Skip to main content

Khalil Gibran pernah menulis, “Betapa kasihan bangsa yang mengenakan pakaian tetapi tidak ditenunnya sendiri, memakan roti dari gandum yang tidak ia panen sendiri, dan meminum susu yang ia tidak memerasnya sendiri.” Kutipan dari karya “The Prophet” ini mewakili keprihatinan yang digambarkan Prof Yudhie Haryono, dalam bukunya, “Nusantara Studies”, yang ia tulis di tahun 2018. Tidak hanya keprihatinan, tapi juga kegemasan level maksimal, atas banyaknya masalah yang dihadapi bangsa kita. 

Coba buka berita dari media massa hari  ini, berapa persentase kabar positif, prestasi bangsa yang dibanggakan, setiap harinya? Coba tengok ke sekeliling kita, berapa banyak hal menyebalkan yang bisa kita temukan? Coba lihat perilaku para pejabat kita, representasi dari pemerintah yang mengayomi kita, adakah yang betul-betul menjalankan amanat sesuai perannya? Amanat konstitusi? Negara salah urus? 

Namun demikian, prihatin itu tidak sekadar diungkapkan dalam bentuk gerutuan berlarat-larat atau kritik pedas asal kecap tanpa solusi. Buku ini memberi pemahaman yang utuh, dari mana sebetulnya akar kegagalan yang kita alami dalam segala bidang ini, baik dari ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, dalam bahasa intelektual yang komprehensif. 

Secara awam, orang sering menyebut, kegagalan suatu bangsa disebabkan oleh SDM rendah, dan untuk itu, solusinya ada di pendidikan. Tapi, melihat kualitas pendidikan kita juga sama mirisnya. Dunia pendidikan juga sama amburadulnya dengan sektor-sektor lain, semakin menambah keruwetan hidup berbangsa. Dan, jawabannya bisa ditemukan di buku ini. 

Membaca Nusantara Studies ini kita diajak melihat akar masalah yang dihadapi bangsa dari perspektif yang lebih luas, lebih utuh. Bukan satu dua dekade saja kejatuhan peradaban ini terjadi, tapi ditarik mundur ke ratusan tahun lalu. Ada kekuatan besar bernama kolonialisme yang mencengkeram bangsa kita yang hendak terus menerus dikekalkan lewat berbagai kukunya sampai dengan saat ini. 

Salah satu yang disebut dalam buku ini, yang bisa kita lihat menggejala dalam masyarakat kita, dari akar rumput sampai singgasana pejabat publik adalah mental kolonial, yakni pikiran, ucapan, dan tindakan yang mereplika kolonialisme di Indonesia. Prof Yudhie menyebut, ada 5 besar mental kolonial, yakni mental inlander, mental instan, mental mendendam, mental melupa, dan mental myopic atau rabun, ketidakmampuan melihat sejarah masa lalu dan strategi masa depan. 

Prof Yudhie menawarkan sebuah proposal, cara untuk merdeka dari mental kolonial ini, adalah dengan bertumpu pada pikiran, perasaan, percakapan, tulisan dan tindakan ber-Indonesia. Untuk itu, kita tidak bisa berharap pada demokrasi liberal, arabisme, dan neoliberalisme. Kita punya metode bernusantara. Panduannya adalah dengan ber-Pancasila dan strategi ‘perang’nya adalah dengan studi nusantara (Nusantara Studies).

Berpancasila, kata Prof. Yudhie, dilakukan dengan rekonstitusi. Kesadaran Semesta untuk menuliskan ulang keseluruhan perundangan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara berpemerintahan agar diselenggarakan dalam negara merdeka, mandiri, modern, dan martabatif. Seluruh perundangan yang melawan Pancasila dan konstitusi dianggap batal demi hukum.

Di bab awal, Prof Yudhie mengingatkan akan warisan kejayaan masa lalu Nusantara yang perlu dibangkitkan, yang sejarahnya tak dikisahkan. Peradaban Nusantara kuno yang pernah jaya, jauh sebelum Sriwijaya dan Majapahit. Tak lain, peradaban Atlantis, yang nilai-nilainya  bisa diambil untuk memulai masa depan.  

Secara sistematis, Nusantara Studies mencakup: diskursus Atlantik, diskursus Nusantara, diskursus Indonesia, diskursus Pancasila, diskursus konstitusi, diskursus mental, diskursus genealogi pendiri Republik, diskursus rempah, herbal, emas dan nuklir, diskursus kolonialisme dan neoliberalisme, diskursus orientalisme dan oksidentalisme, diskursus arsitektur Indonesia modern, diskursus sastra dan revolusi, diskursus bahasa perlawanan, ekopol mutakhir, diskursus pendidikan berkeadilan, diskursus bangsa bahari negara maritim, diskursus strategi dan taktik meneguhkan Indonesia Raya, diskursus Indeks Kemakmuran.  

Ditopang juga dengan program riset untuk 10 tema besar, yaitu: rekayasa pangan organik, rekayasa genetika, rekayasa atom dan nuklir, rekayasa herbal dan rempah, rekayasa stem cell, rekayasa energi terbarukan, rekayasa komputer kuantum, rekayasa koloni planet dan tata surya, rekayasa singularitas dan keabadian, rekayasa teknologi laut dan udara.

Buku ini memang masih berupa konsep, proposal, gagasan, untuk mewujudkan kemakmuran, tetapi ada semangat dan optimisme yang diusung. 

Diadakannya kelas Nusantara Studies, kerjasama Pusaka Indonesia dengan Nusantara Centre, proposal ini menjadi menarik karena dipelajari, dibicarakan, didiskusikan, dan dengan demikian mampu memantik percikan kesadaran untuk mematerialisasi gagasan. Nusantara Studies yang akan hadir mulai tanggal 18 Januari – 17 Februari 2024, akan membicarakan tentang lima tema: Jalur Rempah Nusantara, Jalur Herbal Nusantara, Jalur Maritim Nusantara, Jalur Mineral Nusantara, dan Jalur Pendidikan Nusantara. Lima potensi kekayaan Nusantara yang bisa membawa pada kemakmuran, kemerdekaan, dan kebahagiaan warganya. 

Jangan lewatkan! Segera hubungi Admin Pusaka Indonesia untuk pendaftaran +62 878-8740-9090

Ficky Yusrini

Kader Pusaka Indonesia Jawa Barat