). Dari sudut pandang Spiritual Murni, corak spiritualitas bangsa Majapahit adalah Kasaiwan, Kasogatan, dan Tantra. Meskipun bangsa Majapahit memiliki tradisi spiritual yang berbeda-beda, sebetulnya hakikatnya sama atau satu, sehingga Nusantara zaman dulu tidak pernah ribut soal “label”.  

Hasta Mandala, Pusat Energi Majapahit 

Para pemimpin dan cendekia Majapahit memahami pola energi yang menjaga keseimbangan negara. Mereka membangun pusat-pusat energi yang disebut mandala. Majapahit bisa besar dan kuat karena ditopang oleh hasta (delapan) mandala utama yang dijaga oleh para resi dan mpu, orang-orang yang berjiwa murni. Tatanan energi yang terjaga ini dipercaya memberikan kemakmuran dan ketenteraman, menjadikan Majapahit sebagai negara yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja.

Mitreka Satata

Majapahit menerapkan prinsip Mitreka Satata dalam sistem administrasi wilayah, sebuah pola hubungan setara antara pusat dan wilayah-wilayah di Nusantara. Bukan hubungan penguasa dengan wilayah yang dikuasai. Hubungan ini terlihat pada arsitektur dan budaya di daerah-daerah yang berada dalam lingkaran Madya, seperti Kamboja, yang memiliki pengaruh arsitektur mirip Majapahit.

Konsep Kenegaraan Mandala Majapahit

Ketahanan Nasional, Majapahit Sebagai Negara Adidaya 

Kerajaan Majapahit dikenal memiliki sistem ketahanan nasional yang tangguh. Dalam kurun waktu 75 tahun, Majapahit mencapai status negara adidaya, dengan armada laut yang kuat, termasuk kapal Jong yang mampu menampung hingga 400 awak. Bandingkan dengan Kapal Republik Indonesia (KRI) terbesar saat ini, KRI Yos Sudarso yang menampung 120 awak. Kapal ini juga jauh lebih besar daripada kapal Galleon buatan Portugis. Meski bukti resmi keberadaan kapal ini masih minim, catatan sejarah dan cerita rakyat membuktikan keunggulan Majapahit di bidang pertahanan dan keamanan.

Jika diukur dengan indeks Ketahanan Nasional, era Majapahit masuk dalam zona ungu (sangat tangguh). Di era Indonesia merdeka pada tahun 1945, belum pernah menyentuh zona biru (tangguh). Hingga saat ini, aspek ketahanan nasional Majapahit—termasuk ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan—masih menjadi inspirasi bagi Indonesia untuk memperkuat kedaulatan di bidang maritim dan geopolitik sebagai Poros Maritim Dunia.

Kapal Jong versus Kapal Galleon

Referensi Tambahan:

  1. Irawan Djoko Nugroho. Majapahit Peradaban Maritim. Edisi Pertama. Jakarta: Suluh Nuswantara Bakti; 2011.
  2. Presentasi Majapahit Talk by Dennis Ridder – Indonesian Heritage Society. September 2024.

 

Natalia Puri Handayani
Kader Pusaka Indonesia Wilayah DKI Jakarta – Banten