Skip to main content

Sampah rumah tangga merupakan salah satu masalah lingkungan yang semakin mendesak untuk diatasi. Mulai dari sisa makanan, plastik, kertas, hingga bahan-bahan yang sulit terurai, semuanya menumpuk dan dapat mencemari tanah, air, dan udara, terutama jika dibakar. Salah satu solusi ramah lingkungan untuk mengatasi sampah adalah dengan mengolah sampah organik menjadi kompos.

Sampah organik, seperti sisa makanan dan dedaunan, dapat diolah kembali menjadi pupuk alami untuk tanaman. Proses ini tidak hanya membantu mengurangi jumlah sampah di tempat pembuangan akhir (TPA), tetapi juga memperbaiki kualitas tanah.

Dalam siaran Green Radio di RRI Pro 1 Jakarta pada 23 Maret 2025 lalu, Wakil Koordinator Bidang Eco Enzyme dan Titik Titip Sampah (TTS) Akademi Bumi Lestari, Pusaka Indonesia, Marie Yosse Widi Hapsari atau akrab disapa Sari, berbagi pengalamannya tentang bagaimana ia belajar membuat kompos dari sampah rumah tangga.

Baca juga: Pola Hidup Ramah Lingkungan, Langkah Awal untuk Memulihkan Bumi

Awalnya, Sari tidak tertarik mengompos karena tinggal di lingkungan padat penduduk tanpa lahan terbuka. Ia hanya rutin memilah plastik dan botol. Namun, ia menyadari bahwa tempat sampahnya tetap penuh. Setelah diperiksa, ternyata sebagian besar isinya adalah limbah organik seperti sayur, buah, dan sisa-sisa makanan. “Kenyataan yang terjadi di lapangan, 60-70% sampah yang dihasilkan masyarakat itu berupa sampah organik,” ujar Sari.

Sari mulai belajar mengompos karena menyadari bahwa sampah organik yang dicampur dengan anorganik akan menimbulkan bau. Namun, bila dipisah dan diolah, sampah tersebut dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat. “Dengan alasan itu saya mulai belajar bagaimana cara mengompos,” jelasnya.

Cara Mengompos di Rumah

Bagi yang tinggal di kota dan tidak memiliki lahan, pengomposan dapat dilakukan menggunakan ember bekas cat kapasitas 20 liter atau sejenisnya. Bagian dasar ember diberi saringan, bisa dari baskom berlubang, untuk menampung air lindi (cairan dari proses penguraian). Di bawah saringan bisa ditambahkan pipa kecil agar cairan turun ke dasar ember. Selain ember, wadah pengomposan juga bisa berupa karung beras plastik atau pot bekas dengan lubang di bagian bawahnya.

Langkah pertama adalah memasukkan starter berupa kompos yang sudah jadi. Starter ini bisa dibeli di toko pertanian atau tanaman. Setelah itu, masukkan sampah rumah tangga seperti sisa kulit buah, makanan, sayuran dari sisa masakan, cangkang telur yang dihancurkan, atau sisa bubuk kopi/teh yang sudah diseduh. Perciki dengan air cucian beras, lalu tutup dengan daun kering, serbuk gergaji, atau bahan-bahan lain yang sudah berwarna cokelat dan kering.

“Setelah satu minggu, cairannya bisa kita ambil. Cairannya akan menjadi pupuk organik cair. Setiap seminggu sekali, kita bisa mendapatkan sekitar 600 ml hingga 1 liter. Sangat hemat membuat pupuk dari sampah rumah tangga. Untuk kompos padatnya, hingga menjadi tanah, perlu waktu kurang lebih 1-3 bulan, tergantung bahan-bahan yang dimasukkan. Lain halnya jika kita memasukkan tulang ayam atau duri ikan, akan memerlukan waktu lebih lama,” terang Sari.

Kompos dari limbah rumah tangga

Mengatasi  Bau dan Belatung

Saat membuat kompos, bau bisa muncul jika keseimbangan antara bahan karbon (cokelat) dan nitrogen (hijau) tidak tepat, atau karena kelembapan dan sirkulasi udara yang tidak terjaga. Solusinya adalah dengan menambahkan bahan berwarna cokelat seperti kompos siap pakai, serbuk gergaji, tanah, atau daun-daun kering. Jika bahan-bahan tersebut belum tersedia, sobekan karton bekas berwarna cokelat bisa digunakan sebagai alternatif.

Belatung sering muncul dalam proses pengomposan. “Sebenarnya keberadaan belatung itu patut kita syukuri karena tanpa mereka bahan organik ini tidak akan terurai. Mereka adalah teman kita dalam proses penguraian. Bukan sesuatu yang harus dihindari. Justru merekalah yang menguraikan. Ciptaan Tuhan yang bermanfaat,” ungkap Sari.

Kunci Keberhasilan: Kesabaran, Konsistensi, dan Teknik Composting

Sari menuturkan bahwa kunci utama dalam pembuatan kompos yang sukses adalah kesabaran. Proses ini memakan waktu cukup lama untuk terurai dan menjadi bahan organik yang subur. Ia juga menambahkan bahwa pemilahan, pencacahan, dan pengadukan kompos memerlukan perhatian dan ketelatenan agar hasilnya optimal. Terkadang, perubahan suhu yang tidak stabil atau bau yang muncul bisa membuat frustasi, tetapi dengan kesabaran, konsistensi, dan teknik composting yang tepat, hasil akhirnya akan berupa kompos yang berkualitas tinggi yang dapat memperbaiki struktur tanah dan mendukung pertumbuhan tanaman secara alami untuk keberlanjutan lingkungan.

Yuk, Mulai Mengompos!

Di akhir siaran Green Radio, Sari mengajak masyarakat untuk memulai aksi pengomposan dari rumah dan kemudian menyebarkannya ke lingkungan sekitar. Komunitas Pusaka Indonesia aktif menyebarkan informasi ini lewat berbagai platform digital.

“Pengomposan itu menyenangkan karena kita sedang menyaksikan keajaiban alam. Dedaunan yang berwarna hijau, oranye, dan kuning berubah menjadi tanah yang berwarna hitam. Bau tanah yang menyegarkan. Kita juga belajar bahwa kita bisa berbuat sesuatu yang berguna, menjadi berdaya, dan memberikan kontribusi untuk lingkungan serta negara ini,” ujar Sari.

Baca juga: Edukasi Pilah Sampah Lewat Program TTS 

 

Leo Kusuma
Kader Pusaka Indonesia Wilayah Sumatera-Batam