Skip to main content

Batik adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang mendunia. Pada tanggal 2 Oktober 2009, UNESCO mengakui batik sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena perjuangan dari para seniman batik yang konsisten berkarya membatik dengan pakem yang sudah diwariskan oleh para pendahulunya. Oleh karena itulah batik dapat tetap lestari hingga saat ini.

Salah satu seniman batik Indonesia yang terkenal adalah Katura. Katura lahir di Cirebon, pada tanggal 15 Desember 1952. Ia adalah seorang maestro Batik Cirebonan. Katura terkenal dengan gaya rawitannya dalam membatik. Membuat batik sendiri bukanlah sesuatu yang asing bagi Katura. Ia mulai belajar membatik sejak usia 11 tahun. Minat dan bakatnya terhadap batik diwarisi dari kedua orang tuanya yang juga pembatik.

Pada tahun 1970-1980, Katura mulai terjun dalam dunia pembatikan, ketika ia bekerja sebagai pembuat pola batik (tukang gambar) pada sebuah perusahaan batik terkenal milik Pak Masina di Cirebon. Berkat ketekunan dan kegigihan Katura dalam memegang prinsip untuk berkarya, batik khas Cirebonan membuatnya di kemudian hari mampu membuka usaha batiknya secara mandiri.

Sanggar Seni di Desa Trusmi

Katura juga membuka sanggar membatik, yang ditujukan bagi setiap mereka yang tertarik untuk mempelajari batik khas Cirebon. Peminat batik Katura berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda, tidak terkecuali kaum generasi muda Indonesia. Sebagian besar muridnya adalah para pelajar SMP dan SMA. Namun demikian, saat ini murid TK pun sudah ada yang belajar membatik. Di sanggar ini, ia mengajarkan secara langsung segala hal berkaitan pembatikan kepada para muridnya. Ia lakukan dengan tujuan agar para muridnya kelak dapat menjadi penerusnya, yang mampu dan handal membuat karya Batik Cirebonan. Hal ini menjadi sebuah bentuk tanda kepedulian Katura dalam melestarikan batik, khususnya Batik Cirebonan.

Selain warga negara Indonesia, ada juga warga negara asing yang tertarik untuk belajar batik Katura. Pada tahun 1987 ada dua dosen seni rupa yang berasal dari Belanda dan Jerman yang belajar seni batik khas Cirebon di Sanggar Seni Katura, di Desa Trusmi, Cirebon. Dari sini mereka mengajak mahasiswanya untuk belajar kepada Katura. Sementara itu di tahun 1990, seorang desainer Jepang yang sedang menempuh program S2 di Institut Teknologi Bandung mengadakan penelitian di Trusmi dan menjadikan Katura sebagai referensi tesisnya. Sang desainer kemudian mengenalkan batik Katura kepada rekan-rekannya di Jepang yang 80% adalah konsumen terbesarnya selama ini.

Batik bagi Katura merupakan seni yang tak bisa dikerjakan dengan terburu-buru. Segalanya harus dipikirkan dengan detail, mulai dari kain, malam, pewarna alam, desain, filosofi hingga prosesnya. Untuk menghasilkan satu kain batik saja prosesnya bisa memakan waktu minimal berkisar antara satu hingga empat bulan, tergantung dari tingkat kerumitannya. Sementara itu dalam membuat sketsa, Katura dibantu oleh keponakannya.

Kritik Sosial

Katura termasuk seniman yang konsisten. Sumber ide karya membatiknya pun cukup luas. Ia menuangkan gambar legenda atau sejarah Cirebon dalam batik pewayangan. Namun demikian, selama puluhan tahun Katura pun telah menggunakan batik sebagai media untuk menyuarakan pesan atau kritik sosial atas berbagai peristiwa besar yang pernah terjadi di tanah air Indonesia. Salah satu karya batiknya yang terkenal berjudul Kroter Kornas, singkatan dari “Kronologis Tertangkapnya Koruptor Nasional”. Motif batik dengan tema besar Negara Indonesia ini menceritakan rangkaian upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam  menangkap koruptor kelas kakap Setya Novanto. Peristiwa tersebut digambarkan pada kain batiknya secara simbolis, berupa seekor burung Garuda yang sedang menangkap binatang tikus yang besar di antara tikus-tikus kecil dalam sebuah negara. Burung Garuda mengandung makna bahwa kekuatan hukum tetap mampu mengalahkan kejahatan (koruptor). Warna merah dipilih sebagai dasar untuk melambangkan keberanian memberantas kejahatan (korupsi). Batik Kroter Kornas memiliki ukuran  70 x 90 cm dan dibuat di atas kain katun Primisima.

