Skip to main content

Di tataran global, Indonesia dikenal sebagai negara dengan hutan hujan tropis terluas di dunia dengan keanekaragaman hayati terbanyak kedua di dunia.1 Ironisnya, Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan tingkat laju deforestasi (berkurangnya hutan) tertinggi ketiga di dunia.2 Salah satu penyebab utamanya adalah karena perluasan perkebunan, termasuk kebun sawit. 

Tentu ini akan memunculkan pertanyaan: apa buruknya kebun sawit? Bukankah sama-sama tumbuhan yang bermanfaat bagi makhluk hidup lainnya? Pertanyaan ini valid dan sah. Namun, jika dicermati lebih dalam, perkebunan sawit bisa menjadi ancaman bagi keanekaragaman hayati (biodiversitas). Kebun sawit menciptakan karakter lahan yang monokultur dan belum tentu cocok dengan ekosistem yang dijadikan area kebun sawit tersebut. 

Sudah banyak temuan di Indonesia bahwa alih fungsi lahan hutan menjadi lahan perkebunan menimbulkan dampak buruk di wilayah tersebut. Sebagai contoh,3 hutan di Jambi pada periode 1990-2010 berkurang 25%, sementara kebun sawit meningkat 54%. Dalam kurun waktu yang sama, kenaikan permukaan air Sungai Tembesi di Jambi pun meningkat 0,12 meter per tahun pada musim hujan. Alhasil, tidak mengherankan jika intensitas banjir semakin meningkat di wilayah sekitar sungai tersebut. Belum lagi adanya masalah tanah longsor yang semakin rentan. Inilah yang menjadi bukti mengapa keanekaragaman hayati itu penting. 

Jika demikian, mengapa kebun kelapa sawit dikembangkan secara masif? Mari kita melihat sekilas tentang awal mula perkembangan industri kelapa sawit di Indonesia. Perkebunan kelapa sawit menjadi industri dimulai sekitar tahun 1970 an ketika perkebunan milik negara maupun swasta mulai bermitra dengan petani dan membentuk Perusahaan Inti Rakyat (PIR) guna menjembatani kesenjangan lahan yang dimiliki oleh perusahaan besar dan perkebunan rakyat. Tujuannya pun baik: meningkatkan ekonomi masyarakat setempat.4

PIR ini menjadi momentum adanya lonjakan perkembangan industri sawit. Pada tahun 1980, luas perkebunan sawit sebesar 300.000 hektar, meningkat menjadi 11,6 juta hektar di tahun 2016 (sekitar 40%). Produksi minyak sawit pun juga meningkat dari 700.000-ton menjadi 33,5 juta ton (sekitar 48%) pada periode yang sama.5 Perkembangan ini menjadikan Indonesia menjadi industri sawit terbesar di Asia Tenggara bahkan dunia, menyaingi Malaysia yang sempat unggul di tahun 1980.

Sayangnya, pengembangan industri kelapa sawit bukanlah tanpa masalah. Pertama, perkebunan sawit merupakan lahan yang lukratif sehingga rentan menjadi arena untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Tidak dipungkiri bahwa industri sawit memang memberikan manfaat ekonomi yang besar. Rata-rata ekspor tahunan minyak sawit Indonesia (crude palm oil/CPO) sekitar USD 1,5 miliar – USD 2 miliar, menyumbang hingga 10% dari ekspor non-migas.6 Selain itu, industri sawit juga berkembang seiring dengan adanya potensi peningkatan permintaan pasar (demand) terhadap minyak sawit sekitar 1,7% per tahun hingga 2050.7 Peningkatan ini turut disebabkan karena sawit telah banyak digunakan sebagai bahan baku untuk biofuel  – bahan bakar yang ramah lingkungan.

Dengan adanya keuntungan yang sangat besar dan potensi pasar yang terus berkembang di masa mendatang, tidak mengherankan jika industri sawit semakin menjamur. Bahkan, tidak sedikit pihak yang menyalahgunakan peluang tersebut untuk keuntungan pribadi. Baru-baru ini, sejumlah media masih memberitakan adanya isu pengembangan kebun kelapa sawit yang mengambil lahan kawasan hutan lindung di Riau8 dan di Bangka Belitung9 – contoh konkret adanya aktivitas illegal tersebut.

