Skip to main content

Jika penjajah Portugis, Spanyol, VOC, Belanda, dan Jepang mendorong kita menjadi “bangsa gunung” maka pemimpin kini mendorong kita menjadi “bangsa selokan.” Pada bangsa gunung, budaya yang berkembang adalah mistisisme dan feodalisme. Pada bangsa selokan, budaya yang berkembang adalah korupsi, utang, dan merasa paling benar.

Tentu saja kedua model bangsa itu menyalahi takdir kita sebagai bangsa samudra dan negara maritim yang berbudaya bahari. Apa itu bangsa samudra dan negara maritim? Adalah bangsa yang terbentuk karena nilai-nilai ideal yang dijunjung bersama dan menyadari bahwa samudra itu ruang hidup dan ruang juang. Apa itu budaya bahari? Adalah seluruh aktivitas kebudayaan yang demokratis, keahlian, dan rasional.

Singkatnya, dalam arsitektur modern maritime state civic nationalism, posisi maritim dapat disebut sebagai hard power, sedangkan bahari soft power. Dan, jika keduanya digabungkan, lahirlah smart power. Dengan logika ini mestinya di darat kita berdaulat, di laut kita berjaya, dan di udara kita berwibawa untuk memanusiakan sesama manusia.

Tentu saja konsep budaya bahari akan mencakup sistem nilai dan kepercayaan, pengetahuan dan aktivitas atau tindakan serta segala sarana pendukung bagi masyarakat yang mendiami wilayah samudra, laut, pesisir, dan kepulauan. Sebab, di laut ada kodrat, takdir, masa depan, sejarah, dan kekayaan.

Oleh karena itu, untuk memahami keberadaan budaya bahari, kita boleh memanfaatkan konsep tiga wujud kebudayaan (sistem gagasan, sistem sosial, budaya material). Ketiganya nanti akan melahirkan wawasan bahari, mental bahari, senjata bahari, iptek bahari, dan tradisi-tradisi bahari.

Budaya dan tradisi bahari pada akhirnya mengandung unsur-unsur seperti pengetahuan, kepercayaan, nilai, norma, aturan, simbol komunikatif, kelembagaan, teknologi, pariwisata, agama, mental, dan seni.

Dengan hipotesis tersebut, jika Indonesia ingin menjadi negara maritim yang kuat, besar, dan berwibawa, maka kita harus membangkitkan budaya bahari masa lalu dan membangunnya menjadi budaya bahari masa kini atau budaya modern yang sarat dengan teknologi. Baik itu teknologi mekanik, teknologi hidrolik, dan teknologi digital (perbintangan, perkapalan, pelabuhan, perikanan, mineral, dan pengobatan).

Agar berkembang dengan baik dan menjadi alat untuk realisasi cita-cita republik, budaya bahari harus dikembangkan dengan metode kontekstualisasi, pengayaan, integrasi, dan hibridisasi. Kontekstualisasi artinya menyejarah, membangun mentalitas, dan peradaban unggul. Pengayaan artinya terbuka dan menambah pada hal-hal baik. Integrasi artinya selalu bersama budaya lain bersenyawa membuat Indonesia jaya dan raya di arena global. Hibridisasi artinya bersekutu membuat hal baru demi transformasi dan realisasi kesentosaan.

Kita tahu, sebelum kehadiran para penjajah, Nusantara merupakan bangsa yang berjaya akan budaya baharinya. Lahirlah pusat-pusat industri perkapalan, pengobatan, industri rempah dan jalur herbal serta peradaban rempah. Itu juga terlihat dari kerajaan-kerajaan bahari yang pernah berdiri dan membawa Nusantara ke masa kejayaan dan terkenal di penjuru dunia, seperti Sriwijaya, Singasari, Majapahit, Samudra Pasai, Riau Lingga, Demak, Gowa-Tallo, kerajaan Ternate dan Tidore, serta kesultanan Bacan.

Dari kerajaan-kerajaan itu, kita mewarisi sistem pengetahuan berupa biota laut bernilai ekonomi, pengetahuan tentang tempat penangkapan dan posisi rumah ikan, pengetahuan tentang musim (pola musim dan waktu-waktu munculnya ikan), pengetahuan tanda-tanda di laut dan di angkasa, pengetahuan tentang lingkungan sosial budaya, sistem keyakinan dan kepercayaan (upacara/ritual dan pantangan-pantangannya).

Ini adalah kekayaan warisan yang harus terus dikembangkan dengan teknologi mutakhir agar tumbuh juga budaya bahari baru.

Pada budaya bahari purba pastilah terdapat tradisi religiositas berupa kepercayaan pada adikodrati (Tuhan) yang dapat kita lihat di berbagai macam bentuknya: kitab sucinya, tempat ibadahnya, dan ritual sembahannya.

Dalam budaya bahari juga terdapat tradisi gotong royong yang dapat kita lihat pada berbagai macam bentuk kegiatan seperti kegiatan kebudayaan. Juga terdapat tradisi musyawarah mufakat yang merupakan cara pengambilan keputusan konsensual non kontraktual.

Terdapat juga tradisi keadilan yang dikerjakan demi keselamatan bersama dan kesentosaan semua. Inilah pekerjaan rumah kita dalam mengarusutamakan budaya bahari sebagai budaya kita.

 

Yudhie Haryono, CEO Nusantara Centre

sumber foto: kulonprogokab.go.id