Transkripsi dari Acara Selamatkan Indonesia lewat Jalan Keheningan
Ketua Umum Pusaka Indonesia – Pendiri Persaudaraan Matahari
Setyo Hajar Dewantoro
Baik, saudara dan saudari yang saya kasihi.
Saya ulang kembali. Apa alasan kita menyelenggarakan acara ini? Yang paling mendasar, paling jelas, adalah bahwa memang, kita merespon kondisi terkini. Bagaimana pun juga, siklus 5 tahunan, yang namanya Pilpres, itu pasti menghangatkan situasi di negeri kita. Dan tentu saja, banyak yang rakyat jelata, kemudian juga, ikut-ikutan menjadi panas. Apalagi kalau kemudian seperti saat ini, para kandidat presiden, sudah semakin jelas sosoknya. Maka, masing-masing, akan punya pendukung yang militan, dan masing-masing bisa saling menyerang secara verbal. Dan itu bisa tampak di sosmed kita. Hari-hari ini, sangat dipenuhi dengan, pergulatan verbal, antara pendukung-pendukung dari setiap kandidat.
Nah, saudara dan saudari yang saya kasihi.
Tentu kita harus berbuat sesuatu. Spiritualitas yang saya ajarkan, tidak mengajak Anda untuk menjadi apatis. Tidak juga kemudian cenderung menganggap, hal-hal duniawi ini tidak penting. Saya tidak mengajarkan spiritualitas yang membuat Anda, senang melarikan diri dari kenyataan. Senang melarikan diri dari dinamika kehidupan keseharian. Karena menganggap itu, bukan hal yang penting dalam spiritualitas. Saya selalu menegaskan bahwa, kita ini berspiritualitas, justru untuk, membuat kita, di satu sisi, mengalami hidup surgawi. Di sisi lain, kita bisa punya kontribusi yang jelas, terhadap penyelarasan kehidupan di negeri yang kita tempati. Bahkan di planet yang kita tempati.
Jadi, dengan kesadaran spiritual, kita harus bisa berpikir, berkata-kata, dan bertindak benar. Yang itu, memberi kontribusi positif kepada, kondisi yang melingkupi kita.
Jadi, teman-teman semua. Maka kita, sekali lagi kemudian, harus responsif. Kita harus kemudian, bisa mengambil sikap, yang tepat, menghadapi kenyataan yang ada.
Nah, satu hal kemudian saya tegaskan, bahwa, kita di Persaudaraan Matahari, di Pusaka Indonesia, dan di semua lembaga yang terafiliasi. Itu tidak ikut dukung mendukung, salah satu kandidat presiden dan wakil presiden. Jadi, kita tidak menghabiskan energi kita, untuk memuji-muji salah satu kandidat, kemudian menjelek-jelekkan kandidat yang lain. Dalam hal ini, kita bersifat netral. Saya bersifat netral. Dan saya juga mengajak Anda punya sikap yang sama. Supaya kita tidak membawa kegaduhan di dalam kehidupan keseharian kita, pada saat ini.
Nah saudara dan saudari yang saya kasihi.
Justru, yang harus kita lakukan adalah, secara bersama-sama, mengenali apa ancaman buat negeri kita. Apa ancaman, buat bangsa kita. Dan kemudian kita, melakukan upaya yang bisa menjadi solusi, dengan segala kekuatan yang ada pada diri kita. Maka kita membuat judul acara ini. Bagaimana kita bisa save the nation, kita bisa menyelamatkan bangsa ini dengan jalan keheningan.
Saudara dan saudari yang saya kasihi
Jelas bahwa, ancaman yang nyata, setiap 5 tahun sekali, itu adalah disintegrasi pada bangsa kita. Karena kemudian, orang terbelah. Kalau tahun 2014, 2019, itu betul-betul, terbelah menjadi cebong dan kampret. Sekarang belum jelas apa istilahnya. Kita enggak tahu nanti, mau jadi apa. Tapi yang mulai muncul ini, banteng lawan kodok, katanya. Cebong sama kampret, mulai dilupakan. Sekarang yang ada adalah, kodok lawan banteng.
