Banjir rentenir, defisit ekonom. Kita bahkan harus jujur, “elite negeri tak punya ekonom.” Apa buktinya? Jangankan mereka bicara Indonesia jadi negeri pendonor, bilang tidak perlu utang saja tidak bisa. Yang bisa mereka lakukan dan imani ya hanya utang dan melipatgandakan utang. Jangankan bicara 1 rupiah sama dengan 12 ribu dolar Amerika Serikat (AS), bilang 1 rupiah sama dengan 1 dolar AS saja tak berani. Tentu saja ini sangat berbahaya, sebab, kedaulatan rupiah menjadi tak ada. Ujungnya tak ada kedaulatan negara Indonesia.
Apakah tak ada solusinya? Ada. Apa itu? Refinansialisasi. Ini kerja raksasa untuk memaknai ulang pengadaan dan pengelolaan uang, peningkatannya, alokasinya, pemberdayaannya, perhitungan risikonya, prospek masa depannya, dan kedaulatan keuangannya (kurs, nilai tukar, dan alat perang plus alat dominasinya).
Kerja jenius ini penting untuk memperoleh, mengelola, dan merencanakan APBN, baik pendapatan maupun pengeluarannya demi kedaulatan dan kemartabatan negara. Demi habisnya kemiskinan, hilangnya ketimpangan, pengangguran, kesakitan dan kebodohan. Demi hadirnya kemartabatan, kesejahteraan, kesentosaan, dan rahmat Tuhan.
Mengapa begitu? Sebab, pada akhirnya semua diselesaikan dengan uang. Dan, dalam konteks hubungan antarnegara, uang itu bukan hanya alat bayar dan tukar tapi ia menjadi alat untuk melakukan apa yang disebut dengan jebakan utang. Hubungan diplomasi yang seharusnya setara dan beradab bisa berubah menjadi diplomasi jebakan utang. Ini adalah teori untuk menggambarkan negara atau lembaga pemberi pinjaman yang kuat dan berusaha membebani negara peminjam dengan utang yang sangat besar untuk meningkatkan pengaruh (dominasi) terhadapnya.
Dengan demikian uang adalah alat tukar, investasi, dominasi, predatori, sekaligus kolonialisasi yang bekerja untuk membuat “boom and bust” (resesi dan depresi) di negara peminjam dari pemberi pinjaman. Dalam urusan utang ini, Ichsanuddin Noorsy (2019) menyebut bahwa negara peminjam pasti mengalami 5i (intervensi, infiltrasi, intimidasi, inflasi, dan invasi).
Berikut posisi terbarunya: menurut data CEIC (per Maret 2023), Indonesia berada di peringkat ke-22 dengan nilai utang mencapai 518 miliar dolar AS atau Rp7.649 triliun pada Januari 2023.
Debt trap (jebakan utang) sesungguhnya merupakan manifestasi dari cicit neoliberalisme yang berkembang sejak mazhab Cambridge (1842) eksis. Mazhab ekonomi ini mengembangkan teori penjajahan baru dengan alat uang. Tetapi berkembang lebih luas pada tahun 1970-an oleh para ekonom dalam usaha melipatgandakan kekayaan negara dan (konglomerasi). Di sini dikenal dengan mazhab monetaris yang mengembangkan posisi Bank Sentral untuk melakukan kebijakan moneter guna mempengaruhi jumlah uang beredar dan ketersediaan kredit dalam perekonomian. Implementasi bank sentral menggunakan beberapa instrumen, termasuk suku bunga kebijakan, operasi pasar terbuka, dan rasio cadangan wajib. Berdasarkan tujuannya, dua jenis kebijakan moneter: kontraksi dan ekspansi.
Beberapa buku yang mengulas tema ini antara lain, Studies in the Quantity Theory of Money (1956); A Program for Monetary Stability (1960); The Role of Monetary Policy (1968); The Optimum Quantity of Money (1969).
Sementara itu, beberapa pola hubungan ekonomi perdagangan sebagai alas bagi geopolitik uang bisa dibaca pada buku-buku, The Pure Theory of Foreign Trade (1829); The Principles of Economy (1890); Industry and Trade (1919); Money, Credit and Commerce (1923).
Kita tahu kolonialisme Britania Raya ditopang oleh manusia dan senjata hingga saat tertentu mereka sadar bahwa itu akan membuat kehilangan penduduk dan kebangkrutan jika mengalami kekalahan perang. Tentu saja itu berbahaya bagi keberlangsungan Britania Raya. Inilah kolonialisme purba.
Kesadaran akan punahnya Britania Raya itulah yang membuat mereka mengkreasi kolonialisme baru tanpa penguasaan teritorial, tanpa pengiriman pasukan, dan tanpa akumulasi perangkat perang. Mereka mulai mencari cara untuk tetap menjadi kolonialis yang berkuasa di daerah koloni (jajahan).
