Skip to main content

Rambut dan jenggotnya tebal, telah memutih dan merata, mengisyaratkan usianya yang tak lagi muda. Postur tubuhnya pun kurus, sekilas tidak menggambarkan seorang pria gagah nan perkasa. Namun siapa yang akan menyangka, ia masih mampu menggarap lahan kebunnya yang luas dengan beban pekerjaan yang berat, seperti mencangkul, serta membabat rumput dan alang-alang yang bisa setinggi orang dewasa. Dialah Andreas Hartriyono, kader Pusaka Indonesia yang tinggal di Palembang, Sumatera Selatan.

Andreas lahir di Mlati, Yogyakarta, pada tanggal 23 Maret 1959. Ketika berusia 20 tahun, ia pindah ke Bengkulu sesuai dengan penugasan setelah menyelesaikan pendidikan militer pada tahun 1979. Ia memulai aktivitasnya di dunia pertanian sejak tahun 1998 di Palembang, sembilan tahun setelah ia dipindahtugaskan pada tahun 1989. Mulanya ia membeli lahan seluas 4 hektar yang sudah ditanami pohon karet. Dari hasil kebun karet itu, ia bisa menyekolahkan kedua putranya sampai ke tingkat sarjana. 

Dari hasil itu pula ia dapat membeli lahan seluas 10,7 hektar yang sebagian lahannya telah ditanami sawit oleh pemilik sebelumnya. Selain itu, ia juga menanam bermacam tanaman, seperti durian, duku, alpukat, matoa, jeruk, jambu air, rambutan, sukun, kluwih, sirsak, petai, duwet, pisang, indigofera, secang, mengkudu, rumput pakchong, jahe, kunyit putih, kencur, dan temulawak. Selain untuk menambah penghasilan, keputusannya membeli lahan tersebut dilatarbelakangi oleh hasil observasinya ketika melihat kondisi rekan-rekan seniornya yang sakit-sakitan di masa pensiun karena tidak lagi punya kegiatan. 

Sejak pensiun pada tahun 2012, aktivitas kesehariannya adalah bertani. Semangatnya sebagai petani patut diacungi jempol karena di usianya yang terbilang senior, kakek yang memiliki empat cucu itu mau melakukan perjalanan jauh naik bis dari Palembang ke Desa Cihirup, Kecamatan Ciawigebang, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat pada pertengahan tahun 2022 untuk mengikuti pelatihan Sigma Farming, sebuah metode pertanian yang selaras alam dengan menggunakan bahan-bahan alami sebagai pupuk dan pestisidanya.

Andreas dengan kompos BD ala Sigma Farming di kebunnya.

“Saat mengikuti pelatihan, saya baru menyadari bahwa cara bertani yang saya lakukan selama ini salah. Penggunaan bahan kimia sintetis lama-kelamaan dalam skala kecil membuat tanah rusak yang berdampak pada penurunan hasil panen. Dalam skala besar merusak bumi dan ekosistem, karena mikroba dalam tanah yang membuat kesuburan tanah akan mati sehingga mengganggu kesetimbangan,” papar pensiunan tentara yang pernah dua kali bertugas dalam Operasi Seroja di Timor Leste. 

Hatinya sempat gundah, merasa bersalah karena turut serta menyakiti Bumi. Oleh karena itu, segera setelah pulang dari pelatihan itu, ia mempraktikkan ilmu Sigma Farming di kebunnya. Awalnya ia membuat BD kompos untuk memulihkan tanah yang rusak akibat penggunaan pupuk dan pestisida sintetis. Selain BD kompos, ia juga membuat berbagai amunisi alias nutrisi sebagai pupuk untuk semua tanamannya, mulai dari liquid manure, eco enzyme, asam amino, dan pupuk lainnya yang semua berasal dari bahan-bahan alami. 

Ia membuat liquid manure dari isi perut sapi (sebelum keluar menjadi kotoran) yang dicampur dengan cairan vorteks. Cairan ini merupakan cairan yang terbuat dari air yang diberi Bakteri Pemulih Tanah (BPT) Sigma 1 dan 2. Kedua bahan tersebut adalah bakteri yang berfungsi sebagai komposter dan pemulih tanah. Selain itu, ia juga membuat eco enzyme, cairan ajaib serbaguna yang didapatkan dari fermentasi buah-buahan dan gula merah selama 3 bulan. Pupuk lain yang sangat bermanfaat adalah asam amino, ia membuatnya dari bahan organik yang berupa kulit, daging dan tulang hewan yang difermentasi dengan gula merah selama 4 bulan.   

Caranya bertani dengan menggunakan pupuk dan pestisida yang dibuat sendiri dari bahan alami diragukan oleh sesama petani di daerahnya. Apalagi proses pembuatannya membutuhkan waktu yang lama sampai bisa digunakan, tidak seperti pupuk buatan pabrik yang langsung dapat digunakan. Akan tetapi tantangan itu ia hadapi dengan semangat dan sukacita. Baginya, justru inilah saat yang tepat untuk membuktikan bahwa bertani secara organik mengeluarkan biayanya lebih murah untuk jangka waktu yang panjang. Ia sudah menunjukkan hasil panennya, sayuran yang ia tanam dengan metode Sigma Farming memang lebih besar, lebih segar, tidak cepat layu, dan rasanya lebih enak.  

Andreas merawat kebunnya dengan sabar dan telaten dan sepenuhnya meninggalkan cara lama yang menggunakan bahan kimia sintetis. Di saat tanaman di kebunnya butuh perawatan intensif, ia dan istrinya lebih sering berada di perkebunan selama berhari-hari ketimbang mesti bolak-balik dari rumah ke kebun yang bisa menghabiskan waktu sekitar 1,5 jam sekali jalan. Dengan melihat dan merasakan hasil kebunnya itu, tekadnya semakin kuat untuk menjadi petani yang memuliakan Bumi, mendukung terealisasinya Indonesia Surgawi.

 

YpKris

Kader Pusaka Indonesia Jawa Barat