Skip to main content

Batik adalah saksi bisu perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Lewat ragam hias, kombinasi warna, dan desain batik, kita mengetahui berbagai bangsa asing yang pernah menginjakkan kakinya di Nusantara. Peristiwa politik yang terjadi juga dapat diketahui dari adanya pembagian motif batik antara Keraton Yogyakarta dan Solo karena Perjanjian Giyanti di tahun 1755. Adanya perbedaan status sosial masyarakat di masa lalu, juga bisa diketahui dari Batik Keraton dengan pola larangan yang tidak boleh digunakan oleh masyarakat di luar Keraton, kemudian memunculkan Batik Sodagaran yang diproduksi dan dikenakan oleh kaum saudagar, yang notabene kelas di luar keraton. Berlanjut ke era setelah kemerdekaan sampai sekarang, batik menunjukkan eksistensinya dengan terus beradaptasi mengikuti perkembangan zaman.

Pada talkshow Menyingkap Pesona Wastra Indonesia, Sesi 2, yang diadakan pada Sabtu, 2 Maret 2024 lalu di Museum Tekstil, Jakarta Barat, peserta diajak berkenalan dengan tokoh di balik karya dan beragam gaya batik. Bersama narasumber Sri Sintasari Iskandar dan Benny Gratha, para peserta yang terdiri dari para kader Pusaka Indonesia dan masyarakat umum menelusuri evolusi wastra batik dan melihat langsung keindahan batik karya para maestro batik Indonesia. Dalam sesi ini, kedua narasumber menceritakan lembar demi lembar motif batik, pembuatnya, dan cerita di balik karya batik legendaris dari era setelah kemerdekaan. Berikut adalah beberapa di antaranya:

Batik Terang Bulan

Batik Terang Bulan

Bintang Soedibyo (Ibu Soed), selain berkarya sebagai pencipta lagu anak-anak, Ibu Soed adalah salah satu seniman batik yang berkiprah tahun 1950-an. Desain batik Ibu Soed yang terkenal pada masa itu adalah motif Terang Bulan. Dikembangkan oleh Ibu Soed sebagai jawaban dari visi Presiden Soekarno di tahun 1950-an untuk menciptakan batik yang melintasi batas budaya dengan pesan persatuan Indonesia.  Batik dengan gaya Terang Bulan memiliki hiasan yang padat di bagian tepi bawah dan salah satu atau kedua sisinya. Sedangkan bagian tengahnya polos tanpa hiasan atau diberi ragam hias kecil yang menyebar di seluruh badan kain. Batik ini sangat digemari di daerah Priangan, Jawa Barat.

Batik Iwan Tirta

Batik Iwan Tirta

Iwan Tirta adalah salah satu seniman batik yang membawa batik Indonesia ke panggung Internasional di tahun 1970-an. Karyanya banyak yang terinspirasi dari gurunya, Go Tik Swan. Iwan Tirta terkenal dengan desain motif batik klasik yang ukurannya diperbesar. Sejak 1970-an Iwan banyak bereksperimen dengan berbagai media seperti sutera, crepe de chine, dan organza untuk menciptakan batik yang mewah, dengan tetap mempertahankan unsur-unsur tradisional.

 

 

Batik Setiawati dan Tati Suroyo

Batik Setiawati dan Tati Suroyo

Setiawati dan Tati Suroyo adalah kakak beradik yang sama-sama berkarya dalam dunia batik. Batik karya mereka terkenal akan isen-isennya yang memenuhi latar kain, seperti isen galaran, beras mawur, gribigan, galaran brintik, dan isen tradisional lainnya. Tema bunga menjadi pilihan batik mereka, walaupun ada juga tema batik tradisional yang dibuat berwarna-warni dengan versi kekinian. Keduanya mulai berkarya pada tahun 1950-an, dan batik-batik mereka sangat populer di tahun 1970-an.

 

Batik Kanjengan

Batik Kanjengan

Batik asal Wonogiri yang didesain oleh RAy. Praptini Partaningrat, terkenal di tahun 1960-an, bercirikan bledhak (latar putih) dengan retakan atau remekan; garis halus patah-patah, yang terbentuk karena pecahan malam yang sebelum diwarnai sogan merembes ke kain mori. Resep babaran (kombinasi campuran warna) terdiri dari kayu jambal, kulit pohon tingi, dan tegeran. Babaran tersebut dikenal dengan gaya batik Wonogiren. Diberi stempel “Batik Kanjengan” berasal dari sebutan Eyang Kanjeng, ibunda Praptini yang memulai usaha pembatikan keluarga. Sayangnya usaha ini berhenti di tahun 2021, karena tidak ada keluarga yang melanjutkan.

Batik Norma Makarim

Batik Norma Makarim

Norma Makarim belajar membatik secara otodidak dari masa remaja ketika ia tinggal di Pekalongan bersama keluarga besar Makarim. Awalnya ia membuat sarung untuk dijual kepada orang-orang di sekitarnya, tetapi rupanya batiknya diminati juga oleh pendatang dari Jakarta. Melihat peluang ini, Norma kemudian memasarkan batiknya di Jakarta pada tahun 1970-an. Ciri khas batik buatan Norma Makarim terletak pada tata warnanya yang mencolok, menampilkan warna-warna yang kontras. Desain batiknya menggabungkan motif-motif dari Pekalongan dan motif-motif yang mendapat pengaruh Cina. Menurut pengalaman Neneng, ia melihat Ibu Norma Makarim mencampurkan warna tidak menggunakan rasio yang pasti dan juga tidak mencatatnya, hanya berdasarkan feeling. Namun warna yang dihasilkan sangat menarik dan semarak.

 

 

Natalia Puri Handayani

Kader Pusaka Indonesia DKI Jakarta – Banten