Singkatnya, mereka membuat ide negara-negara persemakmuran sebagai persatuan negara bekas jajahan Inggris yang kemudian diikat dengan tiga hal: 1) Penggunaan bahasa; 2) Penggunaan uang; 3) Penggunaan cita-cita bersama. Karena itulah bangsa Inggris dikenal sebagai penemu “jalur bahasa” untuk menguasai dunia sekaligus penemu “jalur uang” untuk menguasai Jagat Raya.
Dalam konteks penguasaan Jagat Raya inilah, mereka menemukan dan mengembangkan teori debt trap yang nanti dikopi oleh bangsa Cina menjadi diplomasi jebakan utang. Satu dominasi baru hasil replikasi dan kelanjutan dari utang sebagai hilir kolonialisme modern.
Jika negara-negara jajahan Inggris, Spanyol, Belanda, Portugis, dan Jepang pada awalnya dijajah dengan cara-cara teritorial, kini mereka dijajah dengan cara pelemahan kurs mata uang, utang yang menumpuk dan investasi (haram).
Pelemahan kurs ini tunduk pada teori hubungan mata uang secara bebas (kurs bebas) yang bergerak pada empat hal: privatisasi, liberalisasi pasar modal, iman pada fundamentalisme pasar, dan swastanisasi negara. Inilah roadmap World Bank (WB), International Monetary Fund (IMF), dan Multinational Corporation (MNC) yang sudah lama bekerja.
Mempelajari kolonialisme modern dengan demikian harus dimulai dengan mempelajari sejarah uang, riba dan teori debt trap (jebakan utang luar negeri). Tanpa mengetahui sejarah uang dan debt trap maka kita akan mengalami rabun geopolitik dan geostrategis. Itu artinya, uang dan debt trap merupakan jalur-jalur keduanya.
Mereka yang mengalami rabun geopolitik dan geostrategis pastilah tidak mengerti teori sovereignty. Sebab uang dan debt trap dalam konteks ini adalah alat untuk menegakkan sovereinitas (kedaulatan) atau sebaliknya (koloni).
Singkatnya, menegakkan Indonesia Raya adalah mengetahui pembangunan bangsa, untuk membangun negara kebangsaan, untuk menetapkan kedaulatan warga negara yang alatnya cuma dua yaitu: senjata dan uang. Artinya, makin kuat persenjataan sebuah negara, makin kuat kedaulatan, demikian pula sebaliknya. Makin kuat mata uang sebuah negara, makin berdaulat negaranya. Begitu juga sebaliknya.
Dus, mata kuliahnya ada di geopolitik dan geostrategis hubungan internasional dan sejarah perang/damai. Pada kurikulum itu, kita akan paham bahwa uang itu alat tukar, alat investasi, alat dominasi, alat penyetatus, alat perang, dan alat koloni para penjajah ke bangsa terjajah.
Dari situ kita paham bahwa bangsa/suku/ras/kerajaan/negara, selalu membentuk hubungan-hubungan (diplomatik) di antara mereka. Hubungan-hubungan itu posisinya ditentukan oleh dua hal: konkrit dan abstrak. Yang konkrit itu senjata dan uang. Sedang yang abstrak itu kecerdasan dan kejeniusan pemimpinnya.
Dus, makin tinggi kualitas senjata dan uang sebuah negara, makin kuat dan dominan posisinya. Begitu sebaliknya. Makin cerdas dan jenius presiden sebuah negara, makin kuat dan dominan posisinya. Begitu pula sebaliknya. Karenanya, jika kita mau kaya, bermartabat dan eksis di dunia, maka milikilah yang konkret berupa senjata dan uang. Lalu milikilah yang abstrak, berupa kecerdasan dan kejeniusan pemimpin.
Menarik tesis Albert Einstein (1879) buat orang-orang seperti kita yang berjuang menegakkan Indonesia Raya, “Kantong kosong tidak boleh menghambat kemajuan kalian. Yang bisa menghambat kalian hanyalah kepala kosong dan hati kosong.”
Untuk itu, ke depan kita perlu modal, model, modul (3M) agar keterjebakan utang negara tak berulang terus menerus. Ingatlah! Perang manusia yang sesungguhnya adalah melawan ketidaktahuan. Kita menyebutnya dengan perang kecerdasan. Sedangkan pertempuran negara Indonesia yang sesungguhnya adalah melawan pengkhianatan. Kita menyebutnya dengan pertempuran kedaulatan.
Jadi, kini tak ada pilihan kecuali kita harus menang perang dan menang bertempur dengan refinansialisasi bersama agensi super jenius berpancasila. Semoga.(*)
Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
sumber foto: transisi.org