Satu kata yang sangat terngiang dari pembahasan sosok Tan Malaka di kelas Kursus Online Pemikiran Jenius Para Pendiri Bangsa adalah idealisme. Sosok yang antikompromi, bahkan sampai di akhir hayatnya yang menolak kompromi dan berakhir dieksekusi di pinggir Sungai Brantas, Kediri, Jawa Timur. Sosok idealis yang dianggap berbahaya oleh pemerintah saat itu, bahkan saat kematiannya ditakutkan ada gelombang massa yang besar sehingga lokasi jasadnya pun sengaja dikaburkan.
Menurut Prof. Yudhie Haryono, memang pemerintah Orde Baru (Orba) mempunyai cacat bawaan, yaitu ketakutan terhadap ide-ide kritis dan berbeda, sehingga sosok seperti Tan Malaka dianggap berbahaya bagi pemerintah. Orba berpatokan bahwa untuk membangun negara diperlukan stabilitas politik tanpa kritik, sehingga politik dilarang masuk kampus atau pesantren untuk memutus tradisi keilmuan dan politik yang cerdas, seperti yang dimiliki oleh para pendiri bangsa. Karena hal ini pulalah, salah satu budaya intelektualitas khas Minang sengaja dimatikan dengan memindah pusat intelektualitas dari Bukittinggi ke Padang. Budaya khas Minang yang berhasil melahirkan sosok-sosok besar seperti Hatta, Hamka, dan Syahrir yang saat ini hanya menjadi cerita, tanpa bisa diteruskan.
Walaupun menjadi sosok yang dimusuhi pemerintah, perlu diakui bahwa pemikiran dan kiprah Tan Malaka sangat berpengaruh dalam proses berdirinya negara Indonesia. Buku Tan Malaka, baik tentang biografi maupun pemikirannya, ternyata menjadi buku yang paling laris dibandingkan dengan buku mengenai tokoh-tokoh nasional lainnya. Salah satu gagasannya mengenai utang yaitu, “Kalau Anda tidak tahu motif di balik investasi, maka Anda belum merdeka.” Utang adalah hilir dari kolonialisme baru. Bila Tan masih hidup saat ini, maka dia akan jadi pengkritik pertama terhadap utang negara.
Bangsa yang maju membutuhkan kritik, namun kritik yang bukan sekadar asal kritik. Prof. Yudhie Haryono memaparkan, tradisi dialektika dan kritik yang dulu dikembangkan adalah yang berujung konsensus. Kritik yang dilembagakan itulah perwujudan Pancasila, hibridisasi antara petugas dan pengkritik bertemu dan dihasilkan keputusan konsensus. Berbeda dengan kondisi saat ini, di mana ada diskusi tetapi keputusannya tetap sepihak, bukan konsensus.
“Karena kondisi inilah Pusaka Indonesia ingin melanjutkan tradisi keilmuan dengan menziarahi pemikiran jenius para pendiri bangsa, untuk mencetak orang-orang pintar berwawasan luas, patriotik, revolusioner, dan berhati murni,” imbuh Setyo Hajar Dewantoro, Ketua Umum Pusaka Indonesia.
Lanjutnya, “Tiga pilar, yakni spiritualisme, intelektualisme, dan kapitalismelah yang merupakan kunci peradaban-peradaban besar zaman dulu, seperti peradaban Majapahit dan Britania pada masa kepemimpinan King Arthur. Ketiga pilar itulah sebenarnya makna dari nujuman Joyoboyo mengenai Trisula Wedha yang dibawa oleh Satrio Piningit. Bila salah satu pilar hilang maka akan terjadi ketimpangan seperti yang terjadi selepas kepemimpinan King Arthur, di mana pilar spiritualisme mulai memudar dan akhirnya Inggris menjelma menjadi agresor global yang penuh keserakahan.”
Ini menjadi bukti pentingnya ketiga pilar dipenuhi untuk mengembangkan peradaban. Karena itu, Pusaka Indonesia mulai bergerak untuk menguatkan pilar intelektualitas bagi anggota maupun masyarakat umum melalui kelas-kelas pembelajaran yang diadakan, kelas ini salah satunya.
Riza Habibi
Ketua Bidang Riset dan Kajian Pusaka Indonesia