Dr. Bryan Ardis, adalah seorang pensiunan Chiropractor, akupunturis dan nutrisionis, yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan dalam pelayanan kesehatan. Di tengah dominasi pengobatan kedokteran modern, ia mengusung konsep penyembuhan alami dan holistik. Dalam suatu wawancara di kanal YouTube1, ia menceritakan penemuan terbaru tentang Covid-19 yang ditulis dalam bukunya, Moving Beyond The Covid-19 Lies; Restoring Health and Hope for Humanity.2
Informasi yang kita ketahui sejauh ini tentang Covid-19, bahwa Virus Sars-Cov-2 penyebab Covid-19 berasal dari kelelawar, penyebaran virus sars-Cov-2 adalah melalui udara (airborne transmission), dan vaksin Covid-19 adalah jenis vaksin mRNA. Benarkah demikian? Investigasi Dr. Bryan Ardis membawa pada sejumlah fakta yang mengejutkan tentang etiologi (penyebab penyakit), medikasi (pengobatan), dan vaksin (pencegahan) Covid-19.
1. Etiologi Covid-19
Yang kita ketahui:
Etiologi Covid-19 adalah virus dengan nama spesies Severe Acute Respiratory Syndrome Corona 2 Virus, atau virus SARS-Cov-2. Virus berbentuk spike glikoprotein, seperti gambaran mahkota (corona).3 Narasi yang berkembang saat ini, bahwa virus ini berasal dari kebocoran lab di Wuhan, China, dan juga bahwa virus ini berasal dari kelelawar.
Temuan Dr. Ardis:
Berdasarkan artikel penelitian Wei Ji, dkk tertanggal 17 Januari 2020, ditemukan bahwa Covid-19 berasal dari dua jenis ular, bukan kelelawar, seperti yang dipikirkan sebelumnya. Jenis ular tersebut adalah Ular Krait Cina dan Ular King Cobra Cina.4
Penelitian dari Perancis juga menemukan hal yang sama. Melalui pengujian DNA, para ilmuwan Perancis membuktikan bahwa spike protein ini tidak berasal dari kelelawar, tetapi berasal dari bisa king Cobra dan bungaro toksin dari ular Krait Cina. Kedua protein ini dikenal sebagai protein racun neurotoksin.
Media arus utama, kedokteran konvensional, dan lembaga kesehatan federal di seluruh dunia memberikan informasi yang salah. Menyembunyikan asal-usul Covid-19 yang sebenarnya yaitu ular. Karena dokter-dokter di seluruh dunia tahu bagaimana merawat korban gigitan ular. Sebenarnya tidak diperlukan terapi vaksin untuk menyembuhkan seseorang dari Covid-19.
2. Medikasi Covid-19
Yang kita ketahui:
Menurut website CDC, terapi covid-19 menggunakan obat antiviral Paxlovid, Remdesivir, dan Molnupiravir.⁵
Temuan Dr. Ardis:
Berdasarkan penelusuran Dr. Ardis di tahun 2020, kala itu di website CDC masih menuliskan keterangan: perawatan untuk pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit menggunakan obat anti-virus eksperimental Remdesivir. Protokol yang diterapkan bernama: “Protokol Rumah Sakit Covid-19 Dr. Anthony Fauci”.³
Mengapa mereka menggunakan obat antiviral eksperimental untuk Covid daripada obat yang disetujui FDA? Klaim pertama oleh Fauci adalah bahwa Remdesivir ditemukan “aman dan efektif” terhadap virus Ebola dalam uji coba obat eksperimental satu tahun, di Afrika pada tahun 2019.⁷ Dari semua obat yang diuji, hanya satu yang menyebabkan kematian lebih dari 90 orang dan menghasilkan tingkat kematian 53,1%. Obat yang paling mematikan adalah Remdesivir. Remdesivir memiliki persentase kematian tertinggi di antara semua obat. Sedangkan angka kematian (tingkat kematian) dari Ebola, di seluruh dunia adalah 50%. Obat Remdesivir memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi daripada penyakit Ebola. Remdesivir TIDAK ditemukan ‘aman dan efektif’ terhadap Ebola, bahkan, obat ini yang paling mematikan dan paling beracun di antara semua obat yang diuji.2
Studi Remdesivir kedua, dilakukan dari Januari 2020 hingga Maret 2020. Penelitian didanai, ditulis, dan dipublikasikan studinya sendiri oleh penelitinya, Gilead. Mereka menerbitkan hasil percobaan terhadap manusia, yang berlangsung selama tiga bulan.
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 32 orang (60%) melaporkan kejadian efek samping ringan selama pemantauan. Kejadian efek samping yang paling umum adalah peningkatan enzim hati (kerusakan hati), diare, ruam, gangguan renal (kerusakan ginjal), dan hipotensi (tekanan darah yang menurun). Sebanyak 12 orang (23%) mengalami kejadian serius (efek samping yang mengancam jiwa). Efek samping serius yang paling umum adalah sindrom disfungsi organ ganda (beberapa organ dalam tubuh mengalami kerusakan secara bersamaan), syok septik, CEDERA GINJAL AKUT, dan hipotensi.2
Mengingat kembali pada masa pandemi Covid-19, banyak penderita yang mengalami gagal ginjal dan harus cuci darah. Hal ini disebabkan oleh efek samping obat yang dikonsumsi pasien.
