Refleksi Webinar Rumus Keselamatan dan Kebahagiaan, 28 Maret 2025
Awal saya bergabung dengan Pusaka Indonesia adalah karena mengikuti aktivitas istri yang lebih dulu bergabung. Ini cukup berbeda dengan pengalaman saya saat bergabung dengan Persaudaraan Matahari, di mana saya yang masuk dulu baru istri mengikuti. Di awal bergabung, saya masih merasa seperti berada di “dua dunia” karena posisi saya yang sebelumnya aktif sebagai seorang aktivis organisasi dalam sebuah institusi religi. Saya bergabung dengan Pusaka Indonesia dengan niat untuk “lari” dari keruwetan orang-orang di organisasi sebelumnya. Ada nuansa berbeda saat pertama kali bergabung karena anggota Pusaka Indonesia terdiri dari teman-teman yang juga bagian dari Persaudaraan Matahari, yang saya kira akan menciptakan kolaborasi yang lebih harmonis, menyenangkan, dan penuh suka cita.
Namun, seiring berjalannya waktu, termasuk saat saya kemudian menjadi Ketua Wilayah Pusaka DIY, saya mulai menyadari bahwa potensi konflik, drama, dan perilaku berbasis Sisi Gelap (Sigel) tetap ada. Di awal, saya merasa skeptis yang sama seperti saat saya berada di organisasi sebelumnya. Rasa malas berusaha dan menghadapi tantangan yang hampir sama muncul, dan itu tidak sesuai dengan harapan saya.
Baca juga: Menjemput Keajaiban Untuk Indonesia
Beruntungnya, di sini saya dididik dan mulai mengerti bahwa segala konflik dalam organisasi harus diselesaikan dengan cara dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu—menerima diri, meningkatkan pemakluman, dan berusaha untuk menciptakan kolaborasi yang lebih baik. Hal ini tentu tidak mudah untuk dilakukan, namun saya merasa beruntung karena selalu mendapatkan bimbingan yang ketat dan konsisten dari Mas Guru Setyo Hajar Dewantoro dan Mbak Ay Pieta (meskipun mungkin mereka bolak-balik harus mengganti cambuk karena kerasnya kengeyelan saya).
Rumus keselamatan yang pada awalnya saya artikan sebagai “rumus mencari selamat” kini mulai berkurang. Saya mulai memahami pentingnya mengupayakan keselamatan bersama, yang dalam webinar semalam disebut dengan istilah memperbaiki karma kolektif. Proses ini dimulai dengan memperbaiki diri sendiri dan berkarya untuk Bumi, sesama, dan negeri ini melalui Pusaka Indonesia.
Baca juga: Jangan Pernah Berhenti Mencintai Indonesia
Saya sadar kreativitas saya masih terbatas, saya sadar bahwa “tabir sisi gelap” saya masih tebal, saya sadar bahwa saya juga memiliki kebutuhan keluarga yang harus diperjuangkan, saya sadar bahwa saya tidak pintar menari, tidak pintar apa pun, bahkan kalau harus nyangkul 2 meter pun harus ambil napas. Saya sadar bahwa waktu selalu terasa tidak cukup untuk semuanya. Namun, saat ini saya hanya bermodal satu hal: mau. Mau bergerak, mau mencoba keluar dari zona nyaman, mau berjuang bukan hanya untuk diri sendiri, mau bergerak dengan kesadaran (meskipun masih jatuh bangun dan terjatuh), mencoba menyumbangkan apa yang saya bisa tanpa pencitraan. Saat saya jatuh, kesadaran itu segera saya sadari dan saya bangun lagi. Saya selalu merefleksi diri, jika saat beraktivitas saya merasa kebahagiaan turun, itu berarti ketulusan saya sedang mengalami degradasi, dan itu saatnya untuk kembali memperbaiki diri.
Tentu saja, saya tidak bisa menjalankan ini sendiri. Saya membutuhkan potensi dari teman-teman semua. Mari kita tumbuh bersama. Kembali renungkan intensi kita bergabung dengan Pusaka Indonesia. Apakah kita hanya hadir karena pakewuh (khawatir dianggap tidak ikut) ataukah kita benar-benar ingin berjuang bersama?
Yuk, sharing, dong…!
Baca juga: Berjuang Tanpa Uang dan Kekuasaan, Refleksi Ngaji Pancasila Kedua di Yogyakarta
Suprobo Djati
Ketua Wilayah Pusaka Indonesia DIY