Skip to main content

Pada Sabtu, 3 Mei 2025, Griya Tirtasari di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, menjadi saksi semaraknya Sarasehan dan Pentas Seni bertajuk “Kebangkitan Majapahit. Acara yang berlangsung pukul 13.00–17.00 WIB ini dihadiri oleh 116 peserta dari berbagai kota, baik dari komunitas Pusaka Indonesia maupun masyarakat umum. Acara ini digagas atas kesadaran bahwa bangsa Indonesia merupakan penerus dan pewaris DNA Keagungan Nusantara, salah satunya Kerajaan Majapahit—kerajaan adidaya dengan kekuatan maritim, militer, ekonomi, dan spiritualitas tinggi.

Seni Sebagai Penggugah Jiwa

Usai sesi protokoler pembukaan yang meliputi menyanyikan lagu Indonesia Raya tiga stanza, pemutaran video profil Pusaka Indonesia, hening cipta yang dipandu oleh Setyo Hajar Dewantoro, serta sambutan dari Wasekjen Pusaka Indonesia, Nyoman Suwartha, acara dilanjutkan dengan pentas seni.

Penampilan pertama adalah tembang Macapat tentang Panembahan Senopati yang dibawakan oleh Desi Wulandari. Lantunan ini menggambarkan sosok pemimpin yang setia menempuh laku hening dalam hidupnya.

Selanjutnya, para pelajar dari Sanggar Seni Pusaka Indonesia Wonogiri membawakan Tari Bedhaya Wilwatikta yang penuh makna. Tarian yang dilatih oleh Rika Efian Pratiwi ini menyimbolkan kemakmuran dan kejayaan Kerajaan Majapahit yang agung dan berwibawa.

Narasi Sejarah Majapahit

Tiga narasumber: Setyo Hajar Dewantoro, Laksda TNI Purn. Untung Suropati, dan Eko Nugroho

Eko Nugroho, Wakil Ketua Umum Pusaka Indonesia, memaparkan  fakta-fakta kekuatan Majapahit: dari kemaritiman, jung raksasa berlapis baja, hingga catatan sejarah Tome Pires tentang kekayaan masyarakatnya. Majapahit tak hanya kuat secara militer, namun juga unggul secara budaya, diplomasi, dan ekonomi. 

Dalam pemaparannya, dijelaskan bahwa China memandang Majapahit sebagai kerajaan yang memiliki kekuatan militer, terbukti pernah dicoba ditaklukkan dengan cara mengirimkan pasukan tempur. Sedangkan Majapahit memandang China sebagai negara sumber komoditas, termasuk keramik, sutra, dan barang-barang bagus dan mahal. Tentu, masyarakat di zaman Majapahit menjadi tujuan pedagang China. Kekuatan finansial Majapahit lainnya terlihat dalam catatan Tome Pires (Suma Oriental) yang mencatat bagaimana mereka merias diri dengan mewah dan menghias kuda-kudanya dengan cara serupa. Di lautan, Majapahit memiliki jung, yaitu kapal berukuran sangat besar dengan panjang 76 – 80 meter dan memiliki 4 lapisan yang hanya bisa ditembus meriam pada 2 lapisannya saja. 

Laksda TNI Purn. Untung Suropati kemudian membangkitkan semangat peserta dengan menyampaikan lima warisan agung Majapahit:

  1. “Rumah Besar” bernama Indonesia.
  2. Bendera “Merah-Putih” (Gula-Kelapa).
  3. Sesanti “Bhinneka Tunggal Ika”.
  4. Semangat persatuan “Sumpah Palapa”.
  5. Motto dan simbol yang masih lestari dan banyak digunakan oleh kementerian/lembaga negara, khususnya TNI/ Polri hingga kini.

Dalam suasana yang syahdu, Laksda Untung membacakan Sumpah Palapa yang menggema, menyentuh nurani peserta, dan mengingatkan bahwa perjuangan menyatukan Nusantara belumlah selesai. “Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa. Lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.” Artinya adalah : “Jika telah kalah Nusantara, barulah akan aku bersukacita. Jika Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik telah tunduk, barulah akan aku bersukacita.”

Ia juga mengurai benang merah sejarah dari Cakrawala Mandala Dwipantara (1274), Sumpah Pemuda (1928), Deklarasi Juanda (1957), hingga Poros Maritim Dunia (2014), dan Gerakan Kembali ke Nusantara (2018).

Kunci Kejayaan: Spiritualitas Majapahit

Dalam presentasi pamungkas, Setyo Hajar Dewantoro (SHD) menegaskan bahwa kemajuan Majapahit berakar dari kepemimpinan spiritual yang tercerahkan. Sosok pemimpin sejati kala itu bukan sekadar raja, tapi Satria Pinandhita Sinisihan Wahyu—pemimpin dengan kesadaran tinggi, jiwa murni, dan wawasan universal. Di masa Majapahit, sekat-sekat agama belum membelenggu cara pandang masyarakat. Pemimpinnya adalah spiritualis yang menyatukan, bukan memecah.

Simpulan dari presentasi tersebut adalah Majapahit wajar menjadi imperium besar karena menerapkan prinsip luhur Mitreka Satata, Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangruwa, ditopang dengan kepemimpinan yang hebat dan birokrasi yang mengayomi dan non koruptif. Indonesia Emas hanya bisa terjadi jika muncul pemimpin yang berbeda 180 derajat dari tradisi politik liberal, ditopang REVOLUSI KEBUDAYAAN.

Aksi Nyata: Ekonomi Berdaulat dan Cinta Lingkungan

Di sela coffee break, peserta dapat menikmati kudapan sambil mengunjungi stand Gemah Ripah, yang menyuguhkan produk-produk lokal berkualitas seperti jamu, pangan organik, dan hasil kerajinan. Tim Pilah Sampah Pusaka Indonesia juga menyediakan fasilitas pemilahan sampah untuk mendukung gaya hidup ramah lingkungan.

Sutikno, rekan Laksda Untung, menyampaikan kesan positifnya, “Acara ini harus terus dibudayakan agar semakin banyak orang yang tercerahkan. Syukur-syukur bisa meluas menjadi bagian dari strategi nasional.”

Sementara itu, Probojati, Ketua Wilayah Pusaka Indonesia Wilayah DIY, mengungkapkan harapannya, “Sarasehan ini membuka mata dan hati kami. Kita adalah pewaris bangsa agung. Semoga acara seperti ini terus berlanjut dan menampar kesadaran kita untuk bangkit.”

Sarasehan dan Pentas Seni Kebangkitan Majapahit ini bukan sekadar peringatan sejarah, melainkan pemantik kesadaran kolektif. Saatnya bangsa Indonesia membangkitkan kembali nilai-nilai luhur yang pernah membawa kita ke puncak kejayaan. Mari lanjutkan dengan hening, beraksi, dan mencipta mahakarya—demi Nusantara yang agung.

 

Stella Manoppo
Kader Pusaka Indonesia wilayah DIY