Skip to main content

Setiap tanggal 20 Mei, kita di Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Peringatan ini menandai awal dari semangat nasionalisme dan perjuangan untuk meraih kemerdekaan Indonesia, yang dimulai dengan berdirinya organisasi Budi Utomo pada tanggal tersebut di tahun 1908. 

Sayangnya, 117 tahun kemudian tepatnya di 20 Mei 2025, Indonesia menyerahkan kedaulatan kesehatannya, yang merupakan sebagian kemerdekaan sebagai bangsa, kepada kekuatan asing. Di tanggal ini, Indonesia secara resmi, melalui Menteri Kesehatan RI menandatangani Perjanjian Pandemi WHO. Dengan kata lain Indonesia masuk perangkap dalam jaringan kesehatan global yang jahat. Siapa dibalik WHO? 80% donor WHO adalah perusahaan dan individu dimana sisanya adalah negara-negara anggota. Bill Gates (BG) adalah penyumbang terbesar WHO selain perusahaan-perusahaan farmasi besar melalui GAVI (Aliansi Vaksin). 1)

Dalam dokumen sebanyak 33 hal “WHO convention, agreement or other international instrument on pandemic prevention, preparedness and response”, tampak sepintas adalah hal yang baik adanya kesepakatan dalam menghadapi pandemi kedepan. Namun ada dua hal setidaknya yang menjadi masalah; kekuasaan WHO sudah tidak lagi sebagai lembaga yang mengatur tapi lembaga yang punya otoritas memerintah begitu terjadi pandemi. Yang kedua adalah kewajiban negara anggota untuk menyerahkan data-data informasi kesehatan warga negaranya ke WHO. 

Yang pertama, disebutkan dalam perjanjian: keputusan WHO salah satunya berdasarkan the “best available science and evidence as the basis for public health decisions for pandemic prevention, preparedness and response.”( ilmu pengetahuan dan bukti terbaik yang tersedia sebagai dasar keputusan kesehatan masyarakat untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi). Padahal kita tahu bagaimana Anthony Fauci dan Bill Gates memperdaya kita dengan alasan “ilmu pengetahuan” dalam plandemi Covid-19 yang lalu. WHO, alih-alih memperbaiki kesalahan dan mereview efektivitas dan kesalahannya dalam memberlakukan “plandemi” malah menguatkan apa yang pernah dilakukan sebelumnya.

Dengan perjanjian ini, WHO (baca Bill Gates dan teman-temannya) mempunyai landasan hukum yang disepakati banyak negara untuk melakukan apa yang pernah dilakukan WHO sebelumnya dalam menghadapi Covid-10 seperti lockdown, vaksinasi yang tidak aman, dan sebagainya. 

Dalam dokumen perjanjian disebutkan juga tentang pembuatan “pandemic related health products” (baca vaksin) harus mendapat izin dari WHO. Ini menjadi masalah karena WHO  jelas-jelas mengijinkan vaksin mRNA yang berbahaya 2). Negara sudah tidak lagi punya hak menentukan vaksin tertentu berbahaya atau tidak, asalkan WHO setuju, maka harus diterima oleh negara dalam perjanjian tersebut. Padahal dengan kita tahu siapa pendonor besar WHO, maka adalah wajar yang diutamakan adalah kepentingan keuntungan segelintir orang, tidak penting berbahaya atau tidak.

Yang kedua, dinyatakan dalam perjanjian ini: setiap negara harus mengikuti “Pathogen Access and Benefit-Sharing System (PABS)” atau  Sistem Akses Patogen dan Pembagian Manfaat. Artinya setiap negara harus menyerahkan data-data penduduknya untuk dikirim ke WHO dan kemudian diteruskan ke perusahaan-perusahaan farmasi besar. Siapa yang dapat untung? Yang pasti perusahaan farmasi. Negara yang mengirimkan data tidak disebutkan bagaimana mendapat manfaatnya. Malah mungkin penduduknya akan menjadi “kelinci percobaan” seperti kasus TBC di Indonesia saat ini. 

Adalagi sebenarnya yang sebelumnya sudah lama ada di meja WHO dan masuk menjadi kesepakatan perjanjian adalah “One Health Approach”. WHO menyatakan bahwa kebijakan kesehatan tidak hanya masalah kesehatan manusia tapi juga berhubungan dengan binatang dan tanaman. Artinya wewenang WHO tidak lagi pada kesehatan manusia tapi juga pada binatang dan tanaman, yang kemudian dihubungkan dengan “perubahan iklim” Jadi pelan-pelan, WHO menjadi organisasi internasional yang akan mengatur tidak hanya kesehatan manusia tapi juga mengatur urusan binatang dan tanaman, dengan alasan berakibat pada kesehatan manusia. Tapi ini seperti memberikan kewenangan lebih besar pada WHO untuk mengurusi manusia dunia. 3)

Antitesanya adalah, di tanggal yang sama, Amerika Serikat (AS), melalui Menteri Kesehatan RFK Jr, mengumumkan hal yang sangat berbeda. Kennedy mengkritik WHO karena dipengaruhi oleh kepentingan korporat, khususnya perusahaan farmasi, dan karena membiarkan agenda politik, seperti ideologi gender, membayangi misi utamanya yaitu promosi dan keamanan kesehatan. WHO, menurutnya secara nyata gagal dalam mengatasi plandemi Covid-19 dengan tidak mengedepankan transparansi dan pengaturan yang adil. Setiap negara seharusnya mempunyai kedaulatan atas kesehatan rakyatnya dan bukan diambil alih oleh organisasi trans-nasional dan kepentingan korporasi. 

AS bermaksud untuk mendefinisikan ulang kerja sama kesehatan global dengan berfokus pada kesiapsiagaan pandemi dan penanganan penyakit kronis, yang menurut Kennedy diabaikan oleh kerangka kerja WHO saat ini. Seperti misalnya WHO seharusnya menghimbau pengurangan konsumsi “Ultra Processed Food” (UPF) yang berbahaya dan mengkampanyekan hidup sehat yang akan meningkatkan sistem kekebalan tubuh. 

RFK Jr berupaya mengajak bekerja sama dengan negara-negara yang memiliki pemikiran serupa untuk mendirikan lembaga kesehatan yang BARU, lebih efisien, dan transparan, bebas dari apa yang dijelaskan Kennedy sebagai pengaruh korup dari perusahaan farmasi dan negara-negara yang tidak bertanggung-jawab atau melalui NGO-NGO perpanjangan tangannya. 4)

Sayangnya, kita hanya bisa berandai-andai bahwa Indonesia mengikuti ajakan RFK Jr. 

Bagaimana menurut anda?

 

Eko Nugroho
Wakil Ketua Umum Pusaka Indonesia

 

Sumber:

  1. https://x.com/KLVeritas/status/1724636665879081134
  2. https://x.com/McCulloughFund/status/1916206608046006338 https://x.com/Censored4sure/status/1808311486500024528 https://x.com/VigilantFox/status/1910671175035863412
  3. https://x.com/FreyjaTarte/status/1784178224462704750
  4. https://www.facebook.com/share/v/1C45kn6NQw/