Mencari Model Ekonomi Berbasis Pancasila
Bisakah kita mengatakan Indonesia sudah sejahtera? Kita buka saja, dari sisi indikator kesejahteraan ekonomi, menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Indonesia, per Maret 2023, adalah 9,36 persen atau 25,9 juta orang. Lho, kok sedikit? Tunggu dulu, angka ini diambil menggunakan standar pengeluaran dalam sebulan ada di bawah standar garis kemiskinan, yaitu Rp. 550.458 per kapita per bulan. Rasanya angka segitu tidak masuk akal di zaman serba mahal seperti sekarang. Sementara, warga yang konsumsinya di atas garis tersebut tidak dianggap miskin meski kenyataannya hidup sangat rentan. Angkanya? Kita lihat saja fakta yang terjadi di masyarakat.
Membicarakan ekonomi di Indonesia, tidak terlepas dari sistem ekonomi yang dianut. Sayangnya, selama ini, negeri ini tidak memiliki apa yang disebut “Ekonomi Indonesia”. Inilah yang melatari dirumuskannya Naskah Akademik RUU Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial oleh Nusantara Center, yang dimotori oleh Prof. Yudhie Haryono.
Bicara tentang kesejahteraan erat kaitannya dengan kemerdekaan. Mengutip tulisan dalam Naskah Akademik, yang mengutip gagasan Bung Karno, merdeka tidak cukup hanya terbebas dari belenggu politik, tapi juga dari belenggu ekonomi. Sebab, soal penjajahan adalah soal mencari rejeki, soal yang berdasar ekonomi, soal mencari kehidupan. Ini menjadi bahan perenungan bahwa selama ini bangsa kita belum merdeka.
Kita punya ideologi Pancasila, tapi tentang bagaimana penjabaran sistem perekonomian yang berbasis Pancasila, tidak pernah menjadi arus utama yang dipelajari, apalagi diterapkan dalam hidup bernegara. “Di kampus-kampus Ekonomi, kita tidak menemukan mata kuliah ekonomi Indonesia. Hal ini membuat sarjana Ekonomi tidak memikirkan Ekonomi Indonesia. Kita tidak punya bayangan bagaimana melawan inflasi, deflasi, melawan utang, memperkuat kurs, dan sebagainya,” ujar Prof. Yudhie, dalam diskusi terbatas bersama beberapa kader dan pengurus Pusaka Indonesia, 2 April 2024, di Jagakarsa, Jakarta Selatan, membahas Naskah Akademik.
Kita punya konstitusi, tentang sistem perekonomian nasional, diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pasal ini berisikan landasan perekonomian serta pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia.
Berikut bunyi Pasal 33 UUD 1945:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Di atas kertas, poin-poin dari pasal tersebut cukup ideal, mencita-citakan negeri yang masyarakatnya sejahtera (welfare society). Namun dalam praktiknya, kita malah mengadopsi konsep yang sangat jauh dari cita-cita konstitusi, karakter, dan ideologi bangsa.
Salah satu bahasan yang mengemuka dalam diskusi hari itu, yakni tentang koperasi, sebagaimana yang pernah digagas oleh Bung Hatta, sebagai salah satu bentuk ekonomi kerakyatan. Akan tetapi, kita tidak pernah punya rujukan tentang bagaimana bentuk dan aplikasi koperasi yang berhasil. “Dari sisi sejarah, koperasi digambarkan buruk. Koperasi dianggap sebagai kompetitor dari kapitalisme sehingga dicitrakan buruk. Kita tidak pernah serius mempelajari atau melakukan riset tentang koperasi. “Tidak ada mata kuliah koperasi. Tidak ada doktor koperasi, mazhab koperasi. Komunitas epistemik koperasi relatif gagal mensukseskan narasi di masa lalu. Hingga saat ini, kita tidak tahu bagaimana koperasi bisa jadi avantgarde perekonomian,” ujar Prof. Yudhie. Makanya, tidak heran, koperasi bagi sebagian masyarakat, identik dengan urusan simpan pinjam. Ada pula kisah-kisah traumatis tentang korupsi dalam koperasi, koperasi sebagai kepanjangan tangan agen kapitalis, dan sebagainya, menambah deretan citra buruk koperasi.
Bagaimana penerapan dari asas kekeluargaan dalam sistem perekonomian nasional, tidak pernah ada dalam bayangan kita. “Dalam pemikiran individualisme kapitalisme yang membayangkan kekayaan itu milik seseorang, tidak pernah berpikir konsep negara, kekayaan milik bersama.” Prof. Yudhie menambahkan, negara Skandinavia seperti Denmark dan Norway sebetulnya menerapkan sistem koperasi sehingga mereka menjadi negara sejahtera. Itulah kenapa, indeks gini rasio di sana bisa mencapai 0,01, yang artinya hampir tidak ada orang miskin.
Bahasan lain menyinggung tentang pajak. Saat semakin banyak warga yang pendapatannya meningkat, maka jumlah pembayar pajak juga akan meningkat. Hal ini akan berdampak pada bertambahnya APBN. Hari ini, pemilik NPWP di Indonesia baru sekitar 21% (tahun 2023). Itupun tidak semua membayar dan melaporkan pajak.
Dalam Naskah Akademik, Undang-Undang yang diusulkan akan mengatur hal-hal sebagai berikut:
1) Kebijakan sistem perekonomian nasional,
2) Kebijakan pelaku perekonomian nasional,
3) Kebijakan pasar,
4) Kebijakan moneter dan sistem kurs (nilai tukar),
5) Kebijakan devisa,
6) Kebijakan pengelolaan utang negara,
7) Kebijakan fiskal dan APBN,
8) Kebijakan investasi,
9) Kebijakan dunia usaha,
10) Kebijakan pengentasan kemiskinan,
11) Kebijakan persaingan sehat,
12)Kebijakan sektor riil,
13) Kebijakan reformasi agraria,
14) Kebijakan swasembada pangan,
15) Kebijakan perdagangan dalam negeri,
16) Kebijakan perdagangan luar negeri (ekspor),
17) Kebijakan industri menengah dan strategis,
18) Kebijakan perdagangan jasa dan distribusi,
19) Kebijakan industri maju,
20) Kebijakan SDM dan kependudukan,
21) Kebijakan otonomi daerah dan reformasi peranan pemerintah,
22) Kebijakan pemerataan pembangunan dan SDA,
23) Kebijakan stabilisasi harga kebutuhan pokok,
24) Kebijakan pemerintah bersih dan bertanggungjawab,
25) Kebijakan penanaman modal asing,
26) Kebijakan jaminan sosial,
27) Kebijakan ekonomi ramah lingkungan (ecogreen and sustainable environment),
28) Kebijakan ekonomi berbasiskan HAM,
29) Kebijakan penegakkan hukum. Sebuah ikhtiar yang patut diapresiasi.
Mari belajar kritis dan peduli, pada isu yang menyangkut kehidupan kita dan kepentingan orang banyak. Demi Indonesia Raya yang Jaya.
Ficky Yusrini
Kader Pusaka Indonesia Jawa Barat