Sebagian besar dari kita sudah tidak asing dengan jargon pemanasan global, perubahan iklim, gerakan bahwa Bumi ini dalam situasi kritis sehingga kita perlu mengubah cara hidup kita. Sebuah film dokumenter dengan judul: “Climate: The Movie (The Cold Truth)” layak ditonton untuk melihat sisi lain dari jargon atau propaganda tentang pemanasan global. Film ini dibuka dengan inti narasi yaitu: bahwa paham pemanasan global telah menjadi industri global dengan nilai triliunan US$. Isu ini menjadi kepentingan segelintir orang dengan mendapat pendanaan pemerintah yang besar, cerita tentang korupsi sains, intimidasi dan perundungan (bullying) bagi mereka yang menentang paham krisis pemanasan global, dan serangan terhadap kebebasan individual.
Film ini diawali dengan pendapat ahli sains terkemuka, bahwa tidak ada dasar yang kuat mengatakan adanya perubahan iklim saat ini. Mereka menyebutnya “climate change denier” (penolak perubahan iklim). Mereka ini professor yang sudah “sepuh” yang tidak lagi takut kehilangan pendapatan atau pekerjaan karena berani berpendapat nyempal. Sebagian masih menjadi profesor di universitas karena tak mungkin dipecat, pemenang Nobel atau akhirnya meninggalkan universitas menjadi peneliti independen karena universitas atau pemerintah karena menghentikan pendanaannya. Ada juga pendapat dari co-founder organisasi lingkungan Greenpeace.
Penganut paham pemanasan global mengatakan bahwa dunia ini dalam bahaya karena kenaikan suhu global di bumi ini. Pernyataan ini dibantah oleh para “denier” dengan mengatakan bahwa, kalau melihat suhu bumi sejak 500 juta tahun yang lalu, saat ini kita sebenarnya berada di siklus cuaca dingin. Bumi pernah jauh lebih panas dari sekarang ini. Mamalia mulai ada di bumi sekitar 50 juta tahun yang lalu, atau saat bumi jauh lebih panas dari saat ini. Dari data yang dikumpulkan di London, sejak tahun 1700an kenaikan suhu di tahun 2020 hanya 1 °C. Para pendukung perubahan iklim menggunakan data sejak 1880 yang menunjukkan kenaikan suhu 2 °C dan dijadikan sebagai alasan terjadinya pemanasan global.
Baca juga: W.R. SUPRATMAN : Nada yang Menyatukan Bangsa
Menurut para “denier”, kenaikan suhu ini bukan karena kenaikan suhu global tapi akibat dari apa yang disebut efek Urban Heat Island (UHI), atau di tempat di mana manusia semakin banyak tinggal dan aktivitas ekonomi naik, maka suhu di lingkungan itu cenderung naik. Menggunakan termometer di London yang dulu di pinggir kota, sekarang sudah termasuk di dalam kota yang dipengaruhi oleh UHI yang bisa menaikkan suhu sampai 5 °C. Kota Paris 5 °C lebih panas dari daerah sekitar kota Paris. Fenomena ini terjadi ada hampir di semua kota besar dunia. Jadi kalau termometer di London hanya naik 2 °C, sebenarnya malah ada penurunan suhu, bukan pemanasan global.
Prof Willie Soon (kelahiran Malaysia yang dalam wawancara dengan Tucker Carlson menjelaskan dengan detail kesalahpahaman perubahan iklim), kalau menggunakan data termometer di “desa” maka yang terjadi bukan kenaikan suhu yang naik secara eksponensial (kenaikan drastis), tapi naik dan turun. Naik dari 1880 sampai puncaknya di tahun 1940 dan turun di dasar tahun 1970 dan naik lagi sekarang. Saat ini temperatur kita tidak beda jauh dengan yang terjadi di tahun 1940. Dan data di desa ini mirip dengan perhitungan suhu di laut. Data independen melalui satelit yang mulai dikumpulkan sejak tahun 1979 juga tidak menunjukkan kenaikan suhu drastis secara eksponensial seperti dipromosikan para penganut faham pemanasan global. Data yang digunakan penganut paham pemanasan global menggunakan data yang terkontaminasi oleh UHI, yang tentunya tidak akurat.
