Hari ini (24 Juli 2024), untuk pertama kalinya saya panen tembakau yang dikembangkan dengan metode Sigma Farming. Setelah mencoba melinting menjadi cerutu dan mengetes rasanya, saya merasakan perbedaan yang mencolok jika dibandingkan dengan tembakau yang menggunakan pupuk kimia. Tembakau yang dikembangkan dengan metode Sigma Farming rasanya cenderung lebih halus ketika diisap. Sementara tembakau dengan pupuk kimia rasanya lebih berat. Di samping itu, tembakau ala Sigma Farming aromanya lebih wangi.
Saya mengenal metode pertanian ini pertama kali melalui Pusaka Indonesia. Pada bulan Januari 2024, saya mengikuti pelatihan Sigma Farming di Tasikmalaya, yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusaka Indonesia Wilayah Jawa Barat. Lalu pada bulan Maret, Pusaka Indonesia kembali mengadakan pelatihan di Lombok, NTB. Setelah mengikuti pelatihan, saya lalu tergerak mengujicobakan metodenya ke setiap jenis tanaman yang saya budidayakan
Tiga bulan lalu saya menyewa sebidang tanah untuk bertanam tembakau. Lalu saya juga tergerak untuk mengujicobakan metode Sigma Farming ini. Saya ingin mengembangkan tembakau organik, yang tidak memiliki kandungan bahan kimia sama sekali. Pada saat mulai mengolah lahan sewaan ini, tentunya ada tantangan. Pemilik lahan belum mengenal sistem pertanian organik, sehingga lahan ini memang sebelumnya lebih banyak menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Karena itu, lahan ini sama sekali tidak mengandung kompos.
Sebelum mulai menanam, langkah awal yang saya lakukan untuk memulihkan tanahnya adalah menyemprotkan Eco Enzyme ke permukaan tanah. Dua hari setelah penyemprotan Eco Enzyme, barulah saya mulai menanam tembakaunya. Ketika usia tanaman sudah menginjak 21 hari, saya mengaplikasikan Liquid Manure (LM) sebanyak 2 kali seminggu. Liquid Manure adalah salah satu amunisi Sigma Farming yang terbuat dari fermentasi kotoran rumen sapi dan cairan vortex Bakteri Pemulih Tanah (BPT) Sigma 1 dan 2.
Untuk memberikan nutrisi tambahan pada tanaman, setiap 2 minggu sekali saya menyemprotkan plantonic rumput laut. Sementara untuk pestisida sendiri, saya hanya menggunakan jika ada hama ulat atau belalang yang menghinggapi tanaman. Dalam metode Sigma Farming, kita menggunakan pestisida nabati. Untuk tanaman tembakau ini saya menggunakan pestisida nabati dari cemara udang dan lateng. Lebih dari itu, untuk memastikan kelembaban tanahnya, lahan saya siram setiap seminggu sekali sampai usia 70 hari. Setelah itu, kita tinggal menunggu masa panen pada usia 95 hari.
Membudidayakan tembakau tidak terlalu sulit. Kita hanya perlu menjaga kelembaban tanahnya, memastikan tanah tidak terlalu kering yang bisa membuat tanaman jadi layu. Tembakau yang saya tanam adalah jenis eskot atau tembakau kuning. Tembakau jenis ini bisa langsung diolah menjadi cerutu dan dilinting menjadi rokok, tidak perlu dijual ke pabrik untuk diolah. Dengan demikian, kelak hasil panennya bisa langsung dijual.

Pengeringan tembakau
Sebagai penikmat cerutu, saya berharap tembakau organik ala Sigma Farming ini bisa jadi pilihan bagi masyarakat umum, sebagai cerutu yang dihasilkan dari tanaman tembakau yang sehat karena tidak ada paparan bahan kimia. Dan sebagai petani, pastinya saya memilih sistem pertanian organik karena biayanya jauh lebih hemat. Saya tidak perlu membeli pupuk kimia yang harganya cukup mahal. Di sisi lain, metode ini juga sekaligus merupakan upaya memulihkan tanah yang sudah terlanjur rusak karena pupuk dan pestisida kimia.
Mohammad Sahlan
Kader Pusaka Indonesia Wilayah Lombok-NTB