Skip to main content

Hartono Sumarsono yang lahir di Arjawinangun (antara Cirebon dan Jatibarang) tahun 1953, bukan hanya kolektor dan pengusaha batik, tetapi ia juga telah mengabadikan koleksinya ke dalam beberapa buku. Salah satunya adalah buku berjudul Batik Pesisir Pusaka Indonesia. Menilik sejarahnya, produksi batik pesisir tumbuh pesat di tahun 1870-an didukung kemajuan transportasi dengan adanya kereta api dan kapal uap. Pembuat dan pedagang batik berusaha memenuhi keinginan konsumen yang beragam sehingga corak batik yang diproduksi di kota-kota penghasil batik di sekitar Pantura Jawa coraknya sangat dinamis.

Dalam buku ini dipaparkan ciri-ciri umum dari batik pesisir dengan pengaruh dominan Cina dan Belanda.  Batik Batang, misalnya, mirip dengan batik Pekalongan, hanya warnanya lebih kelam. Dapat dilihat dari batik bang biron (merah biru). Di Pekalongan, bang biron biasanya berlatar krem sedangkan batik Batang latarnya berwarna kopi susu.  Kota Batang berada di 8 km sebelah timur Pekalongan.  Batik Tegal desainnya mirip batik Pekalongan, tetapi coraknya lebih besar dan tidak banyak memakai isen-isen.  Di masa lalu, batik Tegal banyak dibawa ke daerah Tasik dan Garut sehingga turut mempengaruhi batik di daerah itu.

Lasem, yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur terkenal dengan wana merahnya. Warna itu dibuat dari akar mengkudu. Kandungan mineral di daerah itu berbeda sehingga daerah lain tidak bisa mendapatkan seperti yang dibuat di Lasem. Lasem juga dikenal sebagai batik blangkoan. Batik blangkoan yaitu kain yang dibatik hanya di bagian kepala dan pinggirnya, sedangkan bagian tengah dibiarkan kosong.  Bagian kosong ini dibeli oleh pembatik daerah lain untuk diisi dengan desain sendiri. 

Ada istilah batik tiga negeri yang mahal karena proses pewarnaan yang dibuat di tiga tempat, warna merah dibuat di Lasem, Pekalongan warna birunya, dan Solo warna soga (cokelat).  Ada juga yang merahnya dibuat di Semarang, biru di Kudus, soga di Demak. Tetapi batik tiga negeri yang ini warna merahnya cenderung ke jingga.  Menurut Nian S Djoemena (kolektor tenun dan batik) desain batik Lasem mengingatkan pada porselen-porselen Cina. Pengaruh Belanda juga ada sedikit pada batik Lasem. Kain Lasem banyak menggunakan pola patola. Pola ini banyak disukai orang-orang luar jawa sehingga batik Lasem banyak dijual ke Sumatra, Sulut, Malaka sampai Suriname.  Kelangkaan kain putih pada masa Jepang membuat Lasem berhenti memproduksi batik.  Saat ini Batik Lasem dicari sebagai bagian dari seserahan atau barang antaran pengantin lelaki kepada pihak perempuan di masyarakat pesisir Jawa.

Hal menarik dikupas juga tentang latar belakang Hartono, kolektor 1000 batik tulis. Hartono terlahir dari keluarga yang berkecimpung di industri batik.  Nenek dari pihak ibunya dan beberapa anggota keluarga ibunya berkecimpung di perbatikan. Hartono sendiri sejak usia 16 tahun sudah membantu pamannya berjualan di toko batik di Tanah Abang, Jakarta, akhir tahun 1960-an.  Di sinilah ia berproses mengenal kualitas batik dan mengenal gaya desain batik yang laku di pasaran. Di usianya yang baru 19 tahun, ia sudah memberanikan diri membuka toko batik sendiri di pasar Jatinegara. Tahun 1980, ia pindahkan tokonya ke Tanah Abang dengan nama Kencana Ungu.  Di 2010, ia membuat kain dengan merek Citra Lawas.

Sejak usia 20 tahunan, Hartono sudah mengoleksi batik yang diproduksi dari awal abad 20 sampai pertengahan abad 20. Awal sebagai kolektor, Ia banyak berkonsultasi  dengan Adrian Idris, yang sering dijadikan konsultan oleh kolektor batik dan narasumber oleh peneliti asing. 

Rens Heringa, antropolog yang sejak 1960 meneliti batik pesisir, menuliskan bahwa ada koleksi batik pesisir yang dimiliki Hartono jarang dihitung sebagai batik pesisir oleh para kolektor batik.  Koleksi batik itu berasal dari daerah Tasik, Madura, dan Banyumas.  Batik Tasik pilihan warnanya mencolok seperti yang banyak diminati orang Sunda.  Batik Madura warna merahnya mendekati marun dengan isen yang cukup berani dan kuat, mencerminkan pelaut yang akrab dengan ombak tinggi yang menantang. Batik Banyumas warnanya kombinasi khas soga dan biru tua dengan pinggiran merah terang khas pesisir. Isen atau isian motif untuk menambah keindahan bentuknya lebih sederhana dan ukurannya relatif lebih kecil.

Kain katun dan sutera yang dijadikan batik sayangnya mudah rapuh di udara tropis. Sampai saat ini Hartono belum pernah menemukan kain batik yang berusia lebih dari 200 tahun.  Mengingat kondisi tersebut, ia meluncurkan buku ini awal tahun 2011 sebagai upaya mengabadikan keindahan batik pesisir karena menurutnya buku bisa bertahan lebih lama.

Buku ini juga mengupas sejarah dan proses pembuatan batik tulis. Motif-motif batik tulis yang sangat indah ini konon sampai menginspirasi Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1811-1816) untuk mengirimkan beberapa batik ke negerinya untuk dijadikan contoh bagi industri katun cetak.

Membaca resensi buku ini mungkin seperti membaca buku sejarah khusus mengenai batik, khususnya batik pesisir. Tetapi membaca ciri corak dari setiap daerah penghasil batik pesisir, rasanya akan membuat pembaca penasaran ingin melihat seperti apa motif yang dipaparkan di buku yang memuat foto kain batik dari setiap daerah pesisir yang dibahas. Itu pun rasanya belum cukup, khususnya bagi pecinta batik, akan penasaran untuk melihat langsung kain aslinya, detail batik koleksi Hartono Sumarsono. Tidak salah juga jika setelah membaca ini, bibit kolektor akan muncul setelah memahami betul prosesnya yang amat panjang dan rumit hingga tercipta mahakarya dalam selembar kain. 

Yp Kris

Kader Pusaka Indonesia Wilayah Jawa Barat