Skip to main content

Kursus Pemikiran Jenius Pendiri Bangsa kali ini mengajak para peserta untuk mengenali Ki Hajar Dewantara (KHD), tokoh pendidikan dan Menteri Pendidikan Republik Indonesia yang pertama. Kursus ini diampu oleh Guru Setyo Hajar Dewantoro (Guru SHD) selaku Ketua Umum Pusaka Indonesia dan Profesor Yudhie Haryono selaku Direktur Nusantara Centre. 

KHD mendirikan Sekolah Taman Siswa pada 1922. Profesor Yudhie menjelaskan bahwa Taman Siswa pada dasarnya adalah sebuah antitesa dari Stovia, sekolah yang dibuka oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 1902. Meski Stovia didirikan untuk pribumi, pada kenyataannya, sekolah ini bertujuan untuk melanggengkan kolonialisme, mencetak amtenar-amtenar sebagai pendukung kolonial. KHD sendiri pernah bersekolah di Stovia, namun akhirnya berubah haluan ketika menyadari bahwa pendidikan dapat dijadikan alat untuk melawan penjajahan. 

Perlawanan dengan senjata sudah dilakukan oleh para raja Nusantara—mulai dari Perang Padri, Perang Diponegoro, hingga perang yang melibatkan suku dan ras—namun gagal. Perang Jawa pernah menghabiskan dua pertiga kekayaan VOC. Lalu Perang Sumatra menghabiskan sepertiganya. Meski sudah nyaris bangkrut, VOC melakukan sejumlah kelicikan untuk menang. 

Kurang lebih seratus tahun kemudian baru terpikirkan bahwa metode perlawanan harus berubah. Lalu terbentuklah organisasi Boedi Oetomo pada 1908 sebagai state of mind. Boedi Oetomo didirikan oleh beberapa alumni Stovia. Profesor Yudhie memaparkan, KHD adalah orang pertama yang menguatkan perkumpulan Boedi Oetomo bahwa cara menundukkan kolonialisme adalah tidak dengan senjata. KHD mencetuskan ide bahwa harus ada pergeseran metode perlawanan dari perlawanan senjata menjadi perlawanan pemikiran.

Arah Pendidikan yang Menjauh dari Cita-cita KHD

Sebenarnya, ada sebuah ironi yang nyaris tidak kita sadari. Guru SHD memaparkan, zaman sekarang, penjajahan seperti tidak ada, tapi dampaknya bisa dirasakan. Itulah penjajahan gaya baru bernama neokolonialisme dan neoimperialisme yang mengaduk-aduk sistem pendidikan dan kebudayaan kita. “Makanya menjadi penting bagaimana kita mengetahui kembali tokoh-tokoh masa lalu yang memperjuangkan kemerdekaan,” papar SHD. 

Namun makin ke sini, arah pendidikan makin melenceng jauh. Jika dulu para pahlawan kemerdekaan menjadikan pendidikan sebagai alat untuk melawan kolonialisme, pada zaman ini pendidikan kita mensubordinasikan kepentingan kapitalistik. “Pendidikan menjadi mesin untuk mencetak pegawai. Dan, ini kemudian menjadi mekanisme pendidikan baru,” ungkap Guru SHD. 

Tidak banyak yang menyadari bahwa ekosistem pendidikan kita telah diambil alih oleh neokolonialisme. Hal ini  dapat kita amati dari dua sisi. Pertama, tentang munculnya undang-undang yang tidak mengarusutamakan Pancasila. Lalu pada posisi-posisi strategis, ditempatkan orang-orang yang tidak sesuai. Tentu kita masih ingat bagaimana kekecewaan sejumlah orang ketika pada 2019 Jokowi memilih Nadiem Makarim, seorang pengusaha sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Lalu yang kedua, tentang bagaimana kampus-kampus negeri diswastanisasi. Kampus yang dulunya milik negara, sekarang diotonomikan menjadi badan hukum sehingga biaya pendidikan menjadi semakin tidak terjangkau.

Di Balik Prestisiusnya Beasiswa Luar Negeri

Ini pula yang menjadi ungkapan lucu bagi Profesor Yudhie. Kesempatan bersekolah di luar negeri sudah diberikan sejak zaman Orde Baru. Tapi, nyatanya Indonesia masih begini-begini saja. Kalau tidak ada kemajuan, berarti ada yang salah. “Kalau Indonesia bisa maju minimal selevel Singapura, berarti ada dampak yang baik. Kenyataannya, malah terjadi depresiasi.” Profesor Yudhie juga memaparkan bahwasanya beasiswa global adalah sebuah cara untuk memanipulasi. Sebab dengan cara itu negara-negara donor bisa memperoleh data dan informasi dengan lebih murah. Guru SHD pun mengungkapkan hal serupa dari kacamata spiritualisme. Bahwasanya bangsa ini masih punya pekerjaan rumah yang panjang untuk mencerdaskan bangsa, agar masyarakat bisa tahu motif-motif charity

Saya sendiri adalah bagian dari generasi itu. Selama bertahun-tahun saya menghabiskan waktu untuk mengejar ambisi beasiswa sekolah ke luar negeri. Saya pernah hidup dalam ilusi tentang betapa kerennya bisa mencicipi pendidikan di luar negeri. Semacam pengakuan bahwa mereka yang berhasil memperoleh beasiswa adalah orang-orang yang cerdas. Betapa tidak, proses seleksi yang harus dilewati berlapis-lapis dengan pendaftar yang tentunya cukup banyak. Lembaga-lembaga konsultan pendidikan pun menjamur menyediakan berbagai layanan sertifikasi bahasa asing. Saya punya list panjang daftar program beasiswa dari sejumlah negara. Saya rutin mengecek rangking kampus luar negeri dan saya hafal nama-nama kampus terbaik. Nyatanya saya tidak pernah mendapatkan beasiswa itu, dan pada akhirnya saya bersyukur tidak menjadi bagian dari penerima beasiswa itu.

Selama ini saya tidak menaruh perhatian lebih terhadap dunia pendidikan. Akan tetapi, seperti yang disampaikan Guru SHD dan Professor Yudhie, sudah saatnya kita mereorientasi dan merebut kembali spirit pendidikan ala Ki Hajar Dewantara. Salah satunya dengan berhenti berilusi tentang betapa kerennya bisa bersekolah di luar negeri lalu menjadi budak-budak korporasi. Mulai mengembangkan kultur-kultur pendidikan kerakyatan seperti halnya semangat Ki Hajar Dewantara ketika mendirikan Taman Siswa. Tentunya kultur pendidikan yang mencerdaskan bangsa, bukan yang menciptakan budak korporasi.

Aniswati Syahrir

Peserta kelas Pemikiran Jenius Pendiri Bangsa