Bagian kedua film, menjelaskan tentang kesalahan para penganut paham pemanasan global, yang berpendapat bahwa kenaikan CO2 di atmosfer adalah penyebab pemanasan global. Untuk itu, kita harus mengurangi emisi gas buang, efek rumah kaca dan sebagainya. Seorang “denier” menyelidiki pohon Ginkgo yang sudah tumbuh sejak 270 juta tahun yang lalu. Pohon Ginkgo mempunyai stomata (yang menangkap CO2 untuk fotosintesis) menyesuaikan dengan jumlah CO2 di udara. Dengan menyelidiki jumlah stomata fosil daun Ginkgo, ilmuwan ini bisa memperkirakan berapa level CO2 di atmosfer di suatu masa. Kesimpulannya, saat CO2 tinggi, malah di saat bumi memiliki biodiversitas flora dan fauna di bumi ini. Pengambilan sampel es di kutub memang mengindikasikan adanya hubungan erat antara kadar CO2 dan panas bumi. Tetapi berkebalikan dengan pemahaman yang dinarasikan saat ini: Bukan CO2 yang menyebabkan temperatur Bumi naik, tapi temperatur bumi yang naik yang menyebabkan CO2 naik. Di saat industrialisasi belum seperti sekarang, ternyata suhu bumi di tahun 1930-1940 lebih tinggi. Dan di saat industrialisasi mulai naik (mengakibatkan kenaikan CO2), malah suhu bumi turun (tahun 1970). Jadi mengatakan kenaikan CO2 karena industri mengakibatkan kenaikan suhu global tidak mempunyai pendukung data yang kuat.
Baca juga: Pentingnya Hening Cipta dalam Menyikapi Dinamika Berbangsa dan Bernegara
Menurut para denier, yang lebih menjadi penyebab perubahan iklim adalah awan. Apa penyebab perubahan awan? Menurut peneliti dari Denmark, penyebabnya perubahan iklim secara jangka panjang adalah ledakan Supernova (Matahari lain) jauh di luar Galaksi Bima Sakti yang mengirim partikel-partikel sub atom dan mempengaruhi atmosfer Bumi, serta mempengaruhi pergerakan awan. Ledakan di Matahari mempengaruhi partikel sub atom masuk ke Bumi yang menyebabkan perubahan cuaca. Data menunjukkan bahwa kenaikan suhu di laut berkorelasi kuat dengan aktivitas Matahari. Menurut Prof. Soon, jelas bahwa yang menyebabkan perubahan iklim adalah aktivitas matahari bukan CO2.
Data di AS menunjukkan bahwa temperatur di tahun 1930 lebih tinggi dari sekarang. Kalau dilihat data antara summer dan winter yang terjadi adalah saat winter terjadi sedikit kenaikan suhu. Jadi tidak benar bumi semakin panas, yang terjadi lebih tepatnya musim dingin yang lebih hangat. Lalu bagaimana dengan fenomena kenaikan kebakaran hutan? Ternyata data menunjukkan bahwa kebakaran hutan turun terus sejak tahun 1900-an. Kebakaran hutan di AS yang datanya lebih akurat juga turun sejak tahun 1930. Bagaimana dengan badai yang sering terjadi? Ternyata data di AS tidak menunjukkan kenaikan sejak tahun 1900-an. Malah kecenderungannya turun. Sama dengan melelehnya es di kutub dan kekeringan dunia, sejak 1950 tidak ada perubahan yang signifikan.
Lalu kenapa semua orang jadi panik dengan perubahan iklim? Di tahun 1980, kekhawatiran pemanasan global dimulai oleh Senator Al Gore yang kemudian menjadi wakil presiden. Setelahnya, pemerintah AS menggelontorkan dana besar-besaran (miliaran dolar) untuk riset tentang perubahan iklim. Ilmuwan akan segera mendapat dana riset bila proposalnya ada kata ‘perubahan iklim’. Lucunya jarang yang benar-benar melakukan riset tentang apa benar terjadi perubahan iklim. Saking banyaknya periset tentang perubahan iklim sehingga terjadi “konsensus” bahwa perubahan iklim adalah benar dan nyata. Dan ketika segelintir periset membuktikan tidak ada perubahan iklim, maka dana dihentikan. Sebagian para denier ini mengaku di awal karirnya mereka mengikuti konsensus ini karena membutuhkan dananya. Atau sebagian lagi karena sudah sangat senior dan terkenal jadi berani untuk berseberangan dengan konsensus yang ada. Padahal kebenaran bukan karena konsensus. Kebenaran dapat berdiri sendiri. Bukan karena didukung banyak orang.