Nah, apapun juga sebutannya, tetapi segala upaya yang nanti berpotensi pada disintegrasi bangsa. Itu sama sekali tidak elok, tidak bagus. Dan kita harus memberikan solusi yang nyata.
Nah tentu saja, solusi yang nyata adalah, satu, kita jangan ikut-ikutan. Jangan jadi kodok, jangan juga jadi banteng. Karena kita jelas, manusia. Kita ini bukan peliharaan siapapun. Kita adalah kumpulan manusia-manusia yang merdeka. Jadi, Anda jangan berantem mengatasnamakan geng kodok maupun mengatasnamakan geng banteng.
Nah yang kedua, yang kita bisa lakukan adalah, menciptakan keajaiban, dengan kekuatan kasih yang paling murni.
Nah dalam hal ini, saya kasih penjelasan. Jadi pendekatan kita itu, bukan berdoa meminta Tuhan membereskan segala masalah kita. Termasuk masalah-masalah yang kaitannya dengan ancaman disintegrasi bangsa. Kita bukan diam, “Ya Tuhan bereskanlah segala masalah negeri ini.” Terus kita diam. Kita pendekatannya, enggak kayak begitu.
Yang kita lakukan adalah, kita menjadi co-creator. Kita menjadi mitra dalam penciptaan. Kita menjadikan diri kita, sebagai wahana bagi bekerjanya kekuatan Ilahi. Maka, itu kita lakukan dengan, satu, kita hening. Agar apa? Agar kita ada dalam kesadaran kesatuan dengan Sang Sumber Hidup. Agar badan kita, diri kita ini, bisa menjadi wahana bagi bekerjanya kekuatan Ilahi. Dan itu pasti ada korelasinya dengan tingkat kemurnian jiwa kita. Hening itu, satu, jelas, itu kalau dibahasakan dengan bahasa manusiawi, membuka channel, menyelaraskan frekuensi kita, dengan frekuensi ketuhanan. Yang kedua, hening itu membuat badan kita cukup layak. Karena kita menjadi semakin jernih, ego diluruhkan. Agar, kekuatan Ilahi, kuasa Ilahi, bisa bekerja melalui diri kita.
Nah pada titik itu, ketika kita kemudian, sudah punya kesediaan, untuk menjadikan diri kita ini sebagai wahana, bagi bekerjanya kekuatan Ilahi. Maka kita, jelas, ada dalam posisi sebagai co-creator.
Nah di sini, kita tidak hendak mengedepankan, apa yang menjadi keinginan egoistik kita. Kita tidak hendak, mendayagunakan kekuatan semesta, kekuatan Ilahi. Agar, ego-ego kita ini terpenuhi, segala keinginannya. Jadi kita, tidak kemudian, menggunakan kekuatan semesta, kekuatan Ilahi. Misalnya mendukung salah satu capres. Karena kita sudah kadung dikasih DP. Dikasih uang panjer. Itu tidak begitu. Kita menggunakan kekuatan semesta. Kita menggunakan kekuatan Ilahi, demi kepentingan yang luhur. Demi keselarasan di negeri ini. Demi keamanan negeri ini. Demi integrasi atau kesatuan di negeri ini.
Nah saudara dan saudari yang saya kasihi.
Kita memang harus menjadi cerdas. Jangan sampai di level grass root, kita teradu domba. Karena pada praktiknya, di tingkat pusat, mereka tuh bisa saling senyum, bisa makan bareng, kongkow-kongkow. Nanti ketika Pemilu selesai, juga mereka bagi-bagi kekuasaan. Yang benjut, babak bundas, ya di level bawah.
Jadi saya mengajak Anda untuk tidak menjadi, sekali lagi, korban dari ritus 5 tahun sekali ini.Kita harus menjadi kelompok yang bermartabat, yang konsisten dengan pilihan-pilihan kita, yang didasari dengan akal sehat.
Baik saudara dan saudari yang saya kasihi.
Jadi itu tadi. Saya ulas kembali. Jangan ikut-ikut berantem. Kedua, kita konsisten memberkati negeri Ini, lewat keheningan. Baik secara personal, maupun kita bersama-sama seperti tadi. Dan nanti kita akan ulangi sekali lagi, di akhir acara.
