Skip to main content

Suasana malam di Auditorium Abdulrahman Saleh, RRI Jakarta, Jumat, 24 Oktober 2025, terasa hangat dan megah. Lampu panggung menyala lembut, musik tradisi mengalun, dan di atas pentas, para penari serta pemain drama menampilkan kisah yang memikat: Sendratari Neng Ning Nung Nang – Pesona Budaya Luhur Nusantara.

Pertunjukan ini bukan sekadar pementasan seni, tapi wujud ketulusan dan kerja keras dari para kader Pusaka Indonesia yang datang dari berbagai daerah – Jakarta, Bogor, Yogyakarta, Malang, Karawang, hingga Bali. Mereka bersatu menghadirkan kisah yang mengajak penonton menengok kembali nilai-nilai luhur bangsa: harmoni, ketulusan, dan semangat kebersamaan.

Dari Ide Sederhana ke Karya Bermakna

Anastasia Indria, salah satu penulis naskah, menceritakan bahwa ide awal skrip Sendratari ini sebenarnya sederhana. “Awalnya cuma ingin bikin cerita yang dekat dengan keseharian ibukota,” ujarnya.

Tokoh Budi dan Jasmine semula dirancang seperti anak muda masa kini, penuh ekspresi dan gaya kekinian ala TikTok. Namun, seiring waktu, ide itu tumbuh. Cerita kemudian dikembangkan bersama tim kreatif dan para kader Pusaka Indonesia, hingga menjadi kisah lintas generasi yang tidak hanya menghibur, tapi juga menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai luhur kehidupan.

“Saya ingin saat orang menonton drama ini, mereka bisa bercermin. Kadang kita seperti Jasmine yang marah-marah soal kondisi negeri, atau seperti Budi yang galau harus mulai dari mana. Tapi pada akhirnya, kita semua perlu belajar tentang Neng Ning Nung Nang, sebuah filosofi yang sudah dilakukan leluhur kita dan terbukti membawa kejayaan,” tambahnya.

Menenun Filosofi dalam Gerak dan Cerita

Sementara itu, I Kadek Cahya Adi Wardana, Show Director Sendratari ini yang juga tim kreatif, menuturkan bahwa ide Sendratari lahir dari semangat untuk menggabungkan potensi seni dari seluruh kader Pusaka di berbagai daerah.

“Gagasannya muncul saat rapat internal pengurus,” kenangnya. “Kami ingin mengorkestrasi seluruh kegiatan seni yang sudah dijalankan Pusaka Indonesia, lalu menenunnya menjadi satu karya besar yang menyatukan tari, musik, drama, tembang, hingga wastra.” 

Dari sanalah lahir Sendratari bertajuk “Neng Ning Nung Nang: Pesona Budaya Luhur Nusantara.”Pagelaran ini membawa penonton dalam perjalanan lintas waktu, dari hiruk-pikuk modernitas kota hingga kedamaian masa lalu yang penuh kearifan.

Dikisahkan, dua tokoh utama, Budi dan Jasmine, menemukan buku tua berjudul Neng Ning Nung Nang dan seketika terbawa ke masa silam. Mereka menyaksikan peradaban yang hidup harmonis dengan alam, menyerap kebijaksanaan dari para leluhur, lalu kembali ke masa kini dengan kesadaran baru tentang arti kehidupan yang selaras dan berkesadaran.

Dari Zoom ke Panggung: Perjuangan yang Tidak Main-Main

Proses latihan pun bukan hal ringan. Seperti diceritakan oleh Dudung Rohmat, Ketua Wilayah Pusaka Indonesia Sumatera-Batam yang menjadi pemeran tokoh Budi, latihan drama dilakukan selama dua bulan penuh dengan sebagian besar secara online melalui platform Zoom.

“Latihan tiap hari satu jam. Semua pemain punya kesibukan masing-masing, tapi mereka tetap hadir. Kadang sambil capek pulang kerja, tetap nyalain kamera, tetap belajar,” ujarnya 

Semua pemain bukan profesional, namun semangat belajar mereka luar biasa. Tantangan terbesar justru datang di H-1, saat Ketua Umum Pusaka Indonesia sekaligus penggagas acara, Setyo Hajar Dewantoro (SHD), meminta gaya drama diubah total – dari gaya sinetron menjadi teatrikal.

“Bayangin, malam itu script direvisi, ada tambahan pemain baru, dan semua harus latihan lagi dari nol. Tapi lewat latihan jam 10 sampai 12 siang, dan malamnya belajar lagi sampai dini hari, akhirnya bisa juga. Bahkan suara saya sudah serak, tapi berkat tenang dan hening, suara saya tetap kuat sampai akhir,” kenangnya.

Ada cerita yang menyentuh, Kang Dudung mengaku sempat ditawari pelatihan karier dari kantornya di tengah masa persiapan pagelaran.

“Tapi hati kecil saya bilang, ini panggilan jiwa. Saya tolak tawaran itu. Saya pilih lanjut di pagelaran ini. Dan ternyata, kebahagiaan batin yang saya rasakan nggak bisa dibandingkan dengan apa pun.”

Seni yang Menghidupkan Nilai

Di balik gemerlap lampu panggung, ada ketulusan yang begitu terasa. Setiap pemain, penari, dan kru bekerja dengan hati, hanya dengan semangat memberi yang terbaik.

Cahya menegaskan, “Pagelaran ini bukan sekadar tontonan, melainkan tuntunan – ajakan untuk menghidupkan nilai-nilai luhur Nusantara: gotong royong, ketulusan, dan keselarasan hidup.”

Filosofi Neng Ning Nung Nang sendiri bukan sekadar mantra, tapi jalan hidup:

Neng adalah Heneng, berarti tubuh dan pikiran yang tenang.
Ning adalah Hening, berarti jernih secara batin.
Nung adalah Dunung, berarti kesetiaan pada tuntunan Tuhan.
Nang adalah puncaknya, ketika semua laku dijalani dengan setia, maka kita menjadi Wenang, dilimpahi kuasa Ilahi, dan Menang menjadi pemenang sejati dalam kehidupan.

Sendratari ini bukan hanya keindahan gerak dan musik, melainkan penyala kesadaran bahwa budaya adalah napas yang hidup hingga masa kini, bukan hanya warisan masa lalu. Tepuk tangan panjang di akhir pertunjukan bukan sekadar apresiasi, melainkan rasa haru, karena di balik Sendratari ini, ada cinta yang besar untuk Indonesia.

Wisnu Aji Negara
Kader Pusaka Indonesia DKI-Banten