Tak hanya Kroter Kornas, karya batik Katura yang bermuatan peristiwa sosial politik lainnya adalah batik dengan motif gunungan besar yang melambangkan kedudukan pemimpin yang diberi tajuk Jokowi-JK. Ketika krisis moneter melanda Indonesia pada tahun 1998, Katura juga membuat batik dengan motif sapi yang menangis menaiki gerobaknya sendiri yang menggambarkan kondisi saat itu sebagai situasi masyarakat yang banyak jadi pengangguran. Pada tahun 2005 di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Katura membuat karya berukuran 9 x 2 meter dengan tajuk Babad Alas Amer. Proses pembuatan batik dengan warna dasar putih ini memakan waktu delapan bulan dengan melibatkan 17 pembatik.

Katura juga dikenal sebagai seniman batik bergaya khas Cirebonan. Karya batiknya yang dikenal oleh masyarakat di antaranya adalah Megamendung, Sumping Karna, Kereta Kencana, Paksi Nagaliman, Taman  Teratai, Taman Sunyaragi, Semen Rama, Sawat Pengantin dan berbagai motif lainnya seperti Naga Seba dan Singa Barong. Karyanya yang otentik ini diminati oleh berbagai kalangan baik yang berasal dari dalam negeri maupun mereka yang berasal dari luar negeri.

Karya Katura pernah dipamerkan oleh Himpunan Wastraprema (HWP) bekerjasama dengan Museum Tekstil Jakarta pada tahun 2012. Tema pameran saat itu adalah BATIK  dan WAYANG MAHABHARATA yang mempertunjukkan batik berukuran panjang 20-30 meter dengan lebar 150 cm. Karya Katura tersebut merupakan karya utama pada pameran tersebut yang mengundang rasa kagum dari banyak pengunjungnya pada saat itu.

Katura lebih senang jika dirinya disebut sebagai seniman batik. Menurut Katura, animo masyarakat terhadap batik sudah sangat tinggi, namun demikian menurutnya masih perlu diimbangi dengan pengetahuan akan batik yang benar. Mengetahui dan memahami mana batik yang asli dan mana yang hanya bermotifkan batik perlu diketahui dengan baik oleh masyarakat. Batik yang asli menurut Katura adalah karya tangan (tulis) atau cap yang dalam prosesnya masih menggunakan malam panas. Dalam kesehariannya, Katura sering mengenakan pakaian batik. Ia pun tidak mempermasalahkan jika ada yang ingin membuat batik dengan tema serupa seperti karyanya. Semua itu dilakukannya demi melestarikan batik. Atas kepeduliannya terhadap batik, pada tanggal 28 Desember 2009, Katura mendapatkan penghargaan Upakarti dalam jasa pelestarian di bidang usaha industri batik. Penghargaan tersebut diserahkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta.

Katura wafat pada tanggal 16 Maret 2024 di usia 72 tahun. Selamat jalan Bapak Katura karya luhurmu menjadi panutan seniman Batik di Indonesia. Semoga salah satu putrinya akan tetap meneruskan pelestarian batik khas Cirebon yang diwariskan oleh Ayahandanya.

Bagi yang tertarik mempelajari seni Wastra Nusantara, dapat mengikuti Talkshow Menyingkap Pesona Wastra Indonesia sesi 3 yang akan mengeksplorasi “Songket: Dari Barat sampai ke Timur Indonesia”. Informasi dan pendaftaran dapat diakses di tautan berikut: https://pusakaindonesia.id/agenda/talkshow-berseri-menyingkap-pesona-wastra-indonesia-sesi-3/

 

Ignatius Birawa Dharmaputra

Kader Pusaka Indonesia

 

Sumber foto: Jawa Pos