Skip to main content

Bagi saya, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX adalah sosok yang asing. Saya hanya menemukan namanya saja dalam buku-buku sejarah sewaktu sekolah. Siapa beliau, bagaimana sepak terjangnya, tidak pernah saya tahu. Bahkan, nama beliau terlupakan dalam benak saya, kalah dengan sosok Sukarno, Hatta, ataupun Tan Malaka.

Lewat Kursus Pemikiran Jenius Para Pendiri Bangsa sesi 30 November 2023 lalu yang membahas Sultan HB IX, sebuah fakta terungkap. Ketua Umum Pusaka Indonesia Setyo Hajar Dewantoro (SHD) membuka diskusi dengan mendeskripsikan HB IX sebagai sosok yang enigmatis, penuh teka-teki layaknya Sukarno. Deskripsi Guru SHD itu memantik rasa ingin tahu lebih jauh tentang sosok HB IX ini. Narasumber Prof. Yudhie Haryono kemudian menyambut Guru SHD dengan mulai memaparkan siapa itu HB IX. “Raja bermentalitas spiritual,” begitulah Prof. Yudhie menggambarkan HB IX dalam sebuah kalimat singkat. 

Bagi Prof. Yudhie, mentalitas spiritual HB IX terlihat dari ketidakmelekatan beliau terhadap apapun, terutama materi. HB IX tidak ragu-ragu menyerahkan harta dan takhtanya untuk Indonesia. Saat itu, HB IX tercatat sebagai orang terkaya ketiga di dunia dan beliau menyumbangkan 6000 gulden untuk Indonesia. Jadi, bisa dibayangkan betapa besarnya kontribusi HB IX. Menanggapi hal tersebut, Guru SHD mengatakan bahwa selain menjadi founding father, HB IX juga menjadi funding father bagi Indonesia. Apa yang dilakukan HB IX itu  adalah sesuatu yang mustahil bagi mereka yang memiliki kemelekatan terhadap materi, apalagi di zaman sekarang, mentalitas kapital sudah menghabisi mentalitas moral intelektual dan spiritual. 

Lebih lanjut Prof. Yudhie kemudian mengungkapkan, bahwa peran HB IX yang sangat besar ini tidak banyak terungkap dikarenakan ada dua pandangan utama dalam kesejarahan, yang meminimalisasi pencatatan kontribusi kerajaan dalam kemerdekaan Indonesia. Pertama, pandangan yang memandang tidak wajib menuliskan peran kerajaan pra kemerdekaan karena khawatir nanti akan menenggelamkan sosok Sukarno. Kedua, pandangan yang memandang bahwa saat itu memang  tidak ada pilihan lain bagi kerajaan-kerajaan, sehingga mau tidak mau mereka harus bergabung dengan Indonesia. Guru SHD menanggapi bahwa pencatatan sejarah seperti itu tidaklah fair. Seharusnya, siapa saja yang berkontribusi, bahkan sekecil apa pun kontribusinya, harus tetap tercatat dalam sejarah.

Ciri kedua mentalitas spiritual HB IX adalah  weruh sak durung winarah, tahu sebelum terjadi. Prof. Yudhie menceritakan bahwa HB IX adalah salah seorang yang meyakini bahwa Indonesia akan merdeka tanpa banyak terjadi pertumpahan darah. Padahal jika melihat kondisi saat itu, kemerdekaan tampaknya hal yang mustahil karena Indonesia berhadapan dengan Belanda dan Jepang yang memiliki militer dengan persenjataan lengkap. Selain itu, daya weruh HB IX terlihat ketika beliau menerima begitu saja aturan Belanda terkait kerajaan dimana Belanda memberlakukan aturan bahwa setiap raja yang naik takhta harus sepengetahuan dan atas persetujuan Belanda. Ketika ditanya kenapa menerima aturan seperti itu, HB IX menjawab bahwa beliau tahu Belanda akan segera pergi, jadi apa pun yang Belanda atur akan beliau terima saja. Semua keyakinan beliau kemudian terbukti benar dan saat ditanya apa dasar keyakinan beliau, HB IX mengatakan bahwa semua itu disingkapkan Gusti kepadanya. 

Guru SHD kemudian menegaskan bahwa siapa pun yang tertuntun oleh Gusti, maka kenyataan yang akan terjadi pasti disingkapkan baginya dan keajaiban pasti terjadi dalam hidupnya. Oleh karena itu, orang yang tertuntun Gusti pasti menghadapi hidup tanpa rasa takut dan penuh optimisme.

Raja yang Tidak Feodal

Melengkapi gambaran sosok HB IX, Guru SHD mengungkapkan bahwa beliau adalah sosok raja yang tidak feodal. Status sebagai seorang raja tidak menghalangi beliau untuk duduk dan bercengkrama dengan rakyat. Tanpa canggung, beliau bisa duduk bercanda bersama seorang ibu di pasar. Sikap yang jauh dari feodal seperti itu yang akhirnya membuat beliau dicintai oleh rakyat Yogyakarta.

Satu lagi karakter beliau yang menonjol adalah identitas keindonesiaan beliau yang kuat. HB IX pernah mengenyam pendidikan di Belanda. Namun, mengenyam pendidikan dan hidup di dunia barat tidak melunturkan identitas beliau sebagai seorang bangsa Indonesia. Beliau tetap teguh memegang jati dirinya dan bangga berbudaya Indonesia.

Dari sosok HB IX, saya belajar setidaknya ada 3 kualitas seorang pemimpin yang bermentalitas spiritual, yaitu ketidakmelekatan, visi yang jelas, dan sikap yang anti feodalisme. Ketiga kualitas tersebut adalah buah dari keterhubungan dengan Gusti dan kesetiaan terhadap titahNya. 

Ketidakmelekatan membuat seorang pemimpin, sebagaimana yang ditulis Prof. Yudhie dalam artikelnya, dapat berkomunikasi dengan siapa pun dengan tulus, cinta, dan welas asih. Selain itu, ketidakmelekatan membuat seorang pemimpin siap berkorban apa pun yang dibutuhkan untuk mencapai sebuah tujuan yang luhur. 

Pemimpin yang bermentalitas spiritual juga memiliki kejelasan visi. Dia bisa melihat visi terkait masa depan dan tujuannya dengan jelas sehingga menimbulkan optimisme. Kemudian, pemimpin bermentalitas spiritual juga memiliki sikap anti feodalisme. Hal itu karena mental spiritualitas menumbuhkan ketulusan, cinta, dan welas asih yang menjadikan diri seorang pemimpin memandang dan memperlakukan orang lain dengan cara pandang egaliter dan sikap manusiawi. Memandang orang lain secara egaliter berarti memandang manusia setara, sedangkan bersikap manusiawi berarti memperlakukan manusia sebagai manusia. Egaliter dan manusiawi, keduanya merupakan antitesa dari feodalisme.

 

Firman Sabar

Peserta Kursus Online Pemikiran Jenius Para Pendiri Bangsa #2