3. Vaksin Covid-19
Yang kita ketahui:
Vaksin Covid-19 adalah vaksin yang menggunakan metode mRNA. Vaksin ini menggunakan materi genetik dari virus corona yang berguna untuk menghasilkan antibodi dengan cara memberikan instruksi pada sel-sel di tubuh.⁸
Temuan Dr. Ardis:
Para ilmuwan yang menemukan vaksin Covid-19 berbasis mRNA adalah Katalin Kariko dan Drew Weissman. Atas pencapaian itu, mereka dianugerahi Hadiah Nobel dalam bidang Kedokteran pada bulan Oktober 2023.⁹ Teknologi mRNA mereka, digunakan untuk membuat vaksin Pfizer dan Moderna untuk Covid-19. Dua ilmuwan pemenang Hadiah Nobel ini, memiliki komponen racun ular yang terdaftar di setiap makalah penelitian, mulai dari 2009 hingga 2020, dalam injeksi mereka.
Institut Kesehatan Nasional (NIH) mendanai penelitian ini untuk membuat suntikan terapi gen mRNA yang mengandung racun ular fosfodiesterase di dalamnya. Racun ular fosfodiesterase memiliki beberapa peran, termasuk agregasi trombosit (pembekuan darah!), yang dapat menyebabkan kematian dan kecacatan pada serangan jantung dan stroke!
Mereka mulai membuat vaksin yang akan “menyuntikkan instruksi” ke dalam sel-sel Anda, instruksi untuk menghasilkan protein permukaan virus, yang disebut spike protein. Instruksi-instruksi yang ada dalam vaksin, disebut plasmid DNA.
Jika pasien semakin parah setelah suntikan mRNA Covid atau meninggal segera setelah itu, studi ini secara harfiah menjelaskan apa yang terjadi. Plasmid dalam dua suntikan mRNA terpisah untuk Covid digunakan untuk menginstruksikan tubuh manusia untuk memproduksi mRNA cobratoxin dan protein mRNA racun lainnya.
Mereka tahu bahwa banyak manusia kemungkinan akan meninggal dalam beberapa jam jika KEDUA suntikan mRNA plasmid DNA Covid-19 diberikan secara bersamaan, seperti yang terjadi pada tikus dalam studi ini. Mereka sudah tahu bahwa mereka harus memberikan dua suntikan berbeda dengan dua plasmid DNA berbeda untuk Covid. Terlalu berisiko untuk memberikan keduanya pada saat yang sama. Mereka memberi jarak dua minggu antara suntikan mRNA pertama dan kedua untuk Covid, dan hanya setelah suntikan kedua seseorang akan dianggap “sepenuhnya divaksinasi.”
Ini adalah gambaran mekanisme gain of function virus SARS-CoV-2 atau bahkan vaksin Covid. Mereka tidak menerima penghargaan untuk menyembuhkan kanker. Mereka dianugerahi Hadiah Nobel di bidang kedokteran karena menemukan bahwa racun ular menyebabkan peningkatan kanker dan laju pertumbuhan tumor pada manusia dan hewan.
Bukan suatu kebetulan jika sejak masa pandemi, telah dimulai pembangunan rumah sakit pusat kanker atau penambahan fasilitas perawatan kanker di berbagai tempat di Indonesia. Seperti di RS Kanker Dharmais Jakarta, dan lima rumah sakit lainnya, yaitu RSUP Persahabatan Jakarta, RSUP Dr Hasan Sadikin Jawa Barat, RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, dan RSUP Prof.dr. I.G.N.G Ngoerah Bali.10
Natalia Puri Handayani
Ketua Bidang Riset dan Kajian Pusaka Indonesia
Daftar Referensi:
- https://www.youtube.com/watch?v=j0WLJuJr7CI
- Ardis B. Moving Beyond The Covid-19 Lies; Restoring Health and Hope for Humanity. First Edition. Harvest Creek Publishing & Design; 2024.
- https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-infeksi/coronavirus-disease-2019-covid-19/etiologi
- Wei Ji, et al. Cross-species transmission of the newly identified coronavirus 2019-nCoV. Journal of Medical Virology. 2020; 92(4):433-440 https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/jmv.25682
- https://www.cdc.gov/covid/treatment/index.html
- Changeux JP, et al. A nicotinic hypothesis fr Covid-19 with preventive and therapeutic implications. Comptes Rendus Biologies. 2020 Jun 5;343(1):33-39. doi:10.5802/crbiol.8 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32720486/
- Mulangu S, et al. A Randomized, controlled trial of Ebola Virus Disease Therapeutics. The New England Journal of Medicine. 2019;12;381(24):2293-2303 https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMoa1910993
- https://www.halodoc.com/artikel/vaksinasi-covid-19-tujuan-jenis-dan-prosedur
- https://penntoday.upenn.edu/news/katalin-kariko-and-drew-weissman-penns-historic-mrna-vaccine-research-team-win-2023-nobel
- https://biz.kompas.com/read/2022/11/18/174422528/hadirkan-woman-and-child-cancer-care-building-rs-kanker-dharmais-siap-jadi-pusat
Sumber foto: