Skip to main content

Sesi 3 Kuliah Karakter Konstitusi

Kuliah Karakter Konstitusi yang merupakan kerjasama Pusaka Indonesia, FOKO, dan Nusantara Center, sudah memasuki sesi ke-3, Sabtu 17 Juni 2023 lalu. Dibawakan oleh Pendiri dan Ketua Umum Pusaka Indonesia Gemahripah, Setyo Hajar Dewantoro (SHD), tentang sila 4 Pancasila, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan,” dihadiri banyak peserta dari berbagai latar belakang dan komunitas.

Beberapa tahun terakhir, ada upaya untuk mengubah UUD 1945 dengan nilai-nilai baru yang lebih liberal, dan semakin berbelok dari semangat Pancasila. Sayangnya, semakin sedikit orang yang mau berjuang dengan ketulusan dan patriotisme. Di masa sekarang ini, suatu gagasan bisa dimenangkan jika disukai oleh mereka yang punya uang dan massa. Namun demikian, SHD mengungkapkan gagasan menarik, agar kita tidak menyerah pada dinding tebal yang tidak bisa ditembus.

“Gagasan saya adalah sebelum kita sama-sama berjuang agar Pancasila menjadi dasar negara yang konsisten, yang kemudian betul-betul menjadi dasar dan spirit dari UUD negara kita, kita belok dulu, menguatkan Pancasila menjadi way of life, jadi jalan spiritual bagi bangsa kita,” tegasnya. Ia menambahkan, untuk yang satu ini, bisa dijalankan mulai detik ini juga. Untuk yang satu ini, kita tidak berhadapan dengan siapa pun juga. “Ini soal pilihan kita. Maukah kita kembali pada Pancasila atau tidak.”

Agus Haryono, kader Pusaka Indonesia yang mengikuti sesi, berbagi catatan inspirasi dari kelas tersebut. “Mas Guru SHD berdasarkan pengalaman otentik sebagai guru spiritual, aktivis sosial politik, penulis buku, menguraikan sila ke-4 dengan memulai dari Pancasila sebagai dasar negara dan way of life bangsa Indonesia. Saya setuju, idealisme saja tidak cukup untuk mengubah bangsa,” kata Agus.

Sementara Daniel, peserta dari Tangerang yang juga kader Pusaka Indonesia, mengatakan bahwa kebanyakan masih berpikir dan mencari solusi bagaimana caranya mengganti amandemen UUD 1945 tahun 2002 dan mengkaji kembali kepada UUD 1945 dan kembali ke Pancasila. “Mereka tidak menyentuh ke akar permasalahannya, dan tidak menyentuh hal-hal yang menyangkut perilaku di kehidupan sehari-hari yang justru adalah nilai-nilai dari Pancasila itu sendiri. Perilaku individu dengan kasih yang murni tanpa diskriminasi akan mengubah apa yang ada di luar diri dengan jangkauan yang sangat luas,” kata Daniel.

SHD memaparkan, masalah yang kita hadapi saat ini adalah masalah manusia. Selama banyak orang tidak hidup dengan kesadaran Ketuhanan yang Maha Esa, hidup menjadi penyembah uang, tidak mungkin kita bisa punya undang-undang bagus. “Selama politisi dan siapa pun yang jadi negarawan, bisa dikalahkan dengan iming-iming uang, jangan harap ada perubahan yang sejati. Maka bisa tidak kita menempatkan Pancasila sebagai sebuah jalan yang membuat kita sebagai manusia Indonesia ini menjadi laksana garuda. Bisa terbang tinggi, menjangkau cita-cita di langit sana, bisa kukuh dengan idealita perjuangannya. Tidak bisa diiming-imingi oleh apa pun dan tidak takut oleh siapa pun. Tanpa itu semua ide bagus hanya akan menjadi omong kosong.”

Bagaimana konkretnya menjadikan Pancasila sebagai way of life, terhayati menjadi karakter? Caranya, yang diajarkan SHD, adalah apa yang disebut Hening Cipta. Sebuah metodologi untuk membuat pikiran tidak liar. Hidup dalam kesadaran yang utuh. Menghayati kasih Tuhan di dalam napas. Menghayati energi hidup di dalam napas kita sendiri. Menghayati bahwa di relung hati kita ada tahta Tuhan. Kata Hening Cipta ini yang selama ini menjadi missing link dalam pengamalan Pancasila.

Apabila Pancasila direnungkan dalam Hening Cipta kita, kita akan menemukan sesuatu yang agung. “Saat menyadari napas, meresapi anugerah di dalam napas, kita akan tahu bahwa apa pun latar belakang suku, agama, dihidupi oleh realitas yang sama. Kita menghirup udara yang sama. Dinaungi kasih dari Tuhan yang sama. Ini akan membuat kita melampaui tantangan sektarian yang memecah belah bangsa. Kalau kita sungguh-sungguh menghayati sila 1, segala gerak pikir, kata-kata, dan tindakan akan mengacu pada kompas kebenaran. Sila pertama ini akan termanifestasikan dalam kesadaran kemanusiaan. Dengan kasih murni kita pasti akan hidup dalam keadilan dan keadaban. Ajaran Pancasila menjauhkan kita dari ego. Selama kita mengikuti ego, tidak akan mungkin bisa bersatu. Persatuan tidak mungkin terjadi kalau tidak ada keadilan. Saat kita hidup dalam Ketuhanan yang Maha Esa, kita akan mengerti apa yang dimaksud kerakyatan yang dipimpin dalam hikmat kebijaksanaan. Bagaimana menemukan orang yang punya sikap melayani, hidup dalam hikmat kebijaksanaan. Hikmat kebijaksanaan adalah tuntunan Tuhan di dalam relung hati kita masing-masing. Apabila sila 1-4 dipraktikkan dengan benar, barulah keadilan sosial akan menjadi nyata bagi rakyat Indonesia,” ungkap SHD.

Sebagai penutup, SHD mengajak untuk bersama menciptakan keajaiban dengan menyalakan Api Pancasila di dalam hati kita semua. “Dengan hati murni dan kejeniusan, suatu saat massa dan uang akan datang untuk membangun kembali bangsa Indonesia yang sejati seperti yang pernah ada di masa yang disebut bangsa Nusantara, pada masa kerajaan Majapahit, Singosari, Kahuripan, Sriwijaya dan seterusnya.”