Beberapa hari yang lalu, tepatnya Sabtu, 25 Mei 2024, Pusaka Indonesia kembali mengadakan Kelas Online Jurnalisme yang bertema Menulis Pemantik Perubahan, dengan Fadjriah Nurdiarsih sebagai mentornya. Wanita Betawi asli ini pernah bekerja sebagai jurnalis di Tempo dan Liputan 6. Saat ini, ia meniti karir sebagai seorang editor di Komunitas Bambu, selain masih aktif menulis sastra yang bertemakan perempuan dan Jakarta.
Pusaka Indonesia sebagai penyelenggara acara sudah seringkali mengadakan berbagai pelatihan, baik itu pelatihan di bidang seni budaya, kepemimpinan, pertanian organik Sigma Farming yang memuliakan Ibu Bumi, maupun bidang lainnya yang bertujuan untuk mengembangkan potensi kadernya. Termasuk keterampilan menulis jurnalistik yang tak luput dari perhatian Pusaka Indonesia. Hal ini penting, sebab tulisan itu menginspirasi, menggerakkan, bahkan memantik perubahan. Terbukti, beberapa waktu sebelumnya juga sudah dilaksanakan pelatihan jurnalisme serupa dengan tema yang berbeda, yang diadakan baik secara luring maupun bimbingan daring.
Pada pelatihan ini, Fadjriah menyampaikan banyak sekali materi-materi tentang kaidah-kaidah dalam menulis. Pada satu kesempatan, ia mengutip ungkapan seorang tokoh sastra terkemuka, Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.
Ia juga menjelaskan bahwa menulis adalah menceritakan, untuk dibagikan kepada orang lain. Tulisan sesungguhnya adalah kekuatan, karena ia dapat bercerita menggunakan kata-kata yang bervariasi. Penggunaan kata-kata yang tepat dalam menulis dapat menginspirasi orang lain untuk bertindak. Karena itu, tulisan dalam bentuk opini dapat membentuk suatu perubahan. Sedangkan bentuk penulisan yang menggunakan gaya bertutur atau story telling akan lebih mengena dalam diri pembaca.
Tak lupa ia memberi rambu-rambu, informasi yang disampaikan harus jelas agar apa yang disampaikan dapat bertahan lama dalam memori penerima. Menurutnya, untuk membuat tulisan yang baik, penulis perlu memahami siapa target pembacanya. Gaya bahasa yang dipakai juga harus disesuaikan dengan audiens yang dituju. Misalnya, tulisan dalam bentuk naskah akademik, maka bahasa yang digunakan lebih banyak menggunakan istilah-istilah akademik. Dan sebaliknya, jika tulisan tersebut ditujukan untuk masyarakat umum, maka seyogyanya menggunakan kalimat-kalimat umum yang mudah dipahami masyarakat.
Bagian yang menarik adalah keahlian menulis ternyata dapat menjadi lumbung penghasilan. Dahulu, penulis umumnya mengirimkan tulisannya ke media untuk mendapatkan honor. Sementara kini, para penulis mulai memuat sendiri tulisannya melalui aplikasi website yang memungkinkan para pembaca memberi saweran atas tulisan yang dibacanya. Sehingga, semakin kisahnya dibaca dan disukai netizen, maka akan semakin banyak pula penghasilannya. Bahkan, jika tulisannya terangkai menjadi sebuah novel yang bagus, tulisan tersebut bisa saja diterbitkan oleh penerbit. Menarik, bukan?
Selama dua jam, Fadjriah menularkan ilmu jurnalistiknya kepada para peserta. Sesi tanya jawab menjadi bagian paling akhir dari pelatihan ini. Ia juga berpesan, “Jangan takut untuk memulai menulis. Menulis adalah keahlian yang bisa dipelajari, karena itu teruslah berlatih. Kita dapat memulai menulis dari hal-hal yang dekat dengan kita, yang kita kuasai. Sebaiknya jangan menulis apa yang kita tidak ketahui.”
Sri Susanawati
Peserta Kelas Online Jurnalisme Pusaka “Menulis Pemantik Perubahan”