Skip to main content

Kamis malam, 23 November 2023, saya kembali bertemu secara virtual dengan dua orang yang menarik: Prof. Yudhie Haryono, CEO Nusantara Centre, dan Setyo Hajar Dewantoro (SHD), Guru Besar Persaudaraan Matahari dan Ketua Umum Pusaka Indonesia, dalam Kursus Online: Pemikiran Jenius Para Pendiri Bangsa. Untuk mengikuti kursus online ini, para pembaca dapat mendaftar melalui link ini. Kali ini, mereka membicarakan pemikiran salah seorang founding father Indonesia: Mohammad Natsir.

Selama ini, kebanyakan orang mengidentikkan Natsir dengan Islamisme, yang menempatkan pemikiran beliau dengan cara yang bineris terkait nasionalisme dan Pancasila. Namun, Prof. Yudhie mengungkapkan sudut pandang yang lebih holistik tentang tokoh ini.

Menurut Prof. Yudhie, ada tiga hipotesa yang dapat diambil dari Natsir:

  1. Menjadi Islam tidak harus menjadi Arab.
  2. Untuk menjadi pintar tidak harus mewah.
  3. Untuk menjadi terkenal tidak harus menjadi pejabat.

Hipotesa pertama sangat bertolak belakang dengan citra umum Natsir terkait Islamisme dan Arabisme. Meski dicitrakan sebagai representasi islamisme, bahkan arabisme oleh berbagai pihak, tetapi sesungguhnya Natsir jauh dari hal itu. Bagi Natsir, menjadi Islam tidak harus menjadi Arab. Pemikirannya ini tercermin dari penampilan Natsir yang tidak pernah berpakaian ala Arab, serta sikapnya yang tidak menggunakan istilah “ana wa antum” meski fasih berbahasa Arab. Natsir, yang pernah menduduki jabatan strategis sebagai Ketua Liga Muslim Dunia, tetap mempertahankan identitas keindonesiaannya. Sesungguhnya Natsir menyempal dari cara keberislaman kekinian yang mengidentikkan Islam sebagai Arab.

Hipotesa kedua menunjukkan pemikiran Natsir yang menyempal dari arus utama hari ini. Bagi Natsir, menjadi pintar tidak harus mewah. Beliau, meski menjabat sebagai menteri dan bahkan perdana menteri, tetapi memilih hidup sederhana. Saking sederhananya, saat beliau wafat hanya meninggalkan beberapa helai baju. Beliau anti korupsi dan tidak diperbudak oleh uang, ada atau tidak ada uang, beliau akan tetap berjuang. Sangat bertolak belakang dengan kondisi saat ini, di mana menjadi pintar identik dengan kemewahan.

Hipotesa yang ketiga menguak fakta bahwa Natsir tidak menggunakan kedudukan dan jabatannya untuk mencari popularitas. Natsir meyakini bahwa untuk menjadi populer tidak perlu menjadi pejabat. Kepopuleran Natsir disebabkan karena sepak terjang, karya dan perjuangannya bagi bangsa, bukan semata dari posisi jabatannya. Sebab dengan karya dan perjuangan lah beliau diamanahi sebagai pejabat negara. Prinsip beliau adalah berkarya, populer, baru menjabat. Bukan sebaliknya: menjabat, populer, syukur-syukur berkarya.

Natsir sebagai seorang muslim, memiliki komitmen yang kuat terhadap kebangsaan. Beliau sangat tidak setuju dengan konsep negara teokrasi atau kekhalifahan versi Islam, serta menolak konsep negara sekuler. Baginya, Indonesia memiliki bentuk negara yang khas yang ia sebut dengan istilah Teistik Demokrasi: negara demokrasi yang berketuhanan. Menurutnya, bangsa ini terikat dengan Tuhan, tetapi tidak terikat dengan agama tertentu.

Natsir mengimani Tuhan sebagai entitas yang tak terpisah dari makhluk-Nya. Bukan Tuhan yang “duduk di Arasy sana” sedangkan kita di sini, tetapi Tuhan yang meliputi seluruh ciptaanNya, tak terpisahkan (omnipresent). Iman seperti inilah yang membuat Natsir tidak terjebak dalam sekat-sekat identitas. Baginya, apa pun identitasnya, ada Tuhan di sana. 

Kesadaran seperti itu pula yang melandasi cara pandang Natsir terhadap bangsa Indonesia. Baginya, perbedaan yang ada sesungguhnya adalah satu kesatuan, yang kemudian tertuang dalam Mosi Integral Natsir: Indonesia adalah plural yang menjadi satu. Sebab itulah Natsir menolak bentuk negara federasi, yang dianggap menyimpan semangat menonjolkan perbedaan yang dirancang kolonial. Cara pandangnya ini tidak disukai oleh kolonial yang berusaha memecah dengan menonjolkan sisi plural bangsa Indonesia. 

Pada diskusi kali ini, Prof. Yudhie mengungkapkan problematika bangsa ini. Bangsa yang dahulu dibangun dalam suasana kebatinan, seperti yang tergambar dalam diri Natsir, kini hilang, tergantikan oleh suasana kebatilan. Prof. Yudhie, mengutip George McTurnan Kahin, Guru Besar Universitas Cornell, mengatakan bahwa kegagalan bangsa ini adalah karena gagal mentransmisi pemikiran Natsir, jika saja bangsa ini berhasil mentransmisi pemikiran Natsir, bangsa ini akan tumbuh sepuluh kali lipat dari saat ini. Oleh karena itu, Prof. Yudhie menyatakan dengan tegas bahwa solusi bagi bangsa ini adalah menghidupkan kembali keyakinan Natsir yang menyempal.

Berbicara tentang transmisi pemikiran Natsir, berarti berbicara tentang perjuangan yang dilandasi suasana kebatinan. Maka dalam kesempatan itu pula Prof. Yudhie mengapresiasi pergerakan yang dilakukan oleh Guru SHD dalam memimpin Persaudaraan Matahari dan Pusaka Indonesia. Menurutnya, pergerakan Guru SHD selaras dengan pergerakan Natsir dan para pendiri bangsa lainnya, yaitu pergerakan yang bersuasana kebatinan dengan spiritualitas sebagai dasarnya. Terkait hal itu, Guru SHD pun menegaskan bahwa problematika bangsa ini dapat terselesaikan dengan menghidupkan kembali kesadaran akan ketuhanan. Kesadaran akan ketuhanan itu sejatinya tersimpan dalam Pancasila dan UUD 1945 yang asli. Oleh karena itu, Guru SHD berulang kali menyatakan tentang keharusan bangsa ini agar kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 yang asli.

Berdasarkan diskusi Prof. Yudhie dan Guru SHD, dapat disimpulkan bahwa sudah saatnya bangsa ini mentransmisi pemikiran Natsir, yang berarti pula menghidupkan kembali kesadaran ketuhanan, serta keharusan untuk kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 yang asli.

 

Firman Sabar

Peserta Kursus Online Pikiran Jenius Pendiri Bangsa #2

Kader Pusaka Indonesia.

 

sumber foto: Republika