Skip to main content

Aku bahagia dan merasa benar-benar hidup dalam surga yang nyata saat ini.  Hidup berkelimpahan seperti ini yang aku harapkan selama ini, dan aku sadar proses masih tetap berjalan walau pencapaian sampai di titik ini juga bukan perjalanan yang pendek. Dulu aku masih punya pendapatan yang mapan sering ikut pelatihan berbayar maupun tidak berbayar, pelatihan yang bertema motivasi, pemberdayaan diri maupun meditasi.

Sampai akhirnya ketemu Buku Suwung yang sempat aku abaikan beberapa kali setiap berkunjung ke Gramedia. Suatu hari tergerak untuk membeli Buku Suwung, aku baca lalu aku ikuti latihan meditasi di You Tube sampai saatnya aku bisa ikut kajian di kotaku Blitar dan bertemu dengan Mas Guru Setyo Hajar Dewantoro (SHD). Waktu kajian sang guru pembimbing menyatakan kalau tidak semua akan berjatah untuk tetap belajar bersamanya, pergi dan datang itu hal yang biasa. Kata-kata itu aku terima dengan senang hati karena tidak ada keterikatan formal apalagi kemelekatan, tidak ada aturan yang membelenggu.

Tidak ada ikatan di komunitas ini dan itu sesuai dengan diriku yang tak pernah mau terikat  dengan satu kelompok atau instansi. Tapi ketika Mas Guru SHD mengatakan kalau saat itu sudah mendirikan perkumpulan yang nantinya akan menjadi partai, dan ini yang membuatku agak merasa malas untuk melanjutkan. Bukan informasi yang baru dan mungkin sebagai rakyat biasa sudah bosan dibohongi  bahwa setiap partai pasti berisi orang-orang serakah dan mementingkan diri sendiri serta golongan. Itu yang ada dalam pikiranku saat itu.

Namun, aku tidak jadi berhenti dan intinya yang penting aku belajar spiritual untuk diriku sendiri untuk saat itu. Jadi abaikan saja dulu hal yang tidak penting bagiku, meski Mas Guru akan mendirikan partai atau apalah yang penting aku nyaman dalam pembelajaranku ini. Suatu hari di Whatssap Grup (WAG) ada pemberitahuan kalau mau ada retreat dan aku ingin  ikut karena aku sudah bertekad untuk bertumbuh. Pelatihan apa pun yang sudah aku ikuti tidak banyak membuat aku bertumbuh selama ini. Pelatihan motivasi dan sejenisnya paling lama satu bulan setelahnya akan kembali pada kebiasaan semula lagi. Entah aku yang bebal atau memang belum berjatah aku tidak tahu pasti. Kali ini Retreat dengan tema Transformasi Diri menarik bagiku. Berangkatlah aku ke Salatiga dengan perjalanan  yang penuh  kemudahan-kemudahan dari Semesta.

Bangun pagi menjelang siang dan bersiap berangkat naik sepeda motor yang rencananya aku titipkan di penitipan, dalam perjalanan naik motor aku berniat dalam hati untuk ikut retret dan terhubung dengan Mas Guru, sudah begitu saja. Berangkatlah aku menuju kota yang aku tuju yang berjarak kurang lebih tiga puluh lima kilometer. Karena terlambat bangun tidur jadi kupacu motor tua agak cepat karena janjian dengan teman yang belum pernah bertemu tatap muka.

Selama perjalanan lampu traffic light perempatan yang aku lewati seperti bersepakat kalau aku lewat akan hijau dan ini sungguh terjadi dan perjalanan lancar sampai tujuan lebih cepat dari waktu yang aku perkirakan. Setelah motor aku titipkan ada bus datang dan aku naik dan langsung berangkat tidak pakai ngetem lagi seperti biasanya. Sampai di tempat pertemuan dengan teman-teman yang baru kali pertama aku kenal pas tepat waktu seperti yang sudah disepakati, dan mereka  baru datang katanya baru datang juga.” Aneh kan?” aku juga merasa begitu hehee..

