Dunia pada abad ke-13 hingga 15 menyaksikan persaingan sengit tiga “Singa” dari tiga penjuru: Majapahit di selatan, Dinasti Yuan/Ming dari Tiongkok di utara, dan Kesultanan Utsmani dari barat. Ketiganya merupakan kekuatan adidaya yang memainkan peran penting dalam peta geopolitik saat itu.
Majapahit—“Singa Selatan”—berada di titik strategis: jalur perdagangan rempah dunia di Selat Malaka dan Selat Sunda. Kekayaan alam dan letaknya yang vital menjadikannya pusat perhatian dan sasaran dominasi dari kekuatan utara maupun barat.
Sejak didirikan pada 12 November 1293, Majapahit tidak pernah benar-benar lepas dari gejolak. Namun titik balik sejarah muncul ketika Ratu Tribhuwanatunggadewi naik takhta, disusul oleh kehadiran tokoh luar biasa: Mahapatih Gajah Mada.
Pada tahun 1336, dalam prosesi pelantikannya sebagai Patih Amangku Bumi, Gajah Mada mengucapkan Sumpah Amukti Palapa. Konon, bumi bergetar dan langit pun bergemuruh. Sumpah itu bukan sekadar retorika, melainkan janji besar untuk menyatukan Nusantara.
Majapahit pun membangun kekuatan armada niaga dan militer yang solid. Perdagangan antarpulau dan antarbenua berkembang pesat. Majapahit tidak hanya kuat secara ekonomi dan militer, tetapi juga menjelma sebagai pusat peradaban dan kebudayaan Asia Tenggara. Wilayah pengaruhnya membentang dari Jawa hingga Indochina—yang saat itu dijadikan zona penyangga (buffer zone) guna menahan agresi kekuatan utara.

Kapal Jung Majapahit
Namun kejayaan itu tidak abadi. Wafatnya Gajah Mada pada 1364 membuat Majapahit kehilangan taring. Konflik internal kembali memanas, berpuncak pada Perang Paregreg antara dua kubu istana. Perang saudara ini mengguncang sendi-sendi kekuasaan dan melemahkan fondasi kerajaan.
Dalam kekosongan dan keretakan itu, kekuatan asing mulai masuk. “Singa Barat” datang dengan ekspedisi berbalut misi agama dan dagang. Jawa, sebagai pusat gravitasi Nusantara, menjadi target utama. Di saat bersamaan, “Singa Utara” memanfaatkan jalur budaya melalui poros Champa–Palembang–Tuban–Manila. Apa yang tampak sebagai pertukaran budaya ternyata menyimpan misi dominasi.
Akhirnya, pada 1478, Majapahit benar-benar runtuh. “Sirna ilang kertaning bumi.” Tak sekadar sebuah kerajaan yang hilang, tapi juga simbol hilangnya kedaulatan dan kejayaan lokal. Setelahnya, datanglah para tamu tak diundang: Portugis (1511), Spanyol (1521), Inggris (1579), Belanda (1596), hingga Jepang (1942).
Apa yang tersisa dari kejayaan itu hari ini?
Majapahit bukan sekadar sejarah. Ia adalah cermin kejayaan lokal yang terbangun dari keberanian, persatuan, dan visi besar. Namun, ia juga menjadi bayang-bayang pahit: bahwa tanpa persatuan, kekuatan dalam negeri bisa runtuh oleh konflik internal, dan celah itu akan selalu dimanfaatkan oleh kekuatan luar.
Pada usia ke-729 tahun ini, pertanyaannya sederhana namun mendalam: Apakah kita masih mewarisi semangat Majapahit, atau hanya menikmati reruntuhannya sebagai legenda?
Baca juga Agenda terdekat: Sarasehan dan Pentas Seni Kebangkitan Majapahit
Laksda TNI Purnawirawan Untung Suropati
Purnawirawan Pati TNI/ Ketua Dewan Penasihat “Madyantara Ring Majapahit”/Anggota IKAL Strategic Center/Alumnus Sesko TNI 2003/Alumnus US Naval War College 2009/Alumnus GCMC US Eurocom, Germany 2011/Alumnus PPSA XX/2015 Lemhannas RI.
Sumber foto : https://militer.id/kapal-jung-kendaraan-militer-kerajaan-majapahit/