Durung hening atiku peteng, dipleroki bojo tambah spaneng.
Artinya: Belum hening hatiku gelap, dilirik istri jadi lebih spaneng.
Masih ingat pantun atau parikan dari kidungan jula juli di atas, kan? Betul, parikan tersebut mengawali tampilan kesenian ludruk dari tim Pusaka Jawa Timur dalam Pagelaran Kebangkitan Pancasila beberapa waktu lalu. Para pembaca dapat bernostalgia kembali dengan melihat video pagelaran tersebut melalui tautan ini.
Kesenian ludruk merupakan salah satu warisan budaya yang tak ternilai harganya bagi Jawa Timur. Disamping menawarkan keceriaan dan hiburan, ludruk juga menyajikan konten pendidikan, kritikan sosial dan pengobar semangat perjuangan.
Salah satu tokoh sentral ludruk, Cak Durasim, menciptakan parikan yang berisi kritikan terhadap penjajah Jepang yang pada saat itu sedang berkuasa. Melalui sebuah pertunjukan di Gentengkali, Surabaya, ia mengucapkan:
“Bekupon omahe doro, melok Nippon tambah sengsoro.”
Artinya: Bekupon rumahnya burung dara, ikut Nippon (Jepang) lebih sengsara.
Ludruk lahir sebagai seni teater rakyat dengan unsur komedi, musik dan pewayangan. Dalam penyajian yang lebih lengkap, ludruk memiliki beberapa unsur: pembukaan, lawakan, kidungan, bedayan dan lakon atau cerita. Pementasan dengan unsur yang lengkap memakan waktu 4-5 jam. Sedangkan untuk pementasan yang lebih singkat, beberapa unsur biasanya dijadikan satu dengan memperpendek lakon.
Tari Remo biasanya menjadi pembuka dalam gelaran ludruk. Bukan tanpa alasan, sebab Tari Remo merupakan tarian untuk menyambut tamu. Pusaka Jawa Timur sendiri sudah membuka kursus Tari Remo bagi para kader dan nonkader Pusaka Indonesia. Tujuan dari kursus ini tidak hanya untuk persiapan pagelaran, namun juga untuk nguri-nguri budaya Nusantara.
Tidak ada pakem yang pasti dalam pertunjukan ludruk, terkait jumlah peserta, jumlah babak, maupun muatan cerita. Karena bersifat bebas, maka para pemain ludruk dituntut untuk berimprovisasi dan mengembangkan jalan cerita yang sudah dibuat terlebih dahulu. Improvisasi ini bisa dilakukan melalui intonasi suara maupun gerak tubuh.
Ciri Khas Ludruk
Ludruk mempunyai ciri khas yaitu Kidungan Jula-Juli. Kidungan Jula-Juli adalah pantun berbahasa Jawa ngoko khas Surabaya yang disampaikan melalui cengkok suara khas, dan diiringi alunan gamelan. Liriknya berbentuk parikan atau pantun, menyampaikan pesan-pesan kontekstual dan situasional dengan kalimat yang bebas namun terstruktur. Setidaknya ada 5 bagian dari kidungan, yaitu: senggakan, pantun 2 bait, pantun 4 bait, pantun dangdut dan penutup.
Bagian terakhir yang menjadi inti dari seni ludruk adalah lakon atau cerita. Lakon atau cerita dalam ludruk terbagi menjadi beberapa babak. Pada bagian ini dapat dilihat bagaimana akting, suara, gaya bicara, tata panggung dan gaya busana berpengaruh dalam penyajian alur ceritanya. Kekuatan naskah yang memuat dialog, dan muatan cerita juga sangat penting.
Ludruk sebagai sarana edukasi harus benar-benar memuat fakta dari cerita yang disajikan. Ludruk akan menjadi sebuah karya yang agung jika naskahnya tidak berbelok dari kebenaran, serta diperankan dalam keheningan dan ketulusan. Cerita pakemnya dapat bersumber dari kehidupan sehari-hari, kejadian tertentu yang nyata terjadi pada saat itu, maupun bersumber dari buku atau tulisan sejarah yang telah terverifikasi kebenarannya.
Berinteraksi dengan penonton dalam sebuah panggung yang penuh kegembiraan tentu membuat seni ludruk sangat mengasyikkan. Keterlibatan seniman ludruk tidak hanya semata-mata sebagai hiburan, namun juga karena panggilan jiwa dan kecintaan yang mendalam terhadap warisan budaya para leluhur. Maka penting bagi kita untuk semakin mengapresiasi dan mendukung keberlangsungan kesenian ludruk sebagai bagian dari budaya Nusantara yang Agung ini.
Muhammad Fathul Hadi
Kader Pusaka Indonesia Wilayah Jawa Timur