Skip to main content

Jika Tan Malaka masih hidup saat ini, niscaya dia ada di garda depan mengkritik kebijakan hutang negara. Dia pasti melawan agenda plandemik yang didesain dan dimotori institusi kapitalisme global. Sudah pasti Tan juga akan memimpin protes dam demonstrasi yang dinilai pro-investasi dan berpotensi memelaratkan rakyat jelata. Apa yang dia lakukan adalah ekspresi dari konsistensinya dalam melawan kolonialisme dan kapitalisme dengan tanpa kompromi. Itu sekelumit isi perbincangan saya dan Prof. Yudhie Haryono dari Nusantara Centre dalam Kursus Pemikiran Jenius Bangsa yang digelar di Jakarta dan disaksikan secara online oleh sekitar 170 peserta di berbagai daerah.

Setyo Hajar Dewantoro dan Prof. Yudhie Haryono dalam Kursus Pemikiran Jenius Bangsa Sesi 3

Tapi saya perlu menambahkan: “Jika Tan Malaka masih hidup saat ini, ia akan mengkoreksi pandangannya tentang mistisisme Jawa. Ia akan kagum dan bergabung dengan Persaudaraan Matahari karena melihat kita menghayati betul mistisisme (Jawa dan dunia) yang progressif dan revolusioner. Ia akan tahu tak semua penggelut mistisisme di Jawa itu fatalis, antirevolusioner, dengan pandangan dunia yang menyedihkan: sebuah bangsa terjajah itu sudah kersaning Gusti (Kehendak Tuhan), bahwa menjadi negeri yang dihisap kekayaannya oleh kolonialis itu sudah pepesten atau ketetapan Tuhan. Ia pasti akan melihat bahwa dalam ajaran yang saya sebarluaskan ada api perjuangan yang menyala untuk melawan segala bentuk ketidakadilan yang berbentuk agenda nekolim.”

Ya, di masa hidupnya, Tan Malaka yang lahir di Minangkabau (tanah yang juga melahirkan Mohammad Hatta, Sutan Syahrir dan tokoh besar lainnya), memang tiada henti melawan. Hidupnya adalah perjuangan tanpa kompromi melawan penjajahan tanpa kompromi, pelarian ke berbagai negara, kisah romansa yang heroik di tempat-tempat persembunyiannya hingga ke Filipina dan China, yang berujung dengan tragedi: ia ditembak di keningnya, di dekat Sungai Brantas, tahun 1948, oleh tentara yang kebingungan mendefinisikan ia sebagai pahlawan atau lawan bagi Republik yang baru lahir. Tan memang mengkritik keras para pejabat teras republik yang mau berunding dan berkompromi dengan pihak-pihak yang didefinisikan sebagai penjajah: Sekutu, Belanda, dan sebagainya. Ia tercatat menjadi desainer dari proses besar sejuta massa di Ikada (Monas sekarang).

Para pembaca, Tan Malaka adalah orang besar dengan gagasan besar dan setia pada kebenaran yang ia yakini. Ia pernah menjadi pimpinan tertinggi PKI di era pra-kemerdekaan karena ia melihat komunisme adalah alat yang efektif untuk mengkonsolidasi perlawanan pada penjajah. Ia lalu berselisih dengan teman-temannya sesama pembesar di PKI yang berujung ia keluar dari PKI untuk mendirikan Partai Murba. Ia pernah menjadi anggota Komintern (Komunisme Internasional) yang berpusat di Moscow dan kepada para koleganya ia menggagaskan agar komunisme bersinergi dengan Pan Islamisme – dan ini ditolak oleh faksi Marxian yang fanatis, yang memandang agama adalah candu, tak mungkin punya api revolusi.

Menengok pikiran Tan Malaka dalam kenegaraan, satu hal krusial adalah ia memandang diperlukannya oposisi terhadap pemerintah, bahwa kritik itu perlu diberi ruang agar ada koreksi terhadap kesalahan kebijakan. Ia menggagaskan mekanisme kritik dan oposisi: itu harus diselesaikan lewat konsensus yang dipegang teguh baik oleh pemerintah maupun oposisi. Tentu saja kritik yang dimaksud Tan adalah kritik cerdas, untuk kepentingan rakyat dan bangsa, bukan bergaining untuk dapat jatah preman.

Masih banyak pikiran menarik dari sosok Tan Malaka. Sebagian sudah kita bahas tadi malam, sebagian lainnya harus diperdalam lain waktu. Yang tertarik belajar tentang Tan bisa baca buku karyanya, Madilog, Gerpolek, dan sebagainya. Satu catatan penting, dalam kursus semalam ditegaskan oleh Prof. Yudhie Haryono bahwa sesungguhnya PKI juga punya saham terhadap republik ini, mereka turut berjuang mengusir penjajah. Mereka sekarang dianggap barang nista saat ini karena memang ekses dari pertarungan kapitalisme global dan komunisme di tahun 1965 dimana untuk kasus Indonesia, kapitalisme global menang dan berlanjut dengan bumi hangus segala hal yang dipandang revolusioner terutama PKI dan komunisme. Ditegaskan juga juga bahwa komunisme beda dengan atheisme; di masa lalu para tokoh PKI adalah mereka yang jelas-jelas Muslim alias berTuhan, seperti Semaun, Alimin, yang pernah bergabung dengan Syarikat Dagang Islam dan Syarikat Islam.

Saya sendiri tadi malam menegaskan, Persaudaraan Matahari dan Pusaka Indonesia yang saya pimpin bukan komunis, bukan atheis, bukan juga fundamentalis agama. Kami adalah spiritualis/penghayat mistisisme yang revolusioner, kami adalah kaum berTuhan alias Pancasilais yang progresif dan pro pada benevolent capitalism. Kami mengupayakan integrasi 3 kekuatan: spiritual, intelektual dan kapital, agar tercipta Indonesia Surgawi dan Bumi Surgawi.