Skip to main content

Dalam tulisan pertama dari Seri Pemberdayaan Masyarakat kali ini editor pussaka.com mewawancarai Pietra Widiadi, pendiri Dial Foundation yang juga mengembangkan Pendopo Kembangkopi di Desa Sumbersuko Malang. Pietra bukan hanya menguasai teori akademik sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi, tapi juga memiliki segudang pengalaman praktis yang diimplementasikannya dalam kapasitas sebagai pekerja LSM  (Lembaga Swadaya Masyarakat) maupun aktivis pemberdayaan masyarakat.

Kali ini kita akan menggali lebih banyak mengenai seluk beluk pemberdayaan masyarakat, tantangan dan solusinya, yang bertumpu pada peran seorang fasilitator yang bekerja langsung di lapangan.

Berkaca dari apa yang sudah dikembangkan di Pendopo Kembangkopi, tantangan terbesar dalam pemberdayaan masyarakat menurut Pietra adalah kemampuan seorang fasilitator untuk menjadi rendah hati dan tidak menggurui. “Banyak tantangan, namun yang utama adalah harus mampu menundukkan diri sendiri supaya tidak menjadi dominan, tidak menggurui dan mampu menjadi pendengar sekaligus mampu memberikan alternatif solusi yang inovatif pada masyarakat yang didampingi,”ujar Pietra yang juga Ketua Bidang Pengorganisasian dan Pemberdayaan Masyarakat Perkumpulan Pusaka Indonesia Gemahripah (PIG) ini.

Dalam dunia LSM, atau juga bisa disebut dengan VO atau Voluntary Organization pendekatan ke masyarakat bukan semata-mata ide atau karya dari penggerak, pendamping atau fasilitator masyarakat itu, tetapi adalah upaya menempatkan warga masyarakat yang didampingi sebagai aktor utama. Di sini yang dimaksud dengan aktor utama adalah masyarakat sebagai penentu arah pembangunan bagi masyarakat itu sendiri.

Tentu dalam upaya ini, pendamping atau fasilitator harus mampu menahan diri, bersabar dengan memberikan tawaran bagi warga masyarakat untuk bisa bergerak secara mandiri. Dalam pendekatan ini, terdapat prinsip bahwa setiap langkah dalam mencapaian tindakan, harus mampu melakukan refleksi diri, baik secara personal maupun dalam lembaga. Hal tersebut dimulai dengan pertanyaan untuk mengingatkan diri bahwa apakah yang dilakukan sudah merupakan bagian dari “Semesta” atau arahan dari yang Agung. Refleksi itu semacam laku hening untuk mendapatkan tuntunan Roh Kudus, dan bukan merupakan kehendak sendiri.

Menurut Pietra, hal itu sama dengan yang harus dilakukan untuk menjadi pendamping atau sosok yang memberikan inspirasi kepada masyarakat. “Saya memiliki kerangka dalam melakukan kerja-kerja penguatan itu, dengan melakukan profiling kepada masyarakat Desa Sumbersuko. Itu adalah alat, atau metode yang dipakai untuk nantinya menjadi dasar penguatan. Lebih dari itu, sikap menempatkan diri sebagai yang bisa ditiru, secara laku dan secara prinsip, sehingga bisa memberi warna tanpa menggurui adalah ujian yang sangat berat,” jelas Pietra.

Mengalah, atau menempatkan diri menjadi seseorang yang tidak menonjol sehingga warga bisa meniru laku dan prinsip itu secara konkrit, bukan dengan ucapan saja tetapi juga dengan tindakan. Lebih dari itu, bahkan apa yang disampaikan bisa saja diambil orang lain, lalu dipaparkan sebagai ide mereka, tanpa merasa itu dicuri, karena pada dasarnya apa yang disampaikan bukan yang perlu dimiliki, sehingga tidak ada rasa kehilangan. Jadi ini bukan kalah, tapi mengalahkan, namun yang dikalahkan merasa dimenangkan.

Fasilitator bukan Superman

Satu lagi yang harus ditanamkan dalam mindset seorang fasilitator, bahwa jangan berusaha menjadi “Superman” , sehingga seolah-olah dia bisa menyelesaikan semua hal dalam kebutuhan masyarakat dan memberikan janji keberhasilan.

Dalam pendampingan, menfasilitasi keberhasilan bukan mutlak milik pendamping. Ini harus bisa dipahami karena tanpa masyarakat, pendamping tidak ada apa-apanya, pendamping menjadi tidak berguna. Untuk itu menilik pada paparan tentang mengalahkan diri sendiri, yang patut dipahami adalah secara terus-menerus menanyakan diri sendiri, apakah yang dilakukan adalah sebuah hal yang memberikan makna pada semata-mata karya Agung.