Dalam perjalanan sempat istirahat dan makan siang saat turun dari pintu tol Salatiga. Sampai di tempat retreat aku seperti orang asing, ya karena baru kali ini ikut retreat dan belum banyak orang yang belum aku kenal dan rasa percaya diri entah kemana.  Sore hari acara pembukaan dengan meditasi penyelarasan, rasa percaya diri berkumpul sama teman-teman pembelajar mulai tumbuh dan malamnya ngobrol dan berkenalan banyak teman, baik muda atau pun lebih tua dari usiaku dan semua berjalan lancar. Di hari kedua  acara Retreat Salatiga ini rasa damai selalu meliputi diriku, dalam salah satu sesi meditasi di punggungku terasa seperti kena strum listrik yang kuat dan baru kali ini aku merasakan seperti itu. sebelum ikut retreat ini Mas Guru di WAG Mahadaya memberikan himbauan untuk meditasi merkaba selama tujuh hari berturut dan saat meditasi itu yang sakit juga punggung bagian tengah yang kena setrum itu. Setelah itu aku tanyakan ke mas guru dan kata beliau itu adalah proses “Pelepasan”. Pelepasan apa aku  tidak tanya lagi, tapi yang pasti aku merasa lebih “Plong” di dada ini. ada sesuatu yang nyesek di dada ini selama ini, dan proses belum selesai dan tuntas tapi sudah berkurang banyak sekali.

Karena banyak konsep dari buku, dan dari siapa pun yang justru membuat trauma yang ada dalam diriku selama ini semakin mengendap. Aku sadar aku punya trauma yang dulu mudah tersinggung, baper, malu, tidak percaya diri dan banyak lagi dan baru aku tahu ini adalah sisi gelap dalam diri dan yang membuatku tidak bertumbuh. Sebagian sudah terlampaui, dan pulang dari Salatiga  merasa menjadi manusia yang bebas merdeka tapi ora ngawur seperti yang dipesankan Mas Guru, dan ini juga belum tuntas seluruhnya.

Perjalanan bersama Mas Guru semakin intens dan aku ingin ikut setiap ada kajian atau workshop dan retreat. Tapi kadang masih itung-itungan soal duit karena ya tinggal ada di tabungan yang semakin menipis saja dan belum ada pendapatan tetap selama plandemi ini.  Tapi ya ada saja teman yang kasih tumpangan, atau pun ada saja duit yang datang tak aku sangka-sangka dari job dadakan selama yang bisa aku kerjakan. Aku ikut kajian ke Jogja bahkan sampai bisa ikut kajian ke Bali itu juga berkat Semesta yang memperkenalkan aku dengan Mas Antoni C. Dwidjanarko Ketua Perkumpulan Pusaka Indonesia Gemahripah (PIG) Jawa Timur dan Mas Dudik, kader Jawa Timur yang akhirnya menjadi “Trimaskentir” karena sering pergi bertiga dan memang kentir juga kalau tau banyak cerita yang tidak masuk akal tapi terjadi.

Terima kasih atas kebersamaan ini dan seterusnya, bersama panjenengan semua aku banyak belajar dan tertular vibrasi kelimpahan yang luar biasa. Pesan mas guru yang sangat berbekas di hati adalah kalau urusan ini “Ora usah kakean mikir, jalan ya jalan saja, ora usah dipikir”.  Itu adalah cambuk yang cukup keras bagi diri ini untuk terus bertumbuh dan itu sering disampaikan dalam acara kajian dan lainnya. Tetap dalam keheningan dan semuanya akan beres dengan sendirinya. Percaya gak percaya terserah urusanmu dhewe he he he. Kalau aku percaya dan yakin akan apa yang disampaikan karena aku sudah mengalami, kalau kita saat ini masih ruwet dalam pikiran nanti begini dan begitu, kemarin begini sekarang kok begitu semoga saja segera tobat karena itu sungguh menyiksa diri dan bisa-bisa malah pengen bunuh diri hehe…

Waktu kajian di Surabaya, Pak Antoni mengajak ke Bali, aku tanya begini begitu dengan pikiran berkata ”tenanan to mas iki?” Jawaban pak ketu’ ”halah gampang, beres wis ra sah di pikir”. Pikirku ya beres gundule kui, piye neh iki aku enaknya dan pikiran mulai ruwet lagi, sisi  gelap yang mewujud pakewuh, sungkan dan sejenisnya muncul lagi. Perjalanan pulang dari Surabaya di kendaraan aku berusaha tetap hening dan sampai rumah aku sempatkan meditasi dengan audio guru dan berpasrah total pada Semesta, apa pun yang terjadi terserah. Dan akhirnya  tertuntun untuk berangkat ke Bali full tim ”trimaskentir”, perjalanan lancar dan semua urusan yang berkaitan dengan syarat masuk ke Bali semua sudah beres dibantu Mbak April salah satu teman pembelajar keheningan juga.

