Skip to main content

Dilatari rasa haus akan kepiawaian menulis dan antusiasme para peserta Kursus Menulis Jurnalisme Pusaka yang tergabung dalam Whatsapp Group, Ficky Yusrini yang mengampu kelas merespons dengan menggelar pemungutan suara (bukan pilpres, lho!), berupa pilihan: ingin belajar menulis apa? Pilihan yang ditawarkan di antaranya:  

  1. Fiksi atau cerpen
  2. Cerita ratapan (curhat)
  3. Artikel web 
  4. Opini atau esai ringan
  5. Puisi
  6. Status media sosial

Dari hasil survei tersebut, nomor 1, 3, dan 4 banyak dipilih. Terbanyak adalah nomor 4, yakni menulis esai ringan. Survei itu direalisasikan dengan diadakannya kelas zoom pada hari Sabtu, 10 Februari 2024, pukul 10.00 – 12.00 WIB, yang dipandu oleh host Nenden Fathiastuti dan Ficky sebagai pewawancara.

Sesi kelas hari itu menghadirkan pembicara tamu dari Boyolali, Setyaningsih, yang berprofesi sebagai seorang esais atau penulis esai profesional. Setyaningsih adalah penekun literasi, yang menyukai dunia tulis-menulis. Ia juga aktif meresensi buku anak, di antaranya yang sudah dibukukan berjudul Kitab Cerita: Esai-esai Anak dan Pustaka (2019). Rajin menulis sejak tahun 2012 membuat keahliannya terasah, bacaannya luas, terungkap saat menyampaikan materi tentang esai.       

Menurut Setyaningsih, esai menjelaskan suatu hal, peristiwa, atau fenomena dari sudut pandang penulis. Esai yang sukses adalah yang berhasil mengajak pembacanya ikut merenungkan/memikirkan gagasan yang ditulis oleh penulisnya. Pada dasarnya esai tidak terikat banyak aturan, bahkan penggunaan data ilmiah. Apabila terlalu banyak, dan disertai latar belakang, pendahuluan, itu bukan esai, namun makalah atau skripsi. Walaupun memang, jika esai tersebut ingin ditayangkan di media, penulis harus menyesuaikan gaya bahasa atau cara penyampaian seperti gaya media tersebut, yang tentunya berbeda-beda. Untuk itulah Setyaningsih menyarankan langkah pertama adalah menulis dulu apa yang ingin ditulis, setelah esai jadi dan terlihat karakter penyampaiannya barulah penulis memutuskan sebaiknya esai tersebut dikirim ke media yang mana.

“Tulisan esai tetap ditulis dengan ejaan baku, namun tidak kaku,” demikian Setyaningsih menjawab salah satu pertanyaan peserta apakah boleh menulis tanpa aturan EYD. Setyaningsih juga meruntuhkan imaji bahwa esai itu membuat kening berkerut. Menulis esai itu ringan, bahkan ada penulis esai yang tulisannya ngalor-ngidul. Lebih bagus lagi jika bisa menulis dengan jenaka, humor, atau gaya bercanda. Setyaningsih mencontohkan beberapa tulisan jenaka di media tertentu, meskipun pesan yang disampaikannya serius. 

 Pertanyaan sekaligus pernyataan dari YP. Kris, peserta kursus yang lain, mengatakan bahwa esai yang selama ini dipahami adalah menulis jawaban soal berupa uraian yang dialami selama bersekolah. Yang mana, esai di kertas ujian merupakan hasil hafalan. Ini bertolak belakang dengan esai yang sedang diajarkan, yakni kebebasan berpendapat. 

Ada pun pertanyaan lain dari Diana Wowiling, bagaimana bisa menulis esai jika tidak mengalami pengalaman otentik. Misalnya, dalam hal seni budaya. Setyaningsih menjelaskan bahwa kita bisa saja kilas balik ke masa kecil, mengingat kembali apa yang dulu pernah dilihat atau pernah ada. 

Hal lain yang dibahas adalah sumber menulis esai. Meskipun memiliki pengalaman otentik untuk ditulis, namun seringkali seseorang kehabisan ide, menganggap hal yang dilakukan sudah biasa dan tidak menarik. Setyaningsih justru meyakinkan peserta bahwa apa yang dianggap biasa bagi seseorang, justru bagi para pembaca lain sebenarnya menarik. Beliau memberi tip dengan mencari refleksi di balik kegiatan yang sudah biasa dilakukan atau bisa juga memberi penekanan kepada objek lain di dalam rutinitas tersebut. Contoh saat ingin menulis kegiatan berkebun, bisa menceritakan tentang serangga-serangga yang ditemui. 

Demikian ilmu berharga yang sudah diberikan kepada peserta Kelas Menulis Jurnalisme Pusaka, yang sudah belajar sejak November 2023. Materi yang disampaikan melalui perbincangan hangat, dan penjelasan yang mudah dipahami tentu menjadi bekal untuk menulis lebih baik lagi dan semangat baru.

 

Stella Manoppo

Peserta Kelas Jurnalisme Pusaka Indonesia

sumber foto: Tempo Institute