Cara ini, secara metodologis bisa menggunakan lingkaran pastoral atau disebut dalam lingkaran refleksi, yaitu:

Refleksi dalam Teori Pastoral

Kendala pemberdayaan menjadi tidak tercapai apabila ada dominasi, atau ada tekanan yang kuat dan tidak memberi kesempatan masyarakat yang didampingin untuk mengerti. Maka proses pemahaman ini, dilakukan dengan cara sedikit demi sedikit dan harus terjadi secara terus menerus dan mendorong masyarakat untuk mengerti. Pada tahapan ini, prinsip terus-menerus mempertanyakan diri, terus-menerus mempertanyakan proses dan hasil harus dijalankan, dan ini disebut dengan dialektika. Dengan harapan terus semakin tumbuh dan bertumbuh. Satu hal yang perlu diperhatikan juga bagi pendamping, yakni harus mampu berkomunikasi secara santai, informal dan humoris.

Hal Tabu bagi Seorang Fasilitator

Dalam pemberdayaan itu tidak ada sekat, tidak ada pengkotakan jadi melintasi segala jenis simbol kehidupan manusia sebagai mahluk sosial. Kendala terbesar adalah ketika ketidakberdayaan menghinggapi fasilitator.

Rasa bosan, rasa capek, cepat menyerah dan berperilaku seenaknya, mendorong dalam melakukan pendampingan pada tahap kegagalan. Dari sini sepertinya fasilitator adalah manusia super yang nyaris dilarang kalah dan dilarang salah. Padahal kenyataannya fasilitator adalah manusia biasa yang serba salah dan serba kalah. Untuk itu maka penyataan maaf dan perilaku yang mengubah diri menjadi lebih baik adalah jalan yang patut dilewati. Menjadi manusia biasa yang bisa menerima maaf, memberi maaf dan menyampaikan maaf dalam perbuatan, bukan hanya dalam perkataan.

Kalau kemudian fasilitator menghadapi situasi seperti itu maka kembali pada prinsip lingkaran refleksi tadi, atau dalam pengertian lain yang disebut Hening, akan menjadi jalan keluar yang tepat. Atau bisa menarik diri, seperti saat seseorang mengambil cuti sehingga memberikan kesempatan untuk memeriksa diri. Atau tiba-tiba ada ketertarikan diri pada seseorang atau dekat terlalu personal dengan kepentingan pribadi adalah tabu yang berikutnya yang harus disadari dan tidak boleh ada. Kalau itu terjadi sebaiknya, si pendamping segera pindah dari lokasi di mana dia melakukan pendampingan, atau tetap tinggal dan menanggalkan posisi fasilitator tersebut.

Dari sini, seperti yang dipaparkan di atas, bahwa seseorang tidaklah bisa serba kebal dan serba bisa mengatasi. Sebagai manusia biasa, fasilitator tidak serta merta harus bisa segalanya, tapi bahwa fasilitator harus terus-menerus memperkaya diri untuk lebih paham, lebih banyak informasi dan lebih banyak jaringan adalah hal yang harus dilakukan

Mengatasi Tantangan Lapangan

 Masih mengacu pada Teori Pastoral yang reflektif, yaitu seseorang yang menjadi fasilitator harus mampu mawas diri secara terus, menerus dalam setiap tindakan dan bahkan hal yang baru saja diucapkan dan itu ternyata salah. Kalau terjadi kesalahan maka dirinya harus dan wajib “meminta maaf” dan mengubah perilaku yang salah tersebut tidak hanya dengan ucapan.

Semua itu sebenarnya adalah “Hening” yang merupakan salah satu cara yang tepat untuk melakukan itu, Meditasi Suwung itu adalah wadah yang pas untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Dengan Hening kita mencoba menangkap kekuatan semesta dari yang Agung, menerima apa yang diberikan dan menempatkan diri sebagai seseorang yang kekurangan sekaligus kelebihan, sehingga dalam posisi selaras dengan semesta,

Menjaga Keberlanjutan

Bila perubahan yang diharapkan sudah terjadi dan masyarakat sudah berdaya, apakah yang harus dilakukan untuk menjamin keberlanjutan kondisi tersebut? Sebenarnya ini sebuah “art  atau seni” di mana fasilitator atau pendamping sudah paham bahwa tiba waktunya untuk meninggalkan dampingannya tatkala dampingan sudah memiliki tanda-tanda mandiri.

Salah satu tanda kemandirian adalah adanya “konflik” dalam kelompok dan kalau ada kompetisi yang sehat, maka keberlanjutan akan terjadi. Hal penting yang harus diingat adalah dalam pendampingan yang diutamakan adalah lahirnya aktor-aktor yang mampu memimpin dengan bijak dan memiliki akuntabilitas yang tepat di masyarakatnya.

Dari cerita ini, Pietra menggambarkan bahwa apa yang dikerjakan oleh fasilitator itu biasa-biasa saja, yang penting adalah sabar, berproses selaras dengan Semesta, meski dengan mengembangkan perencanaan-perencanaan yang matang untuk menguji kemampuan dari yang didampingi.

Biasanya usia pendampingan itu tidak panjang karena banyak faktor, biasanya adalah sumber dana yang terbatas. Tetapi kalau memiliki orang-orang yang setia dan bersedia menetap lalu menjadi aktor, maka itu adalah salah satu dari bentuk keberlanjutan.