Yang ketiga, kita terus, melakukan segala hal yang memang, itu penting, itu berguna. Demi keselamatan kita, keselamatan negara kita pada jangka panjang. Jadi, saya tidak hanya melihat, sisi krusial dan urgensi dari pilpres di 2024. Saya mengajak Anda, untuk punya visi jauh lebih panjang, jauh lebih ke depan. Bahwa, kita semua tentu punya impian. Negeri ini, negara kita, Republik Indonesia yang kita cintai ini. Betul-betul menjadi negara yang maju. Negara yang sejahtera. Yang bisa mencapai visinya, sebagai negara yang adil makmur. Menjadi negara yang merepresentasikan kembali, keagungan sebagai bangsa Nusantara. Kita punya visi emas.
Nah, tentu saja, kita harus punya langkah strategis, untuk mengarah ke sana. Apakah bisa? Kita ini bukan parpol. Kita juga bukan pemerintahan. Kita tidak memegang kekuasaan apa pun. Menjalankan hal-hal strategis untuk kepentingan bangsa. Kenapa tidak? Kita ini tidak dituntut, untuk melakukan hal yang di luar kapasitas kita. Kita ini hanya diminta, untuk memberikan yang terbaik, sesuai dengan apa yang kita mampu. Maka tadi, satu, kita akan konsisten untuk menggunakan kekuatan Ilahi, kekuatan kasih murni Ilahi, untuk menciptakan keajaiban di negeri ini.
Pemberkatan yang kita lakukan, itu pasti nanti ada dampaknya. Pasti akan ada keajaiban. Persis seperti bagaimana, ada sosok Vladimir Putin di Rusia, yang sebetulnya sangat lucu. Karena beda banget, dengan Putin belasan tahun yang lalu. Kita juga bisa melihat, bahwa, ada keajaiban seperti yang terjadi di Arab Saudi, dengan keberadaan seorang Muhammad bin Salman. Coba Anda perhatikan, beda banget dengan penampilan dia di tahun 2018 ke belakang.
Nah, dalam kacamata spiritual. Kita jangan membatasi, kejadian yang mungkin terjadi, dan menutup pintu bagi yang namanya keajaiban. Keajaiban itu bisa nyata adanya, dalam segala bentuknya. Termanifestasikan dalam segala peristiwa, segala cara, yang pastinya adalah, membuat kita terselamatkan. Membuat kita bergerak maju, dalam proses, untuk mencapai apa yang menjadi tujuan agung.
Jadi, daripada kita ngedumel. Daripada kita misuh-misuh, “ini negara apa?” Negara dagelan lah, Wakanda lah. Segala macam. Stop itu. Kita bersikap konstruktif. Kita bersikap sebagai manusia dewasa. Kita memilih untuk, berkontribusi, dengan keheningan kita. Dengan pikiran, kata-kata, dan tindakan, yang selalu selaras dituntun oleh Gusti yang bertahta di relung hati. Dan itu tentu saja nanti, dijabarkan lebih luas dalam keseharian Anda.
Jadi Anda masing-masing, jangan menjadi sosok yang menciptakan kerusuhan. Dan jangan pula Anda, kemudian berkontribusi pada medan energi yang melingkupi negeri kita ini, dengan karakter-karakter yang tidak selaras. Jadi, istilah medan energi itu, atau biarkanlah medan energi itu, merekam optimisme kita. Merekam kasih murni kita. Merekam kedamaian kita. Merekam komitmen luhur kita. Merekam semangat bakti kita pada ibu pertiwi.
Jangan biarkan, medan energi itu, merekam kemarahan kita yang tidak jelas. Keserakahan kita. Apalagi merekam kebucinan kita. Itu sungguh tidak patut, tidak layak buat mereka yang disebut sebagai ksatria. Apalagi pejalan keheningan.
Baik, saudara dan saudari yang saya kasihi.
Ada satu langkah, yang kemudian hendak kita lakukan bersama. Kita hendak mendorong perbaikan pada sistem berbangsa dan bernegara. Kita hendak mendorong perbaikan, pada konstitusi, pada Undang-Undang Dasar yang diterapkan di negeri ini. Anda perlu tahu bahwa, tahun 2002, ada amandemen yang sangat masif terhadap Undang-Undang Dasar kita. Yang semula, dibuat di tahun 45 oleh para Founding Fathers.