Kedua, industri sawit juga tidak terlepas dari isu kesejahteraan yang kompleks. Berbagai macam masalah yang melibatkan petani juga masih marak. Skema kemitraan PIR dengan pembagian lahan milik perusahaan (lahan inti) dan milik rakyat (lahan plasma) yang mengupayakan agar 80% lahan dimiliki rakyat tidak berjalan; pada praktiknya hanya 20% yang menjadi lahan plasma, bahkan kurang dari itu.10 Belum lagi soal keuntungan. Ketika perusahaan konglomerat sawit bisa memperoleh miliaran rupiah, petani sawit lahan plasma hanya memperoleh keuntungan hanya sekitar 2-6 juta rupiah.11

Masalah lainnya juga terlihat dari status kepemilikan lahan. Tidak sedikit petani sawit yang belum memiliki sertifikat tanah sehingga sulit memperoleh pendanaan dari bank untuk keperluan produksi. Alhasil, petani banyak bergantung pada pembiayaan informal dengan bunga tinggi sehingga petani berisiko untuk terjebak cicilan/utang.12 Sebagai contoh, koperasi plasma Teluk Bakung, Sumatera Utara, tercatat jumlah utang petani mencapai Rp 93 juta per hektar, sama halnya dengan di koperasi plasma Bulungan, Kalimantan Utara, yang mencapai Rp 67 juta per hektar.13 Singkatnya, dengan pendapatan yang kecil dan utang yang besar, tidak mengherankan jika isu kesejahteraan dalam industri sawit masih merajalela.

Dengan adanya dampak lingkungan yang ditimbulkan serta polemik dalam industri sawit itu sendiri, perlu secara bijak bagaimana kita menyikapi fenomena perkebunan kelapa sawit. Permasalahan bukanlah pada tanaman sawit yang juga memberikan manfaat, melainkan pada pengelolaan dan pengembangan industri sawit tersebut demi tercapainya kepentingan segelintir pihak. Para pemegang kekuasaan dan pemilik modal tentunya turut bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah tersebut agar alam dan rakyat tidak terus-menerus menjadi “tumbal” bagi kepentingan ekonomi semata. 

 

I Made Diangga Adika Karang
Wakil Ketua Bidang Riset dan Kajian Pusaka Indonesia

Daftar referensi:

  1. https://www.cbd.int/countries/profile?country=id
  2. Laju deforestasi Indonesia mencapai 650 kha/tahun, setelah Brazil (1,7 juta ha/tahun) dan India (668 kha/tahun) https://www.globalforestwatch.org/dashboards/global/?category=forest-change
  3. https://nationalgeographic.grid.id/read/132514796/penyebab-banjir-beralihnya-lahan-hutan-menjadi-kebun-sawit-dan-karet?page=all
  4. https://infoaspekpir.com/sejarah-pir/
  5. https://gapki.id/en/news/2020/04/23/the-recent-development-of-the-indonesian-palm-oil-industry/
  6. https://www.bps.go.id/id/statistics-table/1/MTAyNiMx/ekspor-minyak-kelapa-sawit-menurut-negara-tujuan-utama–2012-2022.html
  7. https://gapki.id/en/news/2025/02/26/half-of-global-population-rely-on-palm-oil-as-food-source/
  8. https://news.detik.com/berita/d-7958291/satgas-pkh-temukan-kebun-sawit-ilegal-di-taman-nasional-tesso-nilo-riau
  9. https://news.detik.com/berita/d-7958291/satgas-pkh-temukan-kebun-sawit-ilegal-di-taman-nasional-tesso-nilo-riau
  10. https://www.bbc.com/indonesia/dunia-61519343
  11. https://kumparan.com/21-503-nathanael-sihombing/plasma-kelapa-sawit-perkebunan-rakyat-dengan-skema-kemitraan-yang-eksploitatif-22gCTVVCoyx/full
  12. https://kumparan.com/21-503-nathanael-sihombing/plasma-kelapa-sawit-perkebunan-rakyat-dengan-skema-kemitraan-yang-eksploitatif-22gCTVVCoyx/full
  13. https://www.bbc.com/indonesia/dunia-61519343

Sumber foto: Mongabay