KBRN, Jakarta: Pusaka Indonesia menggelar Talk Show, Menyingkap Pesona Wastra Indonesia, dengan tema “Batik dan Alur Kehidupan”, di Auditorium RRI Jakarta, Jakarta Pusat, Sabtu (27/7/2014). Menghadirkan dua nara sumber Pakar Wastra Indonesia, Sri Sintasari Iskandar (Neneng), dan Benny Gratha, Talk Show Seri Keempat ini membedah makna filososi Batik dalam setiap upacara Jawa.
Sekretaris Jenderal Pusaka Indonesia, Nyoman Suwartha menyampaikan bahwa kegiatan ini salah satu kegiatan Pusaka Indonesia dibawah Bidang Seni Budaya. Tujuannya untuk melestarikan Batik sebagai salah satu Wastra yang sangat terkenal, agung, dan luhur dibalik filosofinya.
“Nanti filosofi Batik akan di jelaskan oleh bu Neneng dan pak Benny selaku Pakar dan juga Kurator Batik.” ucap Nyoman dalam sambutannya.
Nyoman menjelaskan, Pusaka Indonesia tidak hanya menyelenggarakan talk show, tapi juga sudah membuka workshop membatik di daerah-daerah. Diakuinya membatik cukup susah, tapi tidak ada salahnya dimulai demi kelestarian Batik
“Demikian juga di Jogja dan Jawa Tengah kami juga akan menjalin kolaborasi membangun workshop membatik. Jadi kita ingin bergerek mulai dari lingkungan kita, apa yang kita bisa lakukan sekaligus menjalin jejaring dengan penikmat, praktisi membatik dengan jangkauan yang lebih luas,” katanya.
Neneng menjelaskan filosofi corak Batik dari Jogja dan Solo dalam alur kehidupan orang Jawa. Batik sudah menjadi komponen utama dalam tatanan kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa.
Dalam alur hidup orang Jawa sejak dahulu, mulai dari seorang ibu mengandung sampai meninggal dunia biasanya memakai Batik. Untuk itu dalam alur hidup itu pun biasanya setiap kegiatan itu dilakukan upacara-upacara.
“Dimana upacara-upacara tersebut masih dilakukan oleh beberapa orang yang masih menghidupi adat tradisi Jawa.” kata Neneng.
Neneng memulai dari wastra yang digunakan dalam upacara Mitoni/Tingkeban. Dalam teradisi Jawa, Mitoni adalah upacara yang biasa dilakukan ketika seorang perempuan hamil anak pertama berusia tujuh bulan.
“Nah biasanya, diadakan acara-acara yang memakai beberapa kain yang ada filosofinya. Pada upacara Mitoni, biasanya memakai kain yang ada corak sido luhur, sido mungti, sido asih, sido wirasat, dan sido teruntung. Sido wirasat itu artinya harapan yang baik,” ujar Neneng.
“Kalau di Solo, upacara usia kehamilah ketujuh bulan itu biasanya memakai kain tumbar pecah dari tenun (bukan batik). Artinya diharapkan bayi ini lahir membawa keharuman bagi keluarga yang baru,” ucapnya.
Neneng juga menjelaskan filosofi kain yang digunakan pada upacara Kopohan, Gendongan, Terapan, dan Pernikahan. Masing-masing upacara menggunaka motif kain yang berbeda-beda corak dan maknanya.
Talk Show “Batik & Alur Kehidupan” berlangsung interaktif. Salah satu peserta menanyakan kepada Neneng apakah Kain Teruntung cocok untuk bapak/ibu dalam upacara pernikahan.
“Boleh bu, jadi Kain Teruntung itu yang membuat pertama kali adalah permaisuri Pakubuwono ke-III pada tahun 1748-1788. Pada saat itu hubungan antara Raja dengan Permaisuri Gusti Raden Ayu Kencono renggang”.
“Permaisuri pulang ke rumah orang tuanya, pada waktu dirumah orang tuanya dia merasa sedih. Nah pada saat dia keluar rumah, dia melihat keatas, melihat bintang nah dia membuat Batik motif Bintang, makanya motif Teruntung ini Bintang.”
“Setelah jadi ternyata Sang Raja berkunjung ke tempat ibu mertua dan melihat Batik corak Bintang buatan Sang Ratu bagus sekali jadi rasanya iba dan timbul rasa cinta lagi. Sehingga kanjeng ratu diboyong lagi ke keraton lagi,” ujar Ketua Himpunan Wastaprema 2023-2027 itu.