Setyo Hajar Dewantoro
Guru Spiritualis di Persaudaraan Matahari
Saat saya berbincang dengan beberapa orang yang beragam latar pendidikan dan profesinya, ada persepsi yang sama sama: spiritualitas dan politik itu bertemu saat politisi meminta dukungan pada “guru spiritual” yang ternyata adalah “dukun politik.”
Sungguh tak gampang untuk mengerti, justru yang model begini adalah sebentuk kejahatan spiritual plus kemunafikan politik. Mengapa jahat? Karena menyalahgunakan kekuatan supranatural untuk kepentingan egoistik yang tak selaras dengan hukum kosmik tentang kebenaran sejati. Mengapa munafik, karena politisi yang saat kampanye bicara tentang Pancasila dan Ketuhanan Yang Maha Esa malah mempertuhankan egonya dan menistakan kemanusiaan dengan bersandar pada kuasa kegelapan.
Sesungguhnya, spiritualitas itu adalah tentang kebenaran sejati, tentang esensi dari seluruh tradisi yang menuntun manusia menemukan kebahagiaan dan keselamatan sejati. Mereka yang sungguh-sungguh menekuni spiritualitas adalah mereka yang tekun hening, sungguh-sungguh meluruhkan ego dan menyirnakan sisi gelap pada dirinya. Sementara esensi politik adalah menciptakan policy/kebijakan yang merepresentasikan kebenaran sejati dan memuliakan manusia.
Titik temu yang sesungguhnya dari spiritualitas dan politik adalah ketika prinsip agung spiritualitas diterapkan pada dunia politik, dan para politisi sungguh-sungguh berlaku sebagai spiritualis yang setia kepada tuntunan kebenaran sejati yang muncul dari relung hati, bersumber dari Sang Diri Sejati.
Sewajarnya spiritualitas diterapkan dalam segala aspek kehidupan: politik, ekonomi, kesenian, arsitektur, dan lainnya. Karena kehidupan semestinya diwarnai oleh keindahan, keagungan, dan harmoni.
Memang terlalu absurd membahas spiritualitas dalam politik saat ini, karena kita terlalu sering disajikan tingkah para politisi yang sangat hobi berdusta, yang tega melakukan apapun demi kemenangan pribadi, yang rela mengkhianati kebenaran sejati demi uang dan jabatan.
Tapi sebenarnya cara berpolitik yang luhur bukan tak pernah ada. Ia menjadi asing saat ini karena kita tengah mengalami dekadensi peradaban. Tapi Nusantara di masa lalu selalu punya cerita tentang keberadaan para satria dan ratu pinandhita: Airlangga, Ken Arok, Tribuana Tunggadewi, bahkan Panembahan Senopati. Tapi lagi-lagi cerita yang disuguhkan kepada kita tentang mereka benar-benar layak disebut sebagai fitnah yang terencana, sistematik dan massif. Akibatnya kita kehilangan teladan, model dan benchmark dari sebuah gaya berpolitik yang luhur.
Saya kini ada dalam posisi memperkenalkan kembali integrasi antara spiritualitas dan politik. Tetapi, saya berpolitik tak mesti lewat partai politik, tak mesti dengan target jabatan dan kekuasaan. Cara berpolitik saya adalah dengan menjadi negarawan yang Pancasilais, yang terus berkarya mengembalikan budaya bangsa yang sesuai jatidiri, berdikari secara ekonomi dan berdaulat secara politik.
Saat saya menyelenggarakan agenda Ngaji Pancasila dan beberapa seri Pagelaran Seni Budaya bertema Pancasila, saya sedang berpolitik. Maka, saat ikut dalam gerakan kembali ke UUD 1945 yang asli, saya sedang berpolitik. Saat menolak hanyut dalam plandemic dan tak mau ikut protokol kesehatan WHO, saya sedang berpolitik. Sebab, berpolitik adalah cara dan langkah untuk memperjuangkan kebenaran dan mengupayakan keselamatan bersama.
Maka dalam politik yang dijalankan, saya tak pernah berkompromi dengan bujuk rayu. Saya tak pernah bersuara atau stop bersuara karena ada yang bayar. Saya juga tak pernah mendukung atau tidak mendukung seseorang atau suatu agenda, karena perkara uang. Segalanya harus tulus murni sebagai tindakan patriotik.
Jelaslah para “spiritualis” yang menjauh dari hiruk pikuk duniawi dengan alasan semua sudah menjadi ketetapan Tuhan dan bagian dari dualitas, terjebak dalam ilusi akut. Kesalahan, ketidakadilan, itu jelas dan gamblang dimengerti dalam keheningan. Justru dengan hening kita jadi tertuntun untuk memperbaiki kesalahan dan melawan ketidakadilan.
Para politisi agung, adalah mereka yang hidupnya dipenuhi hening dan tapa brata. Mereka menggembleng diri hingga jiwanya murni dan egonya luruh. Hal seperti ini sayangnya tak ada dalam program kaderisasi partai politik manapun.(*)
sumber: