Skip to main content

Negara kita ini sungguh butuh pembaharuan di dunia politiknya. Pembaharuan dunia politik ini bukan dengan mengada-ada, tetapi hanya mengembalikan rancangan awal negara ini sebagai Negara Pancasila.

Ketika para Founding Fathers kita membuat NKRI sebenarnya dirancang dalam landasan sprirtualitas. Yang dipilih untuk memimpin dan mengayomi bangsa ini haruslah orang dengan kesadaran Ketuhanan Yang Maha Esa dan mempunyai rasa kemanusiaan yang universal. Dengan cara inilah cita-cita kemerdekaan bangsa bisa dicapai.

Sekian puluh tahun harus diakui bahwa sebenarnya kita salah jalan. Dunia politik menjadi tempat bagi orang yang hanya mengikuti kehendak egoistiknya sehingga negara ini tidak mencapai cita-citanya. Karena hal ini, sebenarnya menjadi logis dan tidak aneh jika kita yang ada dalam dunia spiritual masuk ke ranah politik asal kita tidak melupakan prinsip-prinsip dasar spiritualitas. Kita masuk politik bukan untuk mengejar keinginan egoistik, tetapi benar-benar dilandasi dengan semangat berbakti berbangsa dan bernegara.

Bagaimana kita bisa menjaga konsistensi niat ini saat sudah terjun ke ranah politik?

Solusinya hanya satu, yakni di dalam sanubari kita sudah berkobar api Pancasila. Selama kita hanya berpikir dan hidup dalam konsep kebaikan, kita pasti akan tumbang. Niat awal pasti bagus, namun ketika sudah masuk dunia politik dengan segala dinamikanya dan godaannya, apakah Anda tahan? Ini adalah upaya yang sangat serius karena siapa lagi harapan kita selain kepada orang-orang yang memang punya kesadaran murni dan rasa bakti kepada tanah air?

Saat ini kita menghadapi situasi yang rumit karena kebijakan yang tidak pas, bukan karena sunguh-sungguh ada pandemi. Kebudayaan dilumpuhkan dan ekonomi dilumpuhkan.
Siapa yang mengambil keputusan? Tentu saja yang mempunyai kekuasaan. Bagaimana cara mengambil keputusan? Tentu saja dengan pikiran yang egoistik dan asumsi yang keliru. Sebab itu kita mendapatkan dampak destruktifnya. Mestinya kita sadar sehingga kita berupaya untuk menata kembali bangsa ini sebagaimana rancangan agungnya, dikembalikan kepada cita-cita awalnya.

Mengapa kita gunakan kata “Ngaji Pancasila”?

Pancasila tidak lagi cukup hanya dimengerti secara kognitif, menghafal sila-sila Pancasila, atau mengetahui Pancasila dengan rasionalitas kita. Sudah waktunya Pancasila ini hidup di dalam sanubari kita. Ada api yang menyala yang melandasi setiap gerak pikir, kata-kata, dan tindakan kita. Kata mengaji kita pilih karena berasal dari kata “aji” yang bermakna “mulia, berharga, luhur, utama”. “Mengaji” artinya kita memuliakan kembali Pancasila sehingga menjadi sesuatu yang berharga yang memancar dari diri kita. Ada yang memberi kiroto boso, “Ngaji” itu “Ngasah Jiwa”. Dengan kegiatan ini, kita mengasah dan memurnikan jiwa kita lewat laku hening cipta agar api Pancasila menyala dalam sanubari. Kita butuh Pancasila ada di dalam darah daging kita, di dalam hati kita secara mendalam, bukan hanya sekadar menjadi teori di dalam kepala kita.

Pada titik ini kita ada dalam sinergi yang luar biasa. Lewat Pusaka Indonesia GemahRipah ini kita memang berkegiatan sosial politik. Namun, poros awal berkegiatan spiritual tetap berjalan dengan wadah Mahadaya Institute. Inilah cara kita untuk menyempurnakan darma bakti kita sebagai manusia dan warga bangsa.

Mengapa “Ngaji Pancasila” disambungkan dengan “Hening Cipta”?

Intisari Pancasila ada di sila yang pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan Pancasila, kita diajak untuk menyelami esensi spiritualitas. Pancasila adalah jalan hidup yang digali oleh para Founding Fathers kita dari nilai-nilai luhur bangsa Nusantara diformulasikan sebagai dasar negara. Lalu, mengarahkan bangsa ini untuk menjadi bangsa yang berketuhanan Maha Esa, bangsa yang spiritualis, bukan bangsa yang relijius.

Bagaimana kita mempunyai kesadaran Ketuhanan Yang Maha Esa?

Ini tidak bisa dilakukan jika kita menggunakan pendekatan pembelajaran kognitif, yakni memindahkan informasi buku atau kepala orang lain ke kepala kita. Kita harus menggunakan laku spiritual sehingga kita terhubung dengan Tuhan Yang Maha Esa yang nyata. Dimulai dengan menyadari keberadaan pengejawantahan Tuhan Yang Maha Esa yang bertahta di relung jiwa kita. Kita menyadari kemenyatuan yang seutuhnya denganNya.
Lalu, kita hidup sesuai dengan kehendakNya. Inilah jalan bagaimana Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi nyata, tidak lagi teoritis. Jika kita sudah mempunyai kesadaran Ketuhanan Yang Maha Esa, segenap gerak langkah dituntun oleh Tuhan, maka inilah dasar kita menjadi manusia Pancasilais.

Bagaimana caranya? Hanya satu dan bisa dilakukan oleh siapa pun pada saat ini, yakni hening cipta. Hening cipta sepadan dengan kata samadi, meditasi. Ini adalah intisari dari semua jalan spiritual.

Heningkan ciptamu dengan betul-betul menikmati momen saat ini dan di sini. Sambungkan pikiranmu dengan Rasa Sejatimu. Selami Tuhan yang nyata dengan anugerahNya lewat kasih murniNya. Kita akan betul-betul ada dalam kesadaran kesatuan yang Agung. Hening cipta akan memurnikan jiwa-raga kita sehingga tidak ada lagi tabir antara kita dengan Tuhan. Hanya dengan hening cipta keagungan bangsa Nusantara bisa dibangkitkan. Dan, sebenarnya ini bisa terjadi pada semua bangsa ketika hening cipta menjadi sebuah tradisi global sehingga terjadi kebangkitan spiritual global. Kita harus memulai ini di Indonesia dan membawanya ke lingkup negara dan membuat ini menjadi sebuah hal yang masif. Walaupun harus diakui ini seperti mimpi. Tapi, ini tidak jadi masalah. Dengan kerja keras, mimpi pasti jadi kenyataan. Jalani saja setahap demi setahap. Kita lakukan yang terbaik. Biarkan sisanya kekuatan Semesta yang menggenapi upaya kita bersama.

*Hening Cipta dan Ngaji Pancasila
Setyo Hajar Dewantoro
Pusaka Indonesia GemahRipah
Bali, 24 November 2020