Seterusnya kita ketahui tema “pemanasan global” telah menjadi industri besar. Bank-bank mengharuskan perusahaan yang menerima pinjaman harus sesuai dengan ESG (Environment, Social, Governance). Jabatan baru muncul seperti Chief Sustainability Officer, Carbon Offset Officer, ESG Consultant, Climate Compliance Lawyer, dan sebagainya. Ratusan ribu orang jabatannya bergantung pada isu pemanasan global. Bisa dibayangkan yang tadinya ini adalah agenda segelintir orang sekarang menjadi ketergantungan hidup bagi ratusan ribu orang. Tentunya semakin sulit untuk orang-orang yang terlibat di industri ini melihat fakta-fakta lain bukan? Bila ada orang yang punya pendapat berbeda itu sama dengan ancaman hidup bagi para pembela lingkungan ini. Para denier ini akhirnya dicerca, pendanaan dihentikan, jurnalnya disensor, dikucilkan bahkan sulit mendapat pekerjaan (dianggap seperti orang dengan penyakit kusta yang menular). Disinilah dimulainya korupsi sains (hanya pendapat mainstream yang boleh beredar, pendapat denier tidak boleh). Penganut paham pemanasan global sebenarnya sudah “bercerai” dengan fakta sains.
Rupanya fenomena ketakutan atas pemanasan global ini menjadi alasan pemerintah mendapat kewenangan mengontrol rakyatnya. Dengan alasan ini, pemerintah mengatur mobil apa yang bisa dibeli (Electronic Vehicle – EV), lemari es, AC apa yang boleh di produksi (Freon tipe baru), makanan apa yang baik dimakan (daging konon tidak baik sehingga perlu dibuat versi sintetisnya di laboratorium, Lab-Grown Meat), dan banyak lagi. Jadi, ada paradoks para pelaku lingkungan hidup (aktivis hijau) yang katanya pembela umat manusia, sebenarnya malah mendukung upaya pemerintah mengontrol rakyatnya. Istilah “darurat perubahan iklim” sebenarnya menghapus aturan-aturan normal. Kemudian menggantinya dengan aturan yang lebih ketat karena situasi darurat, tidak berbeda jauh saat “lockdown”.
Baca juga: Nilai Ekonomi Pengelolaan Limbah
Para aktivis hijau berpendapat bahwa negara-negara miskin jangan juga maju seperti mereka, karena akan menambah polusi di dunia ini. Tidak perlu ada perbaikan kesehatan, karena itu akan menggunakan bahan bakar fosil yang murah yang tidak ramah lingkungan. Oleh karenanya tidak perlu ada modernisasi di sana. Karena modernisasi identik dengan peningkatan suhu dunia. Jadinya terkesan munafik, aktivis hijau tetap maunya menikmati gaya hidup yang tinggi. Tetapi membiarkan rakyat di Afrika tetap miskin dan hidup dengan kesehatan yang buruk.
Di akhir film diceritakan bahwa rakyat rupanya sudah mulai sadar. Para aktivis hijau ini membuat makanan jadi mahal, mobil mahal, baju juga mahal, traveling jadi mahal. Rakyat Inggris mulai merasa bahwa yang mereka inginkan ini bukan kemewahan tapi kebutuhan, tapi kok semua jadi mahal dan terbatas? Saat aktivis hijau ingin menghentikan kereta (karena dianggap menggunakan bahan bakar fosil), para komuter bukannya memuji malah mencaci-maki dan menarik turun aktivis hijau dari atas kereta. Rupanya pendulum mulai berubah. Politikus yang nyempal mulai mendapat dukungan. Rakyat jelata sekarang tidak hanya skeptis tapi mulai secara positif menyampaikan ketidaksetujuan terhadap slogan darurat iklim.
Eko Nugroho
Wakil Ketua Umum Pusaka Indonesia
Sumber Referensi: https://www.imdb.com/title/tt31851190/mediaviewer/rm1951155457/
Sumber foto: imdb.com