Nah, kalau yang generasi saya, yang SD-nya tahun 80-an ya. SMP tahun 90. Itu pasti, lumayan apal, isi Undang-Undang Dasar 45. Anda harus tahu, bahwa itu sudah enggak ada. Sudah enggak dipakai. Sudah ada amandemen berkali-kali. Sampai keempat, di tahun 2002. Yang membuat, dalam bahasa ideologis itu, undang-undang ini lebih coraknya kepada, undang-undang yang bernafaskan ideologi neoliberal. Yang memberi ruang, bagaimana kekuatan-kekuatan uang, yang dimiliki oleh segelintir orang, itu bisa mengalahkan kepentingan rakyat banyak. Bahkan bisa menundukkan pemerintahan, demi kepentingan mereka, dan rakyat kemudian menjadi korban.
Nah maka, butuh sebuah manuver. Butuh sebuah langkah. Agar, ada perbaikan pada konstitusi kita. Makanya kita mengusulkan. Kita hendak meminta, kepada pihak-pihak yang memang punya otoritas. Untuk mengembalikan konstitusi kita, kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang asli. Yang dibuat oleh para Founding Fathers. Dan kita memang punya agenda, tanggal 7 November ini. Kita akan berdialog dengan beberapa pihak. Supaya, ide kita ini tersampaikan kepada mereka. Dan, saya mengajak Anda untuk berpartisipasi, menjadi bagian dari pergerakan ini.
Nah, saudara dan saudari yang saya kasihi.
Ini hanya satu langkah kecil. Langkah-langkah lain, jelas kita sedang lakukan. Kita memetakan berbagai permasalahan bangsa. Tanah yang dirusak, sungai yang tercemar. Masyarakat yang tercerabut dari budaya luhurnya. Masyarakat yang asing dengan budaya luhurnya. Ketimpangan ekonomi, dan macam-macam. Dan kita ini kan sebagai para meditator, para praktisi keheningan, tidak diam saja selama ini. Kita punya banyak wadah. Kita punya banyak wahana untuk beraktualisasi diri, menciptakan perubahan, dengan apa yang kita bisa.
Maka kita mengembangkan Sigma Farming. Kita mengembangkan sanggar seni Pusaka Indonesia. Kita mengembangkan Social Entrepreneur Academy. Kita secara konsisten, mengajak orang, mengaji Pancasila, yang sesungguhnya, yang sejati. Kita mempromosikan tradisi hening cipta. Dan mengajak juga banyak orang, untuk mengenali kembali, bagaimana pikiran-pikiran jenius dari para Founding Fathers. Ini adalah agenda pencerahan yang kita betul-betul menunggu momentumnya untuk menjadi masif.
Inilah cara kita berbakti kepada bangsa ini. Kita tidak mengejar hal-hal yang sifatnya artifisial. Yang sifatnya itu, memenuhi kepentingan egoistik kita. Kita tidak mengejar jabatan. Tapi tidak takut, kalau nanti ada jabatan apapun juga. Kita tidak melakukan ini supaya dikasih duit. Tidak. Kita melakukan ini, agar memang ada perbaikan yang nyata, bagi bangsa dan negara kita.
Nah saudara dan saudari yang saya kasihi.
Kembali kepada tadi, konstitusi kita. Pilpres yang sekarang kita alami setiap 5 tahun sekali ini. Itu adalah salah satu manifestasi dari undang-undang hasil amandemen. Yang idenya tampak bagus, ketika dulu kita belum membuktikannya. Karena kita di masa reformasi, itu kan, bosan dengan gaya politik yang dibangun oleh rezim Orde Baru, oleh Pak Harto. Maka kita ingin cari sebuah gaya baru. Dan kemudian, masuklah ide, yang sebetulnya sangat mengamerika ini. Jadi kita itu meng-copy paste politiknya Amerika. Pemilihan langsung, presiden cukup dua periode, dan seterusnya.