Di Bali sore hari sampai malam acara kajian dan selanjutnya, nongkrong sama teman-teman di salah satu café. Di tempat seperti ini dulu aku tak pernah bisa merasakan nyaman dan tak bisa menikmati sepenuh hati, tapi saat ini sudah berbeda lagi. Kalau sudah dalam keheningan di sini senang di sana senang kayak lagu jadul hehehe..  Hari ketiga dipertemukan dengan semua Tim Jatim yang lanjut berdiskusi seputar sisi gelap yang ada dalam diri masing-masing pembelajar yang hadir. Diskusi yang asik dan tidak biasanya juga aku mau bercerita tentang diriku sendiri, aneh juga menurutku dan memang hal yang aneh bagiku menceritakan kekurangan diri sendiri di hadapan orang lain apalagi banyak yang baru kenal yang didampingi Mbak Irma Sekjen PIG. Tapi dari diskusi malam itu banyak sekali umpan balik yang aku dapat dan  vibrasi ketulusan teman-teman mendukung pertumbuhan diriku ini. Di komunitas ini aku merasa seperti sebagai kakak yang dihargai adik-adiknya, dan menjadi seorang adik yang selalu mendapatkan perlindungan dari kakak-kakaknya, dan menjadi seorang anak yang selalu diperhatikan dengan penuh kasih.

Malam itu juga  berencana untuk pulang ke Surabaya tapi setelah validasi ke Mas Guru belum diijinkan pulang malam itu dan besoknya kami baru pulang. Di perjalanan pulang berenam aku banyak belajar dari pengalaman teman-teman yang konsisten menjalani laku keheningan ini. Banyak transformasi yang teman-teman alami dan itu juga membuat diri ini diingatkan lagi untuk tetap berjalan dengan kesungguhan, telaten, sabar dan bersyukur masih di jalan keheningan ini.

Sebelum pulang dari Bali, Mas Guru sudah menyampaikan kalau akan ada pelatihan di Pendopo Kembangkopi Malang. Perkumpulan Pusaka Indonesia Gemahripah akan mengirimkan sepuluh orang untuk mengikutinya, terhenyak waktu itu aku ingin ikut dan banyak kata “tapi, andaikan, bagaimana?” dan ruwet lagi dan pada akhirnya aku pasrah saja. Dua minggu kemudian saat bangun tidur buka HP ada pesan masuk dari Ketua PIG Jatim kalau aku dapat beasiswa untuk ikut pelatihan di Pendopo Kembangkopi dan ini sungguh hal yang tidak aku sangka karena aku orang baru dan masih banyak kata “tapi” di pikiranku yang ternyata sampah tak berguna. Bisa di bilang “trenyuh” hati ini saat dapat kabar itu, terharu ya bahagia, ya bangga banyak rasa kayak permen nano-nano.  Aku validasi ke Mbak Irma Sekjen PIG  ternyata benar dan jawaban beliau  “Semesta  sayang sama kamu”.  Ini anugrah dan aku tidak sadari bahwa selama ini banyak anugerah karena kebebalan dan kebodohanku sendiri.

Perjalanan demi perjalanan di jalan keheningan ini merupakan kumpulan kepingan puzzle yang belum selesai. Tetap sadar akan nafas yang mengalir dan begitulah kesejatian hidup yang terus mengalir seperti aliran nafas. Tidak tahu datangnya nafas darimana dan tidak pernah tahu ke mana nafas ini berhembus. Menyadari masuk dan keluarnya nafas, hal yang mudah tapi tidak mudah, sepele tapi tak bisa disepelekan. Jalani semua sesuai tuntunan Mas Guru SHD dan Guru Sejati yang ada dalam diri.  Tetap menikmati kekinian, di sini dan saat ini,  nikmati anugrah semesta yang nyata tiada batas.  Salam Merdeka!!!

Penulis: Firsa Enthovin, pembelajar keheningan yang juga kader PIG Jawa Timur.