Skip to main content

Pada Jumat, 28 Februari 2025 lalu, PT Sritex diputuskan oleh hakim Pengadilan Negeri Semarang tidak lagi memungkinkan melanjutkan usahanya dan dinyatakan insolvensi. Insolvensi ini disebabkan karena PT Sritex tidak bisa lagi membayar utang-utangnya. “Going Concern” atau kelanjutan usaha tidak lagi memungkinkan bagi PT Sritex. Salah satu tim kurator menyatakan bahwa PT. Sritex tidak lagi memiliki modal kerja sementara pemasukan dari penjualan sangat terbatas. Di sisi lain biaya terus harus dibayarkan seperti listrik dan gaji pegawai. Akibatnya, PT Sritex harus mem-PHK 8.400 karyawannya.

Sebelumnya, PT Sritex pernah diajukan pailit juga tapi berhasil mencapai kesepakatan dengan kreditur dengan memperpanjang masa pembayaran cicilan (homologasi). Hanya kesempatan ini tidak bisa dimanfaatkan dengan baik, PT Sritex tetap tidak bisa membuahkan pendapatan yang cukup untuk menutup utang-utangnya.

Ada beberapa faktor penyebab internal dan eksternal yang akhirnya membuat PT Sritex dipailitkan:

Internal (Kesalahan Manajemen)

Kesalahan Investasi

Sebagai contoh, alih-alih melakukan penghematan biaya dengan memproduksi benang sendiri, PT Sritex harus merelakan Rp 7 triliun hangus karena salah investasi. PT Sritex berinisiatif untuk membuat benang dengan bahan dasar rayon. Memang biaya produksi benang dari rayon di atas kertas lebih murah dari kapas. Namun PT Sritex tidak mengintegrasikan biaya inputnya dengan baik. Pemilihan lokasi pabrik di Sukoharjo, perbatasan dengan Wonogiri menjadikan biaya tambahan untuk mengirim rayon (bahan baku) dan batubara dari pelabuhan Semarang ke Sukoharjo (sebagai pembangkit listrik). Rayon yang berasal dari pulp sendiri bisa bersaing harganya bila pabrik berada di sekitar tempat produksi dan biasanya dibarengi dengan memiliki hutan sendiri agar terjamin ongkos produksinya. Apa yang dilakukan PT Sritex dengan membangun pabrik benang dari rayon di Sukoharjo jelas tidak dilakukan dengan rencana yang saksama. Ditambah lagi pemilihan alat-alat pabrik dari China yang kurang andal dan tidak memiliki kemampuan memperbaikinya dengan baik. Selain ketidakmampuan mengelola limbah yang menjadikan PT Sritex bentrok dengan masyarakat sekitar Sukoharjo.

Gagal meningkatkan penjualan

Melihat laporan keuangan PT Sritex sejak tahun 2021, angka penjualan terus menurun, US$ 847,000 (2021), $525,000 (2022), $325,000 (2023) dan $200,000 (September 2024). Tidak hanya itu, di setiap penjualan yang dilaporkan di laporan keuangan tahun-tahun tersebut, HPP nya lebih tinggi. Sehingga, alih-alih mendapat pendapatan untuk menutup utang, malah rugi brutonya bertambah yang tentunya semakin menambah kerugian bersihnya.

Kesalahan pengelolaan utang

Menurut laporan interim September 2024, PT Sritex memiliki utang total US$ 1,6 milyar dibanding ekuitas yang negatif US$1 milyar. Penambahan utang ini dilakukan sejak tahun 2016 ($350 juta), 2017 ($150 juta), 2019 ($575 juta). Sebenarnya penambahan utang adalah bagian dari kredibilitas baik PT Sritex. Namun utang ini gagal untuk dijadikan modal untuk mendongkrak penjualan. Lima kreditur bank terbesar PT Sritex adalah Bank BCA (sekitar $71,3 juta), State Bank of India, Singapore (sekitar $43,9 juta), Bank QNB Indonesia (sekitar $36,9 juta), Citibank NA ($35 juta) dan Bank Mizuho Indonesia ($33,7 juta). Melihat bank-bank ini, sebenarnya saat itu Sritex dalam kondisi keuangan yang baik.

 Eksternal

  • Plandemi tahun 2020 menjadikan penjualan PT Sritex semakin menurun. Di tahun 2019 dan 2020, PT Sritex masih bisa membukukan laba kotor positif $235 juta (2019) dan $227 juta (2020) setelahnya laba kotornya menjadi negatif (lihat di atas). Tahun 2020, PT Sritex masih bertahan karena permintaan dalam negeri yang masih tinggi dan pelabuhan China masih ditutup.
  • Kebijakan pemerintah yang tidak kondusif terhadap industri tekstil di Indonesia, yakni kebijakan kenaikan upah minimum yang sepihak dilakukan pemerintah sebesar 6,5% untuk tahun 2025, (sebagai upaya terima kasih pemerintahan Prabowo yang memenangkan pemilu) menjadikan industri tekstil dalam negeri semakin kesulitan mempertahankan biaya produksi. Industri tekstil sangat sensitif terhadap kenaikan upah minimum karena bersaing dengan negara seperti Bangladesh, Vietnam yang memiliki biaya relatif rendah. Upah minimum yang naik akan menaikkan “upah sundulan” (upah di atas upah minimum) yang semakin membebani perusahaan tekstil.
  • Impor dari China yang tidak bisa dibendung oleh pemerintah juga karena sarat kepentingan politik. Impor legal dan impor ilegal membanjiri pasar Indonesia menjadikan tidak hanya Sritex tapi juga pabrik tekstil lain gulung tikar. Sejak kuartal II 2022 sampai Nov 2024, sudah 29 perusahaan tekstil tutup dan harus mem-PHK lebih dari 50,000 karyawan. Memang rakyat diuntungkan oleh harga murah tekstil dari China (yang melakukan dumping atau harganya diturunkan) tapi dampaknya Indonesia kehilangan industrinya dan meningkatnya pengangguran.

Pemerintah lebih mengakomodasi rencana perusahaan asal China yang akan membangun pabrik di Kertajati, Majalengka, Jawa Barat daripada menyelamatkan PT Sritex. Mungkin perusahaan asal China ini tidak lagi perlu membangun pabrik baru tapi cukup membeli PT Sritex dari kurator dengan harga yang jauh lebih murah.

PT. Sritex sudah tutup. Pembayaran pesangon pegawai menunggu penjualan asetnya tuntas. Terlepas dari mis-manajemen yang dilakukan PT. Sritex, seyogyanya pemerintah lebih terkoordinasi dalam kebijakannya. Satu pejabat bilang, ”Selamatkan Sritex,” yang lain bilang, “Buka impor tekstil dan biarkan China membangun pabrik di Indonesia.” Atau mereka hanya kelihatan berbeda di hadapan publik tapi sebenarnya mendapatkan keuntungan dari kepailitan PT Sritex?

 

Eko Nugroho
Wakil Ketua Umum Pusaka Indonesia