Itu terkesan demokratis. Terkesan indah. Terkesan itu memuliakan rakyat. Faktanya adalah, setiap 5 tahun sekali, kita betul-betul mengeluarkan uang yang sangat banyak. Sementara hasil pemimpinnya, bolak-balik, pasti nanti dipisuh-pisuhi, di masa akhir pemerintahannya. Jokowi yang dielu-elukan oleh beberapa orang. Sekarang orang-orang itu, yang memisuh-misuhi Pak Jokowi juga. Saya enggak. Saya enggak ikut misuh-misuhi lah. Saya santai saja.
Nah saudara dan saudari yang saya kasihi.
Lebih dari itu, pilpres dengan cara langsung seperti ini. Itu membuat biaya sosialnya luar biasa besar. Berantemnya itu dahsyat sekali, sampai ke level yang paling grass root. Dan, ini tidak sehat. Belum lagi nanti, pemenang itu sebetulnya, tidak sesuai dengan maunya rakyat. Di sini sebetulnya bekerja yang namanya, gerak perbandaran, gerak perbohiran.
Jadi saudara dan saudari yang saya kasihi.
Anda mesti tahu, bahwa di balik semua kerja politik sekarang ini. Pasti ada uang yang besar. Dan politisi, belum tentu punya uang. Maka di situ, muncullah apa yang disebut sebagai para bandar, para bohir. Yang menyediakan uang sebagai biaya politik ini. Dan pada akhirnya nanti, ketika kekuasaan sudah diraih, mereka nagih.
Makanya dalam landskap politik kita saat ini. Kalau kita bicara presiden, belum tentu dia menjadi pemegang kekuasaan tertinggi secara de facto. Secara the de jure bisa saja, secara de facto, di balik Presiden itu, pasti ada king maker, para pemimpin partai. Yang kadang-kadang, tidak mau kehilangan pengaruh. Maka, dia akan mengatakan, “Hei lu presiden, lu petugas partai”. Karena mereka merasa berjasa. Oke ada kingmaker. Nanti habis itu ada bohir, yang mendanai semua ini. Dan king maker bisa takut sama yang membohiri. Dan bohir ini, ada yang tingkat lokal, tingkat nasional, ada yang tingkat internasional.
Maka menjadi presiden, tidak mudah. Karena harus, ada dalam dialektika dengan berbagai kekuatan ini. Lalu ketika rakyat punya kebutuhan. Rakyat punya keinginan. Apakah langsung bisa diakomodasi oleh pemimpin? Belum tentu. Karena, kalau nanti kepentingannya berbeda dengan kepentingan yang punya kuasa dan punya duit. Situasi menjadi rumit.
Nah kita harus belajar bahwa, ternyata sudah berkali-kali, kita mencoba menemukan pemimpin dengan cara yang sangat Amerika ini. Kita belum berhasil.
Nah kita mau, paling tidak memangkas, ekses-ekses yang negatif. Makanya kita kembalikan kepada UUD 45. Di mana nanti, pemimpin cukup dipilih oleh MPR, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang mewakili rakyat. Ini belum tentu nanti menghasilkan pemimpin yang hebat juga. Tapi setidaknya, kita enggak berantem gara-gara pemimpin. Social cost-nya, money cost-nya, jauh lebih kecil. Oke, ini sebuah upaya. Lagi pula kalau kita kemudian, dalam sudut pandang level kesadaran. Saya bisa menginformasikan pada Anda bahwa, LoC atau level of consciousness dari undang-undang yang dibuat para Founding Fathers pada tahun 45 itu, jauh lebih tinggi ketimbang yang dibuat para politisi, di tahun 2022. Di tahun 2002. Maka logis, kalau kita kemudian memilih kembali kepada yang LoC-nya lebih tinggi.
Nah saudara dan saudari yang saya kasihi.
Kita akan menciptakan perubahan dengan damai. Dengan kasih yang paling murni. Demikian, yang bisa saya sampaikan. Banyak hal, yang nanti kemudian akan kita kerjakan bersama. Tidak hanya soal memperbaiki konstitusi. Tapi semua program yang sudah kemudian dijalankan di Pusaka Indonesia, di Avalon, segala macam itu. Silakan Anda, turut serta. Bersama-sama, kita membangun Indonesia surgawi.
Terima kasih. Merdeka.