Skip to main content

Wajah-wajah sumringah dengan senyum mengembang, adalah gambaran pancaran kebahagiaan para wanita Dusun Sembungan, Malanggaten, Kecamatan Kebakkramat, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, yang sedang berkerumun untuk membuat gunungan dari hasil pertanian. Tanpa membedakan agama, umur, dan juga status sosial kaya atau miskin, mereka bekerja sama seakan-akan tanpa sekat, batas, dan tanpa jurang pemisah sosial maupun ekonomi. Pastinya, no kompetisi. Bergotong – royong membersihkan desa, menyiapkan gunungan dan bancakan, lalu membagikan gunungan hasil bumi ke seluruh warga desa. Inilah implikasi karakter Pancasila. 

Tubuh dan kepala lenggut-lenggut mengikuti irama musik campursari, dengan tangan  tetap mengerjakan gunungan. Gunungan dibangun dari sayuran, bunga-bungaan, dan buah-buahan yang dirangkai seindah mungkin. Selain membuat gunungan dari hasil pertanian, dibuat juga seperangkat “bancakan”. Berbagi tugas sesuai kemampuan dan keahliannya masing-masing untuk berkolaborasi membuat sebuah karya. Ya, semua berkarya dalam kegiatan “Dekah Desa”, upacara tradisional yang dilaksanakan setahun sekali, setelah masa panen hasil bumi yang melimpah. 

Dekah Desa berasal dari kata “dekah” dan “desa”. Dekah dari kata sedekah yang berarti memberi secara sukarela (tanpa kepentingan apa pun), berupa harta atau bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Jadi, Dekah Desa adalah sedekah bersama yang dilakukan oleh hampir semua masyarakat yang tinggal di desa tersebut. Kegiatan ini telah dilakukan secara turun temurun dari nenek moyang kita terutama yang tinggal di Jawa Tengah. Meski ada daerah yang telah meninggalkan tradisi ini, masih banyak juga desa yang tetap melestarikan tradisi Dekah Desa sebagai budaya orang Jawa. 

Persiapan Dekah Desa – Foto: Wiwik EM

Dekah Desa juga dapat dimaknai sebagai suatu ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbagi kepada semua makhluk atas karunia Tuhan dalam bentuk panen padi dan hasil pertanian lainnya. Kegiatan Dekah Desa berisikan acara berdoa dan bersukacita atas panen yang telah dialami. Mengucap syukur atas suksesnya panen, atau hari jadi desa tersebut. Apa pun hasil panennya, sebagian akan disedekahkan, baik dalam bentuk olahan makanan maupun masih dalam bentuk bahan mentah, sehingga semua warga bisa menikmati hasil panen meskipun tidak punya sawah.

Acara inti Dekah Desa yang sudah ada secara turun temurun tidak pernah berubah, yaitu acara bancakan dan arak-arakan atau kirab hasil panen, kemudian ada hiburan untuk melepas lelah.  Filosofi bancakan atau kenduri merupakan suatu upacara selamatan dengan sarana yaitu hidangan makanan berupa nasi lengkap dengan lauk pauknya dan prasarana lainnya seperti bunga dan pisang. Semua perlengkapan bancakan ditaruh di atas tikar kemudian dikelilingi oleh para tetua desa untuk berdoa agar seluruh warga diberi keselamatan dan mengucapkan rasa syukur karena telah panen. 

Sarana dan prasarana bancakan antara lain berupa nasi (sego) asahan, nasi golong, sambal goreng kentang, berbagai lauk (ayam panggang, tahu, tempe, peyek, kedelai hitam goreng, bakmi goreng), pisang raja dua sisir, dan bunga telon. Nasi golong adalah nasi yang dibentuk seperti bola sebesar satu kepal tangan orang dewasa. Jumlah nasi golong sebanyak 7 buah. Ternyata filosofi nasi golong adalah adanya golongan atau perwakilan golongan masyarakat yang telah ikut serta dalam upacara bancakan. Sedangkan nasi asahan adalah nasi yang dibentuk seperti bulan purnama, sehingga bentuknya bundar. Filosofi nasi asahan menggambarkan bahwa semua barang yang disedekahkan telah diserahkan secara ikhlas dengan disaksikan oleh perwakilan dari golongan yang turut hadir dalam bancakan tersebut. Bunga dan pisang berfungsi sebagai mandala.

Selama ini kita mengenal gunungan sebagai bagian dari ritual Grebeg Maulud, Grebeg Syawal, dan Grebeg Besar di Keraton Yogyakarta maupun Surakarta. Sebenarnya hampir sama, hanya beda tempat dan penyelenggara. Gunungan adalah kumpulan hasil bumi atau hasil panen warga, baik berupa sayuran, buah-buahan, dan palawija yang disusun seperti gunung, maka disebut gunungan. Gunungan akan diarak mengelilingi desa seperti kegiatan karnaval. Pastinya saat arak-arakan gunungan lewat, para warga sangat bersukacita sambil berjoget mengikuti irama. Setelah selesai diarak maka gunungan yang berupa hasil panen tadi akan menjadi rebutan para warga. Saat rebutan ini membuat suasana jadi seru dan ramai sekali. Ketika menyaksikan upacara ini, penulis merasa sangat senang bahwa tradisi yang dahulu penulis alami sejak masih kecil, sampai sekarang masih dilakukan. Gembira rasanya melihat para warga membaur melaksanakan upacara tradisional dan melestarikan tradisi lokal. 

 

Wiwik Endang Mardiastutik

Kader Pusaka Indonesia Wilayah DKI Jakarta – Banten

sumber foto featured image : https://www.jatimhariini.co